PROLOG

708 Words
"Soal ucapan gue yang tadi, gue serius!" "Eh?" Arina yang sedang melamun merasa kaget. Ia menoleh pada Alan. "Yang mana?" "Masih muda tapi lo udah pikun." Alan menggelengkan kepalanya. Lantas ia menyimpan gelas yang sudah kosong itu ke nakas. Menghadapkan tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Arina. "Gue tau Rin, kita tuh kayak orang yang dijodohkan. Tapi mungkin bedanya, kalo dijodohkan seengaknya ada perkenalan dulu. Sedangkan kita tiba-tiba nikah tapi gak saling kenal. Aneh sih, gue aja gak nyangka ini bakal terjadi sama gue." Alan terkekeh. Merasa konyol dengan pernikahannya. "Terus?" Alan menatap lekat pada mata hitam milik Arina. "Kita udah sah, gak mungkin juga kita cerai dalam waktu dekat ini. Dan gue juga udah gak ada harapan buat balik sama Alena." Lelaki itu tersenyum kecut. Membuang nafas dan kembali menatap Arina. "Kita buat perjanjian. Kita jalanin aja dulu pernikahan ini, kalo kita emang gak sama-sama cocok, kita putusin buat masing-masing aja." "Nikah kontrak?" tebak Arina dengan polosnya. Pikiran gadis itu memang sampai sana, pernikahan yang tertulis dalam perjanjian. Alan tergelak. Bukan karena perkataannya, tapi ekspresi Arina yang terlalu polos. Lelaki itu menonyor kening Arina dengan dirinya yang masih tertawa. Ada-ada saja tingkah istrinya ini. "Ish. Gue serius, kak!" geram Arina sambil mencebikan bibirnya. "Rin, nikah kontrak tertulis dengan kesepakatan antara dua belah pihak. Terus juga ada batasan waktu. Lah kita mah gak ada ponit-ponit yang harus ditaati. Kita bebas, waktunya juga gak tentu. Lo paham kan maksud gue?" Gadis itu masih belum menjawab. Ia sedang memahami apa yang diucapkan Alan. Bukan nikah kontrak, terus apa namanya kalau bukan itu. "Ya ampun, Rin. Lulusan SMA, kan? Masa masalah gini aja gak ngerti." "Bukan gitu, kak, gue paham. Kalo kita gak ada kecocokan, itu artinya kita pisah. Tapi--" Arina menatap Alan ragu, dan tentunya Alan sedang menunggu kelanjutannya. "Lanjutin dong!" "Um ... ka-lo salah satu dari kita udah ada yang jatuh cinta, tapi yang satunya nggak. Gimana?" "Tugasnya dia buat bantuin biar kita bisa balas perasaannya," ucap Alan santai. Arina menerjapkan matanya berulang-ulang kali. "Ya ... gue ngehindarin yang namanya sakit hati, Rin. Cowok juga punya perasaan kali dan gue gak mau, baik lo ataupun gue ngerasain itu. Kan lebih baik buat kita saling jatuh cinta daripada pisah. Rin, sakit itu gak enak, gue udah ngerasin itu." Arina berpikir kembali. Benar juga apa kata Alan, ia tidak mau merasakan sakit hati. Melihat Alan tadi, ia juga seperti merasakan bagaimana sakitnya lelaki itu. Apalagi ini pengkhianatan yang sangat ... Ah, Arina tidak bisa menjelaskan bagaimana sakitnya. Tapi, ia takut ini tidak berhasil. Arina punya keinginan bahwa ia tidak ingin merasakan gagal dalam pernikahan. Awalnya Arina putus asa saat beberapa jam yang lalu, namun tawaran Alan membuat ia bersemangat kembali. Tapi yang pasti ada resikonya. Apa iya dirinya harus memulai untuk mencintai dan berusaha agar Alan membalasnya, supaya pernikahan mereka tidak gagal? "Rin, sumpah ya, lo kelamaan mikir." Arina salah tingkah. Ia benar-benar tidak tahu jika sejak dari tadi Alan sedang memperhatikannya. "Kan harus dipikir baik-baik." "Iya juga sih. Tapi gimana, lo sepakat gak?" "Iya aja deh. Gue juga gak mau ngecewain Babeh sama a-almarhum," bisik Arina. Namun Alan hanya memberikan senyumn tipis. "J-jadi ... kita suami istri nih?" Alan tertawa lagi. "Lah, dari kemarin-kemarin kan kita udah jadi suami istri." "Tapi, kemarin lo tuh asing bagi gue." Arina menunduk. Menyesal telah berucap seperti itu. Lelaki itu meraih tangan Arina sehingga mereka saling berjabatan. Keduanya saling tatap dengan Alan yang tersenyum. "Sekarang kita kenalan. Nama gue Alan Albert, umur 23 tahun. Sekarang lagi kuliah semester akhir. Anak dari Papa paling ganteng, Adam Albert dan dilahirkan sama Mama paling cantik, Saras Saraswati. Gue anak paling ganteng dan dicintai banyak orang. Termasuk lo, eh sedang dalam perjalanan." Ya, inilah Alan yang asli. Alan dengan sejuta kekonyolannya, Alan dengan sejuta kegilaannya, dan Alan yang membuat orang-orang disekitarnya bingung dengan tingkahnya. "Sekarang giliran lo!" "Oke. Gue Arina Haifah. Umur 18 tahun. Anak dari Babeh Jaelani dan Mimom Siti." "Hah? Bener umur lo segitu?" Arina mengangguk. "Bocah juga lo." Arina melepas paksa jabatan tangan mereka, dan dijadikan untuk tamparan pipi Alan. Pelan kok, Arina masih takut dosa. "Iya dah, istri gue masih bocah," goda Alan semakin menjadi. Lelaki itu juga menepuk-nepuk kepala Arina beberapa kali sambil tertawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD