CHAPTER 1

1128 Words
“Ma, aku mau berhenti kerja.” Itulah kalimat pertamaku sejak kembali dari kantor sejam lalu. Ucapan itu sontak membuat Mama beralih dari piring makan malamnya padaku. Matanya yang sipit semakin disipitkan, membuat keriput mirip cakar gagak di sudut luar matanya semakin terlihat tegas. Mama meletakkan sendok, lalu berdeham pelan. “Maksudnya apa, Claire?” tanya Mama. Aku tahu Mama pura-pura bodoh, sebab dilihat dari sorot matanya, Mama jelas-jelas tampak ingin mencekikku sampai memuntahkan seluruh isi perutku. Aku pura-pura tak tahu saja, walau aslinya aku kepengin meleduk di tempat mirip tabung gas kelebihan isi. “Berhenti, Ma. Nggak kerja di kantor itu lagi,” jelasku sesantai mungkin. Setelah dirasa-rasa, perbandingan keadaanku saat ini dan saat di kantor nyaris persis dengan langit versus bumi. Di ruang makan ini hanya ada aku, Mama, dan adik laki-lakiku yang terlalu sibuk memilah sosis dan wortel dalam supnya untuk memperhatikan ucapanku. Lumayan sunyi tapi tidak sampai mencekam. Sementara di kantor, ada banyak orang dalam kubikel masing-masing dan tiap orang mengetik dengan berisik. “Oh,” respons Mama. Dia menoleh adikku, dan berujar, “Cain, wortelnya dimakan juga, dong. Kenapa dibuang-buang begini?” Adikku Cain adalah anak laki-laki kurus dengan rambut cepak dan wajah tirus. Dia mengerutkan bibirnya dan menuangkan sesendok penuh wortel ke sisi mangkuknya. “Nggak mau. Jijik.” “Jangan begitu, Cain,” tegur Mama. “Kan wortel bagus buat mata.” Berani taruhan, Mama mengabaikanku karena dia terlalu jengkel pada ucapanku tadi. Biasanya mamaku memang begitu. Kalau dia sudah marah, dia akan pura-pura tidak melihat kita atau menganggap kita transparan seperti selembar plastik bening. Aku tidak menyalahkan sikap Mama yang seperti itu. Lagi pula, semua orangtua pasti ingin yang terbaik bagi anaknya. Bagi Mama, yang terbaik untukku adalah menjadi pegawai kantoran dengan pendapatan tetap dan masa depan terjamin. Mama pernah memberitahukan itu padaku saat usia pekerjaanku baru dua bulan dan aku merengek karena tak betah. Bahkan Mama sempat memintaku untuk terus mengejar karir sampai jenjang tertinggi. Maka akulah yang mengambil langkah berikutnya. “Ma, aku serius. Aku mau berhenti.” Mama masih mengabaikanku. Dia hanya memindahkan wortel dari mangkuk supnya ke mangkuk Cain. Sungguh, kalau aku sedang tidak dalam keadaan ingin berbaik-baik, aku pasti sudah menyerukan keinginanku keras-keras ke wajahnya. “Kakak juga nggak makan wortelnya, kok!” Cain protes tiba-tiba seraya menuding mangkuk supku yang masih penuh dan tak tersentuh. “Itu, buat Kakak aja!” Debat wortel t***l Mama dan Cain agaknya akan memasuki fase berikutnya. “Ya sudah, kalau nggak mau, besok Mama hilangkan wortel dari resep supnya,” kata Mama. Tangan putihnya mengusap kepala Cain. “Bandel, ya, anak Mama yang satu ini.” Cain tertawa-tawa. Aku mengerutkan kening. Selama bertahun-tahun mengamati, aku berani menarik kesimpulan bahwa Mama lebih menyayangi Cain ketimbang aku. Aku tidak protes, tidak debat, tidak apalah. Cain masih empat belas tahun. Pantas saja kalau dia disayang dan dimanja. Hanya saja, saat Mama lebih memperhatikan Cain ketika aku sedang serius-seriusnya, aku marah. Ada sisi diriku yang terbakar dan menyerukan segala macam bentuk konvoi untuk diungkapkan dengan tidak baik-baik. “Ma—” “Kalau kamu berhenti,” Mama menyela tanpa menatapku, “kamu mau jadi apa? Nganggur?” Ha! Akhirnya aku berhasil mendapatkan perhatian Mama lagi! Dan pertanyaan inilah yang sudah kutunggu-tunggu dari tadi. Jelas, aku membuat keputusan besar untuk hengkang bukannya tanpa tujuan atau rencana matang. Aku, Claire Amaya, dua puluh dua tahun, sarjana akuntansi dengan nilai pas-pasan, selalu punya rencana dalam kepalaku. “Aku mau jadi bos,” jawabku sambil memandang langit-langit seakan itu adalah lukisan taman firdaus komplit dengan malaikat dan bintang-bintang. “Bos?” ulang Mama, kedengaran tak percaya. Kini dia memandangku, membeliak dan mulutnya ternganga. “Bos apa?” Cain bertanya sambil melongo. “Kalau Kakak jadi bos, aku bisa jadi bos juga?” “Claire, kamu ini jangan mikir yang bukan-bukan,” tegur Mama seraya kembali pada supnya. “Sudah untung kamu bisa kerja di kantoran seperti itu, malah mau keluar. Kamu harusnya bersyukur dan bertahan, bukannya malah minta berhenti. Apa kamu nggak malu dilihat teman-temanmu?” “Nggak, lah!” sahutku terlalu keras dengan nada terlalu tinggi. “Kan bukan mereka yang gaji aku.” “Tadi kamu bilang mau jadi bos. Kamu mau buka usaha sendiri?” lanjut Mama. Seberkas senyum melintang di bibirku. “Iya. Aku mau buka usahaku sendiri, dan aku nanti jadi bos buat diriku sendiri.” “Asyik!” seru Cain. Aku yakin sejuta persen, Cain sebenarnya tidak paham apa-apa. Dia memang suka menyeletuk dan berseru seolah memahami segalanya. Namun, alih-alih gemas, aku malah makin bersemangat. “Semuanya udah aku rencanain, Ma. Jadi, nanti kalau aku udah resign, aku nggak akan bingung sama usahanya,” jelasku, berusaha menarik perhatian Mama lagi, sebab kulihat dia sudah mulai memasuki fase Mengabaikan Claire. “Aku juga udah bikin business plan-nya. Mama mau lihat?” Mama menatapku tajam-tajam dan lebar-lebar. Saking lebarnya, aku bisa melihat pantulan diriku di bola mata Mama. “Coba terangkan dulu ke Mama secara lisan. Kalau kedengaran menyakinkan, Mama dukung. Kalau nggak, ya kamu tahu sendiri kelanjutannya.” Mamaku mantan branch manager di sebuah cabang perusahaan ternama. Perjuangannya sejak awal sebagai marketing rendahan, hingga menanjak menjadi relationship officer, lalu akhirnya menduduki posisi branch manager sampai dipindahkan beberapa kali ke luar kota, patut diacungi dua jempol. Karena faktor usia, akhirnya Mama pensiun. Kini Mama hanya mengurus rumah apalagi setelah Papa meninggal setahun lalu. “Aku mau buka usaha toko bunga,” kataku dengan sedikit menggebu-gebu. Rasanya keren sekali telah berhasil mengungkapkan apa yang selama ini terpendam dalam d**a. Mama menaikkan satu alis. “Toko bunga? Memangnya kamu paham seluk-beluk toko bunga? Berapa kira-kira omzetnya per bulan, kerugiannya, dan lain-lain?” “Tahu, lah,” sahutku sedikit dongkol. “Kan, udah aku rencanain dari jauh hari lalu. Kira-kira sebulan, aku bakal dapat—” “Mama nggak setuju, Claire,” tolak Mama mentah-mentah tanpa melihatku. “Mama nggak mau kamu mulai semuanya dari nol lagi. Sudah bagus kamu kerja di kantor. Gaji tetap, hubungan sama orang lain juga ada, dan kalau kamu kompeten, kamu bisa naik pangkat sampai jadi seperti Mama dulu. Kenapa kamu malah mau mulai dari nol lagi? Kamu ini memang nggak pernah bersyukur, Claire!” “Lah? Bukan gitu, Ma!” Tanpa sadar, aku menggebrak meja. Cain berjengit di kursinya dan melirikku takut-takut. “Kamu tahu seperti apa perjuangan Mama sampai bisa jadi seperti sekarang?” Mama mencerocos. Sekarang tatapannya tertuju padaku. Tajam dan penuh tuntutan. “Mama sampai dipindahkan ke kantor di Madura, Kalimantan, sampai Gorontalo. Semua itu Mama lakukan tanpa mengeluh selama bertahun-tahun! Kamu baru kerja setahun saja sudah minta keluar. Bikin malu saja!” “Mama nggak perlu malu,” balasku. “Yang menjalankan semuanya itu aku. Rugi atau malu atau apalah, biar aku yang tanggung.” Mama mendecak, dan terdiam. Cain yang duduk di sebelahnya menolehku dan Mama bergantian, lalu dia menunduk memandangi mangkuk supnya. “Pokoknya, aku udah mantap dengan pilihanku.” Aku beranjak dari kursi, meninggalkan makan malamku yang tak tersentuh sama sekali. “Pasti berhasil.” “Pasti berhasil!” Cain mengulangi kalimatnya dengan nada ceria. “Ya, kan, Ma?” Karena Mama tidak membalas bahkan setelah dua detik penuh, aku memutuskan untuk meninggalkan ruang makan saja. Sekarang sudah tiba saatnya bagiku untuk mematangkan konsep yang telah kurancang sejak jauh hari lalu. Konsep yang berasal dari hasil semadiku di kabin kantor, di toilet, di kamar mandi. Konsep yang membuat dadaku berbunga-bunga hanya dengan memikirkannya. Konsep yang akan menjadi awal dunia baruku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD