1 Masuk Sekolah

892 Words
Pagi ini, tidak seperti biasanya. Rumah yang biasa tenang sekarang sedikit berisik. Anak perempuan yang biasa bangun pagi kini harus bersiap dengan terburu-buru. "CEPAT, CA! SUDAH JAM BERAPA INI?!" Teriak suara dari bawah. "IYA, BUN!" Jawabnya iya, padahal dirinya masih sibuk dengan tumpukan buku di lemari. Sesekali mengumpat mencari peralatan sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. "Kenapa disaat begini buku gua hilang-hilangan sih?" Sungut gadis itu. Tidak sampai tiga puluh detik lemari kecil itu berantakan. Beberapa buku jatuh keluar, susunan tinggi buku-buku itu hancur. Semua karena ulah tangan sang gadis. "Si k*****t, sampai kiamat gua cari juga ngga bakalan dapat" kesalnya. Sekarang bukan di depan lemari buku, melainkan di sisi kasur. Sama halnya dengan lemari tadi, kasurnya pun turut jadi korban kepanikan dan ke bar-baran tangannya. "YA AMPUN BIANCA! INI KAMAR ATAU KANDANG SAPI?!" Pekik wanita paruh baya. Atensi Bianca sepenuhnya terarah padanya, pintu kamarnya terbuka, menampakan sang ibu yang sedang berdiri di ambang pintu dengan tatapan terkejut. "Kandang sapi aja lebih rapi dari ini! Bahkan tikus pun jijik di kamarmu ini, Bianca!" Pekiknya lagi. Sedangkan yang di marah tidak peduli, sibuk memasukan beberapa buku dari meja belajarnya. "Iya, Bun, iya. Makanya kamar Eca ga pernah kedatangan tikus, mereka jijik duluan," jawabnya. Tidak memperhatikan perubahan ekspresi bunda. "Hah! Menjawab! Anak nakal! Sudah turun sana! Pulang sekolah beresin kamarnya!" "Ck, iya bunda. Aku lagi nyari ikat rambut nih, bunda liat ga?" Bunda hanya berdecak kagum melihat tingkah putri bungsunya. "Makanya kalau malam jangan begadang! Berceceran kan jadinya." "Bukan begadang, Bun. Bianca baca buku semalaman, terus lupa kalau hari ini sekolah." "Buku apa? Novel? Turun cepat, di meja ada ikat rambut bunda," mendengar penuturan sang bunda, Bianca segera menggendong tasnya dan turun dengan tatapan berbinar. "Makasih bunda sayangku! Bunda tuh memang bundanya Bianca ya! Tau aja kebutuhan anaknya." Bunda memutar bola mata mendengar ucapan random anaknya yang ajaib itu. "Ya kalau kamu bukan anak bunda, sudah bunda buang kamu. Ngapain bunda pungut anak kaya kamu, ngga ada gunanya." Teriak bunda. Bianca sudah lari duluan, takut telat. Sedangkan bunda hanya menggeleng pelan sambil menarik pintu kamar anaknya, menutupi ruang berantakan yang penuh buku. Sesampainya di bawah, bunda melihat Bianca yang sedang memakai sepatunya terburu-buru. Bahkan rotinya 'pun masih di mulut. "Makan dulu, Ca. Sini duduk, bunda sudah siapkan sarapan." Ujar bunda yang sudah duduk manis di meja makan. Bianca menggeleng kuat, sampai roti yang masih di mulut ikut bergoyang mengikuti gerak kepalanya. Matanya masih fokus pada simpul-simpul di sepatunya. Entah mengapa, ia merasa tidak bisa mengikat tali sepatu sesaat. "Udah telat, bun. Bianca mau langsung berangkat aja." "Oh, ya udah, bunda bekalin aja mau?" "Ngga usah, Bianca makan di sekolah aja, salim, bun." Setelah selesai dengan urusan sepatu, Bianca berdiri menghampiri sang bunda, lalu menyodorkan tangannya. "Bunda ambil uang dulu kalau gitu, ya?" Lagi-lagi Bianca menggeleng, ia tahu kok sifat jelek si bunda. "Ngga usah, bun. Tadi udah dikasih uang sama ayah. Ya udah, Bianca berangkat, ya!" Pekik Bianca sesaat setelah menempelkan punggung tangan sang bunda di pelipisnya. Bianca lari keluar rumah, dimana ayahnya sudah menunggu sambil memanaskan mobil. Dengan cepat ia memasuki mobil hitam di samping sang ayah. Dengan kecepatan rata-rata, mobil ayah Bianca melaju melewati perumahan dimana rumahnya berada dan jalanan kota di pagi hari. Sudah mulai sepi, sebab matahari mulai terik dan jam sekolah atau jam kerja memang sudah terlewat beberapa menit. *** "Yaah, pak! Bukain dong! Janji deh ngga telat lagi!" Bujuk Bianca. Sekarang ia sedang memohon pada pak satpam di dalam. Gerbang sekolah sudah ditutup, dan ini bukan satpam yang biasa ia ajak kompromi. "Lima menit doang, pak! Jangan terlalu ketat-lah." "Ga bisa, dek. Ini sudah peraturan." "Iya saya tau. Tapikan ini baru hari pertama, pak. Gapapa kali." "Lah kamu baru hari pertama aja sudah telat. Ngeles aja, sudah dua tahun sekolah disini harusnya sudah paham betul soal peraturan yang berlaku." Bianca diam sesaat, otaknya sedang dipaksa berpikir disituasi genting. "Gini deh, bapak biarin saya masuk, nanti saya beliin bapak makan siang. Lengkap sama minumnya, mau ya? Ya?" Namun pak satpam yang sudah mengabdi lebih dari tujuh tahun itu tetap menggeleng, "kamu mau sogok saya? Ngga mempan, dek, kurang gede." Bianca menghela napas kasar. Dia menyerah sekarang. Bianca biasa telat, tapi tetap bisa masuk karena bukan satpam ini yang menjaga. Biasanya ada satu satpam baik yang selalu membukakan gerbang untuk Bianca, tapi satpam yang satu ini selain susah dibujuk ternyata songong juga. "Si bapak! Tinggal buka aja apa susahnya sih? Ribet!" Kesabarannya habis. Mohon-mohon seperti orang gila di depan gerbang, belum lagi matahari yang semakin naik. Jelas dia kepanasan. "Lo mau ngemis-ngemis sama dia juga ngga bakal dibukain." Bianca mengumpat kencang kala mendengar suara berat seorang pria dari belakang. Ia membalikan badan dengan perasaan campur aduk. "L-loh? Lo s-siapa?" Bianca menunjuk laki-laki dihadapannya dengan tangan gemetar. Wajah tampan namun sangat dingin membuat nyali Bianca menciut. Laki-laki itu mengangkat satu alisnya, "lo ngga kenal gua?" Dengan cepat Bianca mengangguk. Namun, mata besarnya menangkap benda persegi kecil yang bertengger di baju pria itu. 'Jonathan Daniel. A', itulah yang tertulis. "Sini" cowok itu menarik tangan Bianca, tetapi gadis kuncir setengah itu langsung menghempaskannya kasar. "Nga-ngapain?" "Ngga usah takut, lo mau masuk kan?" Jonathan kembali menarik tangan Bianca. Mengajaknya memutar dari luar, dan berhenti tepat di belakang sekolah. "Ngapain kesini?" "Ya manjat lah? Ngapain lagi?" Bianca membulatkan matanya tak percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD