Prolog

1104 Words
Hiruk pikuk kota Bristol memang tidak bisa dipungkiri lagi. Apa lagi di hari kerja seperti sekarang ini. Di hari Senin semua warga kota Bristol melakukan kegiatannya masing-masing. Tidak hanya yang dewasa. Para anak kecil hingga remaja juga sudah bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Di antara kerumunan warga yang baru saja turun dari bis, salah satunya terlihat seorang wanita berambut pendek. Gayanya biasanya saja hingga ia tidak terlalu menjadi pusat perhatian. Wanita itu adalah Helen. Dia adalah seorang polisi wanita berusia 28 tahun yang suka berpenampilan biasa saja. Tidak suka memakai seragam polisi. Tidak pernah ada yang tahu kalau dia adalah seorang polisi. Senyum dan penampilannya justru terlihat seperti seorang wanita yang ingin berbelanja ke pasar. Helen menghentikan langkah kakinya ketika melihat dua orang pria berpakaian preman sedang mengganggu wanita cantik. Tiba-tiba saja hati nuraninya sebagai wanita dan keberaniannya sebagai polisi muncul. Helen segera berlari dan menendang salah satu pria dengan kaki. Tidak cukup sampai di situ. Preman yang tersisa dia beri hadiah sebuah pukulan yang cukup menyakitkan di bagian perut. Senyum mengembang penuh kemenangan tersirat jelas di wajah Helen. Seperti super hero yang baru saja berhasil menyelamatkan warga yang lemah. Kira-kira seperti itu jalan pikiran Helen pagi ini. Hingga tidak lama kemudian, semua yang ia bayangkan tidak sama dengan apa yang terjadi. "Apa yang kau lakukan? Siapa kau?" teriak wanita yang tadinya menjadi korban pelecehan dua preman yang kini sudah berbaring di pinggir jalan. "Nona, apa seperti itu cara Anda mengucapkan terima kasih?" Helen melepas kaca matanya. Ia ingin melihat jelas wajah orang yang tidak tahu terima kasih itu. "Terima kasih? Kau memintaku mengatakan terima kasih? Hei! Lain kali, sebelum kau menolong orang lain, lihat dulu keadaan si sekelilingmu. Kami sedang akting!" sambung wanita itu dengan emosi yang masih tertahan. "Akt … akting?" Tiba-tiba saja Helen berubah menjadi gagap. Dengan menahan malu dia berusaha mengitari orang-orang yang kini mengelilinginya. Senyum terpaksa terukir begitu saja ketika Helen melihat camera dan beberapa kru menatapnya penuh kekesalan. "Apa kalian sudah memiliki izin untuk syuting di sini?" *** Helen membasuh wajahnya dengan genangan air yang ada di telapak tangan. Kran wastafel mengalir dengan begitu deras. Sepertinya suara air itu suatu hiburan yang bisa menenangkan pikirannya. Setelah wajahnya kembali segar Helen mengambil handuk dan mengeringkan wajahnya yang basah. Pintu kamar mandi terbuka. Seorang wanita menatap Helen dengan bibir tersenyum. "Sudah beres. Kau tidak perlu khawatir. Tidak akan ada skor atau potong gaji." Wanita itu menghidupkan kran air di samping Helen dan mencuci tangannya. Ia memandang wajah Helen dari cermin besar yang ada di depan. "Maya, aku tidak melihat lokasi syuting di sana. Saat aku selesai menghabisi dua artis figuran itu, tiba-tiba saja lokasinya menjadi ramai. Entah dari mana juga camera itu muncul. Satu lagi. Bagaimana bisa mereka syuting di depan kantor polisi. Mana adegannya adegan kejahatan lagi. Apa mereka tidak menghargai kita-kita sebagai polisi?" Walau dia tahu salah, tapi Helen tetap saja merasa benar tadi. Ia tidak mau kesalahan itu sepenuhnya dijatuhkan pada dirinya. "Dia putri walikota. Jelas saja memiliki kekuasaan lebih dari artis lainnya. Satu lagi Helen. Berhentilah protes saat atasan sedang marah. Aku sudah sering bilang kalau kau tidak akan menang." Helen memutar tubuhnya dan bersandar di meja wastafel. Ia memandang penampilannya dengan wajah tidak semangat. "Aku tidak terlalu suka menjadi polisi. Dulu ayah angkatku seorang polisi. Mau tidak mau aku jadi polisi agar dia bisa tenang di alamnya sana." "Jangan salahkan takdir. Tapi, berpikirlah untuk berubah menjadi yang lebih baik. Oh ya, mulai besok kau tidak akan ada di kantor ini lagi," sambung Maya dengan senyuman. "Tunggu. Bukankah kau bilang aku tidak di skor?" Kedua mata Helen menuduh Maya seolah baru saja berdusta. "Hei, aku hanya bilang tidak di skor dan tidak potong gaji. Tapi, tetap saja ada tugas yang harus kau kerjakan." "Apa itu?" "Ayo ikut aku. Jika kau berhasil kau bisa mendapatkan promosi jabatan dan kenaikan gaji Helen. Kau tidak perlu mencari-cari kasus kriminal lagi di luar sana." "Benarkah?" Helen terlihat bahagia. Sambil berjalan beriringan, dua wanita itu juga terlihat becanda hingga membuat tawa yang terdengar begitu riang. Setibanya di ruangan, Maya menunjukkan beberapa korban pembunuhan di layar monitornya. Wanita itu menyimpan beberapa file penting dan membuka file baru lainnya. Helen sendiri terlihat ngeri melihat mayat yang di duga tidak lengkap lagi itu. “Siapa yang tega melakukan semua ini?” “Satu pria, satu nama. Tapi, hingga sekarang tidak ada yang berhasil mengetahui keberadaannya. Bahkan bagaimana wajahnya,” jawab Maya masih dengan kedua mata fokus di layar monitornya. “Pria? Dia melakukannnya sendiri? Apa dia seperti psikopat?” “Bisa di bilang seperti itu. Tapi, dia memiliki organinasi. Dugaan sementara, mereka adalah komplotan mafia.” “Lalu, apa yang harus aku lakukan?” “Beberapa waktu yang lalu kami mendapat bocoran kalau pembunuh ini memiliki dua orang anak. Kedua anak kembarnya tinggal bersama seorang wanita bernama Laura. Ya, bisa di bilang dia wanita yang sudah melahirkan kedua anak kembarnya namun tidak dinikahi.” “Cukup buruk reputasinya sebagai seorang pria. Lalu, apa hubungannya denganku?” Helen menunjuk dirinya sendiri. “Tugasmu sangat mudah. Wanita bernama Laura ini sedang mencari babysitter untuk kedua anaknya. Kau bisa masuk ke rumah Laura. Aku yakin, pria ini pasti akan datang mengunjungi anaknya. Ketika kau berhasil mendapatkan fotonya, kirim ke aku dan aku akan melakukan rencana selanjutnya. Tidak akan lama. Paling juga tiga bulan selesai,” ucap Maya dengan penuh percaya diri. “Kau yakin?” Helen terlihat ragu. Ia berpikir kalau tidak akan semudah itu menangkap penjahat kelas kakap. Maya mengangguk pelan. “Ingat satu hal. Setelah ada di lingkungan mereka, kau bukan lagi seorang polisi. Kau hanya wanita lemah yang tidak bisa apa-apa.” “Kedengarannya sangat buruk.” Helen memandang layar monitor lagi dengan wajah tidak tertarik. “Helen, ayolah. Kau akan mendapat bonus dan kenaikan jabatan. Kapan lagi ada kesempatan emas seperti ini? Kalau saja aku belum menikah, aku sudah ambil tugas ini sejak kemarin.” Maya memasang wajah cemberut andalannya agar sahabatnya mau menerima tawaran yang ia berikan. Sebenarnya tawaran ini bukan hanya menguntungkan bagi Helen saja. Tapi, kepada semua tim yang terlibat termasuk Maya. Maya merasa ini semua adalah kesempatan emas yang tidak akan datang dua kali. Walau memang resiko yang dihadapi tidak main-main. Mengusik ketenangan seorang BigBoss mafia bukan urusan yang sepele. Tentu saja nyawa harus jadi jaminannya, jika saja rencana besar ini sampai gagal. “Baiklah. Baiklah. Sekarang, aku harus mulai darimana?” Helen berdiri dan menatap wajah Helen penuh semangat. Wanita itu mengambil ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku. Maya mengukir senyuman bahagia. Ia memeluk Helen dengan begitu erat. “Semoga sukses!” Sedangkan Helen hanya memutar kedua bola matanya dengan helaan napas yang berat. “Sepertinya cukup rumit.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD