First Contact

2339 Words
                Gadis yang sedang duduk di bawah pohon rindang belakang sekolah itu bernama Selena Lovelia. Perpaduan rambut coklat ikal sepinggang dengan kulitnya yang putih membuatnya tidak bosan untuk dilihat.  Dia menutup matanya perlahan, menikmati semilir angin siang ini.                 Dengan nyaman dia meluruskan kedua kakinya di atas rerumputan, sesekali menatap langit dan mendesah. Menunggu memang menyebalkan, tapi dia tidak keberatan menunggu Audrey yang sedang membeli makanan di kantin. Karena memang pada dasarnya ini adalah tempat favorit Selena.                 'Kalo gini terus rasanya aku gak mau masuk kelas deh,'  pikirnya.                 'Bener banget. Enak kalo bisa tidur disini terus'.                 Selena tertegun. Mungkin ini terdengar aneh, tapi demi apapun di dunia ini, dia mendengar suara lelaki di dalam kepalanya. Dia mengerjapkan mata berkali-kali, merasa aneh dengan suatu hal yang baru dilaluinya.                 Matanya menyisir sekitar, mencari-cari keberadaan orang yang mungkin saja baru berbicara dengannya namun tak terlihat. Mungkin saja, dia menyuarakan pikirannya. Selena menajamkan penglihatannya. Di sebelah kanan hanya ada bangku taman yang kosong, sedangkan sisi lainnya adalah batas tembok asrama.                 Gadis yang baru menginjak bangku kelas sepuluh itu kembali menyisir sekelilingnya, meyakinkan diri kalau hanya ada dirinya di halaman belakang. Mungkin cuma ilusi, dia merapalkannya dalam hati. Meskipun hatinya memantapkan keyakinan tentang ilusi itu, pikirannya berkata lain.                 ‘Apa suara itu benar-benar terngiang di kepalaku?’ pikirnya lagi.                 Dahinya mulai mengerut dalam. Bagaimana bisa jika suara itu terdengar di kepalanya padahal tidak ada seorangpun di sisinya saat ini? Tidak mungkin ‘kan, kalau ada sesuatu tak kasat mata yang berbisik di telinganya? Memikirkannya saja sudah membuatnya bergidik ngeri, apalagi jika mengalaminya?                 ‘Berisik banget. Nggak bisa diem apa? Mendingan cari tempat lain deh. Gue masih mau tidur nih.'                 Selena tertegun, ternyata memang benar kalau ada suara yang terngiang dalam kepalanya. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa mungkin ada sesuatu yang tinggal di kepalanya? Dia menggeleng keras. Tak mungkin itu terjadi, 'kan? Mungkin otaknya belum bisa berpikir jernih karena masih memikirkan ulangan matematika yang baru dilaluinya. Oh tidak, dia mulai gila. Tapi di lain sisi dia juga merasa ketakutan.                 "Apa ada orang disini? Apa kamu bisa dengar pikiranku?" Dia berkata sangat pelan seraya menggigit bibir bawahnya.                 Ketika Selena kembali memastikan keadaan sekitar, dia terkejut saat mendongak ke atas pohon tempatnya bersandar. Ada seorang laki-laki yang sedang duduk di salah satu dahan, menatapnya dengan sorot bingung.                 "Ka…, mu?" Gadis itu menunjuk lelaki yang masih bertengger manis seperti burung.                 "Maksud lo apa? Denger pikiran?"                 Bahkan, lelaki yang mengucapkan kalimat itu mengerutkan dahinya. Perkataannya terdengar sangat aneh, bukan? Tapi, itu yang terjadi. Karena setelah mendengar suara dan intonasi lawan bicara, itu sama persis dengan yang mereka dengar di pikiran mereka.                 "Bukannya daritadi kamu dengar pikiran aku ya? Kamu juga menjawabnya kan?" tanya Selena.                 "Hah?!" Percaya tidak percaya, lelaki itu hendak turun untuk memastikan.                 Sayangnya, dia tergelincir dan jatuh terduduk tepat di depan Selena.                 "Kamu gapapa?" tanya gadis itu khawatir.                 "Hm. Gue gapapa kok," jawabnya pelan.                 Pemuda itu menatap Selena dalam, tepat di manik matanya. 'Dia ngimpi kali ya? Apa dia gila? Tadi dia bilang gue bisa denger pikirannya? Mustahil!'                 "Aku nggak gila! Dan itu memang kenyataannya!” ujar Selena.                 Selena mengerjapkan matanya, begitupun dengan lelaki itu. Selena menatap lelaki itu lagi, 'lihat. Benar 'kan kita bisa saling bertukar pikiran?'                 Dia mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu yang dilihatnya adalah tawa yang merekah di wajah lelaki itu. "Wow. Hebat!"                 Selena mengernyit bingung, menatap lelaki dengan alis tebal dan bibir yang tipis ini. Secara fisik dia terlihat tampan. Tapi itu takkan membuat Selena terpesona seperti gadis-gadis lainnya.                 ‘Ini aneh’ Lelaki yang sudah memasuki tahun keduanya di SMA memperhatukan Selena dengan tatapan menyelidik.                 Kali ini Selena mengangguk setuju. ‘Iya, aneh banget.”                 Laki-laki itu duduk bersandar dan bertumpu pada salah satu tulang keringnya, diikuti Selena yang duduk di depannya.                 'Lo pernah ngalamin ini?'  tanya Rieki.                 Masih dengan sorot bingung, Selena menggeleng. 'Kamu sendiri?'                 Setelah Rieki menggeleng, hening menyelimuti keduanya. Mereka sama-sama bingung dengan apa yang terjadi sebenarnya. Hal yang aneh, tidak pernah terjadi sebelumnya. Namun keheningan diantara mereka buyar karna suara bel sekolah yang berdenting. Menandakan kelas selanjutnya akan dimulai.                 Laki-laki yang bahkan Selena tak tau namanya itu berdiri dan menepuk-nepuk celananya yang kotor terkena rumput.                 “Mau ke mana?” tanya Selena, dia seperti linglung.                 Rieki menatap Selena dengan salah satu alis yang terangkat. "Menurut lo?"                 Setelah tersenyum singkat, lelaki yang umurnya satu tahun di atas Selena melenggang pergi, meninggalkan gadis itu dengan sejuta pertanyaan di benaknya. Ini, adalah hal teraneh yang pernah dialaminya. Bagaimana bisa seseorang yang bahkan tak dikenal bisa membaca pikirannya?                 "Selly! Maaf gue telat." Suara dari temannya itu membuat Selena menoleh, dan mendapati Audrey berlari kecil dengan nafas terengah.                 “Kamu kemana aja sih?” Tanya Selena seraya mengerucutkan bibirnya.                 Audrey terkekeh dan segera merangkul pundak sahabatnya. “Maaf, tadi gue ada panggilan alam.”                                                                                         ***                 Hanya ada satu kata yang terlintas di pikiran Rieki. Laki-laki yang lebih suka menyendiri namun dikagumi banyak wanita itu mengusap dagunya pelan. Mungkin hanya kata bingung yang bisa mendekati perasaannya yang campur aduk saat ini.                 Bagaimana bisa dua orang yang bahkan tak saling mengenal bisa saling bertukar pikiran? Itu hal yang aneh, bukan? Ia pernah mendengar kabar anak kembar yang bisa saling telepati. Tapi hei, dia bukan saudara kembarnya.                 Perlahan tapi pasti, Rieki berjalan menuju gedung asrama putra. Setelah ini pelajaran Sejarah, dan itu benar-benar membuat mood Rieki menurun drastis. Dalam pemikirannya, yang lalu biarlah berlalu. Tapi di hatinya, dia masih memikirkan tentang seseorang.                 "Rieki! Mau ke mana?" Baru saja Rieki akan melangkah keluar dari kawasan gedung sekolah, suara Kei terdengar di telinganya.                 "Mau bolos. Mau ikut gak?" ajak Rieki sambil mengerling.                 "Ogah! Kerjaan lo bolos mulu, kapan rajinnya?"                 Rieki hanya tertawa mendengar perkataan sahabatnya itu. Kei, anak teladan tapi bisa dekat dengan Rieki yang hobi bolos. Walaupun suka bolos, nilai akademis lelaki yang memiliki tinggi di atas rata-rata ini sangat bagus.                 Seperti teringat akan satu hal, Rieki mendekat ke arah Kei yang akan beranjak pergi memasuki gedung sekolah. Rieki menepuk pundak lelaki itu perlahan. "Heh."                 Kei yang langkahnya dihentikan menoleh dan mengedikkan bahu. “Apaan?”                 "Kenal sama anak cewek yang rambutnya ikal berwarna coklat dan kulitnya putih? Anaknya manis, sih. Oh ya, matanya coklat terang," tanya Rieki bertubi-tubi.                 Kei menjauhkan diri sedikit dari Rieki. "Wah. Nanyanya satu-satu dong," sambutnya.                 Rieki hanya terkekeh tapi wajahnya kembali serius. "Kenal gak?"                 Kei mengusap dagu sekilas lalu menoleh. "Kelas berapa dulu?"                 "Kayaknya sih kelas sepuluh," jawab Rieke sekenanya. Hanya menebak, tentu saja. Pemuda itu tidak pernah melihat gadis itu selama dia bersekolah di sini. Jadi, kemungkinan besar dia adalah anak baru, atau adik kelasnya.                 Kei mengangguk mengerti. “Ada anak kelas sepuluh yang cakep, ciri-cirinya sih mirip kayak yang lo bilang. Namanya Selena Lovelia. Banyak yang ngincer tuh dia.”                 Senyuman mengembang di wajah Rieki yang langsung disambut cengiran nakal khas Kei. “Ada yang love at first sight nih kayaknya.”                 Rieki tergelak, tangannya langsung memukul bahu Kei. "Ngaco. Gue cuma penasaran doang kali."                 Kei menaikkan sebelah alisnya. "Ketemu di mana?"                 "Kepo," sambut Rieki sebelum pergi meningglkan sahabatnya itu. Dari kejauhan Rieki mendengar sahabatnya mendumal.                 Ketika melewati lapangan, dia sadar jika yang sedang memakai lapangan tersebut adalah anak kelas sepuluh. Matanya menangkap sosok gadis—kata Kei bernama Selena—sedang bercanda dengan dua orang gadis. Tanpa sadar bibirnya tertarik untuk tersenyum.                 'Selena,' panggilnya melalui telepati. Dia ingin mencobanya. Jika Selena menoleh, itu artinya mereka memang bisa bertelepati.                 Tebakan Rieki benar. Dengan wajah yang agak bingung, Selena menoleh ke kanan dan kiri, mencari sumber suara yang memanggilnya. Ternyata Kei benar, nama gadis itu Selena.                 'Gue di lorong asrama putra,' tambah Rieki, masih dengan mata menatap Selena.                 Saat itu juga Selena menoleh, matanya terbelalak kaget. Kuncir ponytail miliknya bergoyang seirama dengan kepalanya yang berputar.                 'Ini beneran kita bisa ... err ... telepati?' Tanyanya seraya melihat ke arah Rieki.                 'Kelihatannya gimana?' Rieki tertawa kecil melihat wajah Selena yang masih bingung.                 Gadis itu mengusap tenguknya dengan gugup. 'Ya... bisa ...,' jedanya seraya menatap Rieki yang berjalan menjauh, 'kamu mau ke mana?'                 Rieki melangkah perlahan menuju gedung asrama. 'Asrama. Dah Selena,'                 Seperti baru menyadari sesuatu, Selena mengerjapkan matanya. 'Kamu tau namaku dari mana?'                 Tanpa menjawab, Rieki tersenyum dan melambaikan tangannya. Meninggalkan Selena dengan kerutan dalam di keningnya, lagi.                                                                                     ***                 "Audrey. Kamu percaya gak kalau ada orang yang bisa bertukar pikiran?"                 Audrey menunduk, memperhatikan Selena yang sedang mengikat tali sepatu. Saat selesai mengikat, ia mendongak dan kembali bertanya karena Audrey sama sekali tidak menjawab. "Percaya gak?"                 Seperti baru sadar dari lamunan, Audrey mengangguk. "Percaya! Itu romantis banget, Sell! Kayaknya tuh dunia merasa milik berdua!"                 Sejak pertama kali bertemu dengan Audrey, Selena mengerti betul bahwa sahabatnya ini sangat menyukai kisah-kisah romance seperti di konik atau novel. Selena hanya terkekeh melihat Audrey dengan sorot mata yang berseri-seri.                 "Eh, ada apaan sih? Kok tiba-tiba nanya begitu?" Tanya Audrey.                 Selena mengedikkan bahu sejenak. “Gak apa-apa, kok. Yuk, balik. Aku gerah banget nih, mau mandi.”                 Setelah mengambil tas dan baju olahraga mereka, dua gadis itu berjalan menuju gedung asrama putri. Tiba di depan pintu kamar, Selena menepuk dahinya pelan.                 “Astaga Rey! Aku lupa lagi fotokopi soal latihan Bu Valley,” ujar Selena.                 Audrey yang baru saja akan memasukkan kunci kamar langsung menatap Selena horor. Dia tau betul, guru Kimia-nya itu galaknya minta ampun.                 “Ketinggalan dimana?” Audrey bertanya dengan nada was-was. Sebagai sekertaris kelas, tentu saja Selena harus fotokopi segala jenis lembaran yang diberikan oleh guru.                 “Di kelas,” wajah Selena berubah pucat. “Duh, mendung banget lagi,” tambahnya.                 Sebelum masuk kamar, Audrey mengambil barang-barang milik Selena dan mendorong gadis itu perlahan. “Yaudah buruan gih. Daripada keburu ujan. Ntar lo takut gimana.”                 Selena menggigiti bibir bawah, menatap Audrey penuh permohonan. "Temenin ..."                 Dengan tegas Audrey menggeleng. "Gue belom ngerjain hukuman Pak Andre, Sell.."                 Akhirnya dengan setengah hati Selena berlari keluar gedung asrama dan menatap langit. Oh Tuhan, jangan hujan dulu, rapalnya dalam hati. Selena tak suka hujan, apalagi saat ada petir menyambar. Saat banyak petir dan hujan, kejadian mengerikan itu selalu teringat jelas.                 Selena memperhatikan jam tangannya saat berlari di lorong kelas. Sudah pukul setengah tujuh, yang artinya perpustakan—dimana mesin fotokopi berada—akan terkunci secara otomatis. Rainbow Rose Academy punya sistem penguncian otomatis. Jadi, tiap jam tujuh malam semua ruangan di sekolah akan terkunci.                 Saat sampai di kelas, dengan cepat dia merogoh kolong meja. "Untung masih ada," gumamnya.                 Setelah mendapatkan apa yang dicari, dengan tergesa dia berlari kecil menuju ruang perpustakaan di lantai dua. Untungnya Selena hanya perlu turun satu lantai untuk sampai di ruangan itu.                 Anak kelas sepuluh berada di lantai teratas gedung sekolah bersama dengan ruangan guru dan kepala sekolah. Sedangkan lantai dua untuk laboratorium, perpustakaan, dan ruang kelas anak kelas sebelas. Lantai dasar, untuk anak kelas dua belas.                 "Ayo ayo, cepetan ..." Selena melompat-lompat kecil sembari memperhatikan mesin fotokopi yang berjalan dengan lambat. Gadis itu merutuk dalam hati, kenapa mesin ini lama sekali.                 Selang beberapa lama, hujan turun dengan derasnya. Mata Selena melihat sekitar, lega karena ruangan masih terang benderang. Sesaat setelah melihat jam tangan, Selena tersentak kaget karna lima menit lagi ruangan akan dikunci. Sedangkan berkas belum selesai.                 Ceklek. Kepalanya berputar dengan cepat, matanya terbelalak kaget. Saat ini, dia sendirian di ruang perpustakaan dengan petir menyambar, ruangan gelap dan sendirian. Lengkap sudah. Semua hal yang dibencinya saat ini tengah terjadi.                                                                                        ***                 Saat ini, yang ada di dalam benak Selena adalah melarikan diri dari perpustakaan. Tapi pertanyaannya adalah, bagaimana caranya jika pintu utama yang merupakan satu-satunya akses keluar masuk ruangan ini terkunci?                 Kilatan guntur, suara gemerisik air hujan yang mengalahkan suara teriakan Selena membuat nyalinya menciut. Dengan cepat tangannya merogoh saku seragamnya, mencari ponsel.                 “Gak bawa ...” bisiknya lemas lalu berteriak saat petir dengan angkuhnya terdengar, seperti mengejek gadis itu.                 “Mama ...” Selena mulai terisak, tangannya menutup kedua telinganya berharap suara petir takkan terdengar. Sayang sekali, usahanya sia-sia karena petir semakin keras.                 Di salah satu meja perpustakaan yang lebar, Rieki duduk tetdiam sembari menatap langit yang menangis. Matanya memancarkan kegelisahan karna memikirkan seseorang yang sangat dirindukannya. Mungkin saat ini dia sedang kedinginan menahan air hujan? Atau dia berada di belahan dunia yang lain? Atau sama seperti dirinya, terdiam menatap pekarangan melewati jendela?                 Rieki mendesah pelan, merasa frustasi karna tidak menemukan jawaban dari pertanyaannya. Dia bangkit dari posisinya dan melihat jam tangan. “Aish, udah jam segini. Kekunci lagi deh gue.”                 Dengan langkah gontai dia berjalan menuju pintu utama. Sesampainya disana langkahnya terhenti karna melihat seorang gadis duduk meringkuk, memeluk kakinya yang ditekuk sampai menenggelamkan wajahnya.                 Ketika langkahnya semakin dekat dengan gadis itu dia bertumpu pada salah satu lutut demi memperhatikan gadis itu. "Selena?"                 Selena yang sedang menangis dalam diam mendongak dan menemukan Rieki yang menatapnya dengan raut bingung. Saat itu juga air matanya semakin mengalir deras.                 "Lo kok, ada di sini?" Tanya Rieki.                 Bibir Selena mengerucut. "Kekunci ... Tadi aku abis fotokopi ..."                 Rieki tertawa kecil, ia menghempaskan tubuhnya tepat di samping Selena. "Trus lo kenapa nangis?"                 Selena mengedikkan bahunya sekilas, lalu mengusap kasar air matanya. "Aku gak nangis."                 Tapi kemudian suara petir yang menggelegar membuat gadis itu berteriak dan langsung menghambur ke pelukan Rieki. Kaget adalah hal pertama yang dirasakan Rieki. Namun ketika pundak gadis itu bergetar hebat, akhirnya dia mengerti kalau Selena sedang ketakutan.                 “Psst, tenang, tenang,” gumam Rieki berkali-kali seakan itu adalah mantra agar Selena bisa tenang.                 Namun bukannya tenang, Selena menggeleng. “Aku gak suka hujan dan petir,” bisiknya.                 Rieki menghela napas dan tetap mengusap perlahan puncak kepala gadis itu. "Gak apa-apa, petir sama hujan gak bakalan bisa nyakitin elo."                 Perlahan, gadis itu menjauhkan diri dari Rieki dan mengusap air mata. Dengan ragu ia menatap Rieki. “Sorry, tiba-tiba aku ...”                 “Gak apa-apa,” ujar Rieki seraya tersenyum kecil.                 Selena melirik laki-laki itu lagi dan mendunduk. “Makasi ya, umm ...”                 “Rieki,” potong Rieki seraya menatap manik gadis itu. Selena tersenyum kikuk dan langsung duduk bersandar di dinding sebelah pintu.                 “Lo kelas sepuluh, ya?”                 Selena mengangguk. “Kamu?”                 “Sebelas.”                 Tak ada pembicaraan berarti setelah perkenalan singkat mereka. Diantara keheningan yang tercipta diantara keduanya, hanya suara derasnya air hujan dan petir yang sesekali membuat tubuh Selena menegang.                                                                                              ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD