PROLOG

1099 Words
Di sebuah masa, ketika hal yang asing dianggap sebagai sebuah keajaiban. Segala perkara diawali satu tanda koma dan berakhir dalam satu tanda titik. Di suatu sudut waktu yang tertinggal jauh di kedalaman palung zaman, dari sanalah segala hal bermula. Di sanalah langkah awal satu babad terkisah melalui satu napas kehidupan ke generasi selanjutnya. Tersebutlah dia yang menguasai segala perkara, baik yang bijak maupun buruk, memandang takjub kilatan cahaya yang menggantung di ruang waktu. Luma namanya. Dialah pemimpin tertinggi dari sosok-sosok agung yang nantinya oleh para fana dikenal sebagai Maiär. Atas segala ilmu yang dimiliki, maka Luma mendapat tempat tertinggi dalam penciptaan. Luma menatap satu pendar cahaya kehidupan, lalu ia berkata dalam bahasa agung, “Aku ingin menghidupkan pendar-pendar indah ini dalam sebuah dunia.” Lalu, Luma pun memasukkan jemarinya ke dalam sungai waktu; membiarkan pendar-pendar cahaya mengelilingi ujung jemari Luma. Atas kuasa Luma, sebuah dunia pun terbentuk. Hanya saja dunia itu hanya berupa cangkang kosong—tiada apa pun selain debu dan langit pekam. “Lihatlah,” ujar Illina, sang keindahan dan cinta. Dialah yang melahirkan kasih. Segala ikatan pernikahan dinubuatkan dalam sumpah suci atas restu Illina. “Tidakkah dataran akan tampak indah jika kita tuangkan sedikit warna di dalam sana?” “Benar,” Luma mengakui. “Aku pun merasakan kekosongan.” “Isilah dataran itu dengan makhluk-makhluk yang nantinya akan menjadi pelayan setiamu,” Illina mengusulkan. “Tidakkah sebaiknya kalian ikut serta bersamaku?” Luma menyarankan, “Memberi napas kehidupan kepada setiap makhluk yang akan singgah di sana? Wahai saudara dan saudariku yang luhur, bantulah aku menanam kebaikan bagi kita semua.” Para Maiär saling melempar pandang, menanti salah satu di antara mereka mengambil langkah pertama. “Maka,” kata Agnis, “biarkan apiku yang membuka kitab pertama penciptaan. Akulah yang nantinya menjadi penerangan di dataran gelap.” Agnis, dari setiap nyala api, menciptakan kaum yang nantinya ditakdirkan menguasai daratan barat Benua Lumios. Kaum dengan hati baja dan kehendak sekeras karang, merekalah yang kelak dikenal akan kemampuan bertarung dan kaum paling beringas di antara kaum terpilih penghuni Benua Lumios. “Jika Agnis telah memberikan pelita pengusir kegelapan.” Ise berkata, “tibalah giliranku menurunkan mereka yang akan merawat dan melindungi dataran utama dari kehancuran.” Ise, penguasa malam, dari tiap percik air matanya, menciptakan kaum yang memiliki kendali atas air. Dari setiap helaan napas Ise, kaum ini diberkati kekuatan; dikisahkan bahwa anak-anak Ise mampu membekukan setiap makhluk yang melawan kehendak Ise, maka kaum inilah yang nantinya ditakdirkan memberikan kehidupan maupun kehancuran kepada para pendengki. Akan tetapi, di antara Maiär, ada sosok Maiär yang memiliki perangai buruk. Dia tidak menyukai perbuatan Luma dan saudara-saudarinya. Maka, diam-diam Ingol meniup bibit kejahatan ke dataran baru. Pepohonan yang diciptakan Luma pun menguning dan layu, sementara bunga-bunga karang yang disayangi Ise terserabut dan koyak sebelum mekar. Sadar bahwa ada tangan tak kasatmata telah menyentuh ciptaanya, Illina pun menangis. “Lihatlah,” katanya. “Percik-percik cahaya yang indah itu mulai pudar.” Agnis pun berpesan, “Luma, saudara kita yang harusnya ikut ambil dalam penciptaan memilih merusak yang kita bangun. Haruskah aku menghanguskan dunia yang belum sempat mengenal kehidupan?” “Saudara-saudariku,” Luma menuturkan. “Sekarang dataran itu telah menjadi tempat bernaung bagi kaum yang ditakdirkan berselisih jalan. Aku membenci perbuatan dia yang tak boleh kita sebut namanya. Tetapi, aku pun tak ingin anak-anak kita tersesat menuju rimba kejahatan.” “Luma,” Agnis menimpali. “Jika memang mereka nantinya ditakdirkan saling menghancurkan, maka biarkan. Sudah bukan wewenang kita. Luma, darimu segala yang baik berasal dan dari yang tak boleh disebut namanya, segala keburukan bermula. Itu sudah digariskan, tak satu pun dari kita bisa menghentikan akhir dari penciptaan. Maka, dengan segala kerendahan hati, ciptakanlah kaum yang akan menerangi Lumios.” “Maka aku akan menurunkan anak-anak yang menjadi penunjuk arah ketika kegelapan tiba.” Luma, penguasa cahaya dan pemberi kebijaksanaan, memberkati setiap makhluk yang tercipta di Benua Lumios. Maiär tertua sekaligus paling disegani: Luma. Dia menerangi daratan dengan sinar kasih. Lalu, dari setiap percik terang lahirlah makhluk-makhluk beparas rupawan penghuni Benua Lumios. Maka dimulailah penciptaan atas ras-ras penghuni Benua Lumios. Setiap makhluk yang terlahir dari jemari Maiär memiliki nyawa; mereka bernapas, mampu mencerna fenomena, bahkan di antara mereka ada yang memiliki niatan buruk. Jika ada terang yang mengesakan segala makhluk yang bernapas, maka di sisi lain sang terang pun akan diikuti kegelapan yang senantiasa meredupkan tiap harapan yang ditanam oleh mereka yang memiliki cahaya. Sudah disuratkan dalam setiap bab penciptaan, maka tak satu pun dari para pemilik kuasa mampu membendung alur kehidupan semesta. Bibit-bibit kejahatan itu ada, tersembunyi di antara hati para makhluk ciptaan dan menunggu kesempatan bertunas dan menebar benih pertikaian. Segala yang indah akan kehilangan daya pikatnya, begitupula dengan kedamaian. Ingol tengah tertidur di dasar palung kegelapan. Ia ada dan tinggal menunggu bunga kejahatan pertama mekar di tanah Lumios. Tetapi, apalah yang Maiär lakukan; mereka yang meniupkan roh pada makhluk-makhluk rupawan itu tidak peduli kepada nyawa-nyawa yang menempati Benua Lumios. Para Maiär membiarkan karya mereka memulai langkah tanpa bimbingan dari entitas yang menyebabkan mereka menjadi ada. Ciptaan-ciptaan mereka yang diberkati dengan sentuhan surgawi, beberapa mulai membangun peradaban; memotong pepohonan yang disayangi Luma, menebang tiap batang, lalu mengubah tanah hijau menjadi bangunan megah. Padang bunga disulap menjadi perkampungan dan hilanglah sudah ciptaan awal Luma. Luma menyayangkan akibat buruk penciptaan, namun yang paling dia takutkan adalah kegelapan yang tertidur jauh di palung Lumios. Sebentuk kehidupan purba yang telah lama berdiam di Lumios, entitas yang bahkan karena kekuatannya menyebabkan keberadaannya bersifat terlarang. Luma tahu, sangat paham sebab ialah yang mengurung entitas itu di kedalaman Lumios. Luma mengurung ia yang paling gelap di dasar Lumios agar ia yang paling gelap tidak mencemari Lumios. Tapi kini, dengan segala keesaan yang kian memudar, Luma cemas apabila dia yang tak pernah diharapkan bangkit dan menelan segala ciptaan dan keindahan. Luma memejamkan mata dan menyentuh sisi kelam Benua Lumios yang terpantul di permukaan danau kehidupan. Dia berharap segala seni yang terlahir tidak akan menyebabkan kehancuran. Maka kukatakan kepadamu. Dengarkan, walau tak akan menjadi bagian dari lagumu. Segala yang dilukis oleh saudara dan saudariku. Segala makhluk elok yang mengisi taman surgawi. Kelak salah seorang dari mereka akan menjadi penyebab atas dukamu. Maka dengarkan, dengarkan suaraku. Saat anak-anak saling menyerang sesamanya. Maka aku akan menunjukkan citraku. Percayalah, aku tak akan pernah menyesatkanmu. Walau yang gelap dan pekam lebih menyenangkanmu. Inilah sajak yang disenandungkan pada awal penciptaan. Hanya mereka yang terberkati, hanya dia yang disucikan rohnya, hanya dia yang mampu melihat menembus kebatilan dan racun dunia sajalah yang sanggup menarik pengetahuan yang ditinggalkan Luma. Hingga kejatuhan tiba, para ciptaan tidak menyadari bahwa yang batil dan bengis tengah menunggu di balik selimut kegelapan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD