i n t r o : 00

1342 Words
"Hai!" sapaku dengan riang. Menyenangkan untuk memiliki kenalan saat aku sedang berlibur di tempat yang entah apa. "Ha-halo." Suaramu begitu kecil saat itu, dengan bersembunyi di balik punggung seorang wanita cantik berambut pirang. Kamu terlihat ketakutan, atau mungkin malu. Atau kedua-duanya? Yang mana saja boleh, asal aku tahu alasan kamu terlihat begitu enggan untuk berkenalan denganku. Padahal saat itu aku yakin, aku sudah gosok gigi, sudah mandi sampai wangi, dan sudah bertingkah begitu sopan. Mungkin yang terakhir tidak terlalu tapi, aku yakin bukan itu alasannya. "Calla! Calla November." Sekali lagi aku berucap dengan riang. Masih dengan senyuman penuh dan lebar di mulut, aku juga menjulurkan tanganㅡbermaksud untuk bersalaman denganmu karena aku tahu, di sini tidak umum untuk memberikan salam dengan membungkuk. Tapi, kamu tetap bersembunyi di balik wanita cantik itu. Kamu malah semakin menghilang di baliknya, hingga aku harus menelengkan kepala sedikit agar tetap bisa melihat sebagian dirimu. Wanita itu bahkan sudah ikut membujuk agar kamu mau menyambut uluran tanganku tapi, kamu malah menangis. Menjadikanmu sebagai pusat perhatian hari itu dan membuatku ikut merasa sedih. Saat itu umurku baru tiga tahun. Dan aku masih bertanya sampai detik ini. Salahku apa? Kenapa kamu tidak suka diajak berkenalan denganku? *** Musim panas bulan Juli, aku senang sekali tahun itu. Selain karena musim panas yang datang dengan cepat, liburan yang ku nanti-nanti sepanjang tahun lalu akhirnya bisa dilaksanakan. Karena badai salju yang menyelimuti Jepang tahun lalu, penerbangan menuju Indonesia jadi terhambat, dan aku tetap tidak bisa pulang. Padahal ada janji yang harus aku tepati. Janjiku denganmu untuk pergi melihat puluhan kembang api yang diluncurkan bersama-sama pada malam tahun baru. Ah, mengingat itu membuat suasana hatiku kacau. Aku berhenti mengingat saat aku sudah sampai pada rumahmu yang megah dan luas. Aku selalu terkagum saat akhirnya bisa melihat rumahmu lagi. Rumah tiga lantai yang terkesan asri dengan pohon mangga di halaman depan dan kolam renang panjang di halaman belakang. Berbeda sekali dengan apartemen yang aku tempati dengan Okaa~san dan Papa. Aku segera masuk ke dalam dan mengucap permisi dengan berteriak juga berlari, membuat Okaa~san menatap gemas ke arahku. Ya, sudah lah, namanya juga aku rindu denganmu. "Alan! Alan!" "Ucapkan namaku dengan benar." Selalu seperti itu jawabmu saat ku panggil salah namamu. Dan aku selalu menjawab tidak mau, karena aku suka melihat kamu merespon ucapanku. Benar, saat itu kamu sudah mulai menjauh karena sekolahmu. Umurmu sudah dua belas tahun saat itu dan dimataku kamu benar-benar terlihat keren. *** Pertengahan musim dingin Jepang, aku kembali datang. Sebenarnya aku suka tinggal di Jepang saat musim dingin, aku suka salju. Sesuatu yang selalu kamu benci karena, benda putih itu berhasil membuatmu terkena demam saat pertama kali datang berkunjung ke Jepang. Namun, Indonesia memang benar-benar membuatku jatuh cinta. Selain ada kamu di sini, Indonesia adalah negara yang paling Aniki suka. Dia bahkan terlihat begitu ingin tinggal di tempat ini, membuat Papa harus memindahkan perusahaan utama di sana. Tapi, meskipun saat itu adalah waktu yang paling aku suka, semuanya bisa berubah. Okaa~san ingin berpisah dengan Papa. Rasanya semua itu terjadi begitu tiba-tiba, begitu cepat, dan tahu-tahu, Okaa~san meminta aku untuk ikut dengannya. Aneh, aku bukan anak kandungnya. Kenapa tidak membawa Aniki saja? Kenapa Okaa~san malah membiarkan aniki dengan Papa? Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini. Tapi, semua itu masih bisa aku tanggung. Aku tidak menangis, saat akhirnya aku tidak bisa melihat Papa dan Aniki sesering biasanya. Aku tidak apa karena, aku selalu ingin terlihat kuat seperti Aniki dan juga ada yang jauh lebih menyakitkan daripada itu semua. "Siapa? Tidak kenal." Hari itu, pertengahan musim dingin di Jepang dan aku di Indonesia. Ingin mencari sandaran padamu tapi, kamu seperti itu. Aku dengar, kamu tidak ingat siapa aku. Aku memastikannya sendiri, kamu benar-benar melupakanku. *** Tujuh belas tahun adalah umur yang selalu aku nanti-nanti. Aku bisa memilih untuk tinggal di mana, dan tentu saja, Indonesia adalah destinasi utama. Jepang mungkin tempat kesukaanku karena, di sana aku lahir dan tinggal hingga sebesar ini. Tapi, memori yang terkandung, hanya membuatku ingin muntah. Okaa~san sudah meninggal saat umurku lima belas, membuatku bisa kembali tinggal dengan Papa dan Aniki. Aku bersyukur tentu saja, aku merindukan mereka dengan sangat. Meskipun, saat tinggal dengan Okaa~san aku tetap bisa berkunjung, rasanya tetaplah berbeda. Tujuh belas adalah umur yang selalu ku nanti. Di mana harusnya aku menagih janji yang pernah kau ucapkan saat itu tapi, rasanya percuma. Kamu sudah lupa. Memori itu hilang entah ke mana, mungkin menguap dan terinjak dengan kumpulan memori lain karena aku tahu, kamu pasti belajar terlalu keras. Aku tahu kamu pasti lupa karena, aku sudah jarang berkunjung semenjak orang tuaku bercerai. Aku tahu kamu pasti lupa karena, memorimu itu buruk sekali. Aku masih ingat, dulu kamu sering lupa sudah makan atau belum. Nah, hal-hal sekecil itu saja kamu sudah lupa, apalagi diriku ini. Kamu pasti sangat lupa. "Atau kamu memang membenciku sebesar itu." *** Sudah tahu kamu masih lupa padaku. Sudah tahu kamu tidak akan ingat padaku. Aku tetap pergi. Nekat. Setelah lulus dari bangku menengah pertama, aku pergi dan menetap di Indonesia. Mengambil jurusan yang selalu ditentang oleh Okaa~san tapi, sudahlah. Selama aku bisa melihatmu, kenapa tidak. Aku hidup tentram selama itu. Papa juga tidak keberatan untuk ikut pindah dan menetap di Indonesia. Papa kan, memang terlahir di sana. Tapi, kehidupan tentram itu berubah, kamu tiba-tiba menamparku di depan gudang fakultasku. Astaga! Aku terkejut sekali. Karena aku tahu, kamu bukan laki-laki kasar yang suka main tangan pada siapa punㅡapalagi pada seorang perempuan. Air mata tidak bisa dibendung. Jatuh, mengalir tanpa bisa aku kontrol. Bukan. Aku tidak merasa sakit karena tamparanmu. Mungkin sedikit tapi, tidak sampai bisa membuatku menangis. Yang ku tangisi adalah hal yang jauh lebih sederhana. Pandanganmu. Caramu menatapku benar-benar membuatku sadar. Sadar kalau kamu sudah menjadi begitu asing dan kamu sudah bukan bocah laki-laki pemalu yang aku kenal dulu. Kejadian ini sehari sebelum libur tahun baru, saat aku baru semester tiga. Kamu sudah lulus, kamu sudah bekerja. Bahkan sedang mempersiapkan pemindahan dan kenaikan jabatan. Aku menangis karena, selain kamu datang dengan para pengawalmu dan pandanganmu itu, kamu juga mengatakan hal yang tidak seharusnya kamu katakan. Hal yang membuatku akhirnya menjadi begitu tidak peduli lagi. Menjadikan jarak kita semakin membentang jauh, dalam, curam. "Berhenti menguntit saya! Sadar, kamu menjijikan." *** "Aduh!" "Maaf, kamu nggak apa?" Aku masih ingat dengan jelas. Kala itu, musim penghujan pertengahan bulan November. Ada kelas malam yang harus aku hadiri dengan dosen super galak dan tidak punya hati nurani. Aku masih ingat betapa hari itu adalah hari paling sial untukku. Sudah ban mobil bocor dan aku harus lari-lari dari parkiran depan untuk sampai gedung, mana hujan, harus menabrak seseorang pula. Aku ingin memaki saat itu, sungguh. Tapi, melihat siapa yang aku tabrak, aku hanya terdiam. Matamu benar-benar membuatku mengingat sebuah memori yang benar-benar ingin aku hancurkan. Apalagi saat kamu langsung berdiri dan merapikan setelan jas yang ku tahu harganya pasti sangat mahalㅡaku tahu kamu sudah menjadi kaya dan terkenal. Dan dengan datar kamu berkata, Tidak apa. Saya baik-baik saja, tanpa emosi sama sekali. Harusnya detik itu aku bisa sadar, ada sedikit perubahan pada mimik wajahmu saat akhirnya bisa melihat wajahku dengan lebih jelas. "Beneran nggak apa? Kalau ada apa-apa, langsung chat gue aja. Maaf banget, gue buru-buru, nggak bisa nemenin lo ke klinik terdekat." Aku memberikan kartu namaku, dengan tergesa-gesa tentunya. Waktu yang ku miliki begitu sedikit, aku tidak bisa berbasa-basi. Andai, aku bisa diam sejenak dan menatap ekspresi itu, mungkin aku bisa melihat bagaimana kamu sangat terkejut begitu membaca nama pada kartu itu. Harusnya aku berhenti saat itu, bukan terus berlari menjauh dan membuat jarak di antara kamu. Harusnya aku berhenti saat kamu berteriak karena, aku tahu, kamu berteriak dengan alasan yang jelas. Dengan sebuah memori buram yang mulai masuk ke dalam kepalamu juga kepalaku. Harusnya aku tersadar hari itu, agar semuanya tidak menjadi serunyam ini. Agar kita tidak menjadi musuh untuk satu sama lain seperti ini. Iya, benar, aku yang bodoh di sini. Dari aku lahir memang Tuhan sudah menggariskan akan seberapa bodoh diriku ini. Dan aku menerima semua itu. Aku hanya sedikit menyesal karena, sadar dengan sedikit terlambat. Maaf, Dalan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD