Bab 1

3005 Words
Manakah yang lebih menyeramkan? Apakah hidup di bumi bersama kumpulan zombie yang menakutkan atau hidup di bumi tanpa dampingan orang tersayang? Tentu kebanyakan orang akan memilih yang pertama. Akan tetapi bagi orang yang pandai pasti akan lebih memilih yang kedua. Karena apa? Karena zombie itu tidak nyata, sedangkan hidup tanpa dampingan orang tersayang bisa saja jadi kenyataan. Ini adalah kisah tentang lelaki yang hampir terlahir dengan sempurna. Namanya adalah Al Gibran Ramadhana, biasa dipanggil Gibran. Sebuah cerita tentang kisah cintanya yang penuh dengan lika-liku dan banyak sekali tantangan maupun rintangannya. Beginilah ceritanya.... Sejauh mata memandang, hanya nampak bangunan yang disebut dengan sekolahan beserta halamannya dan beberapa pohon yang berdiri kokoh di sana. Di depan pintu gerbang sekolahan sana, nampak tiga lelaki berseragam SMP yang sedang berkumpul. Ya, salah satu di antara mereka adalah sang tokoh utama dalam cerita ini, yaitu Gibran. "Oi, Kahlil Gibran," panggil salah satu dari mereka. Ah, iya. Demikianlah julukan yang diberikan oleh teman-temannya Gibran kepadanya. Kahlil Gibran, sungguh julukan yang sangat bagus, berbeda dengan sifat asli Gibran itu sendiri. "Apaan?" tanya Gibran tak santai. "Wih, santai dong jawabnya. Kalau kayak gini kan gue jadi gak berani ngomong banyak-banyak. Karena kalau gue ngomong banyak, Lo pasti akan tambah ngegas dan tidak senang dengan apa yang gue omongin ini. Gue gak mau Lo tambah kesal karena gue," ucap seorang lelaki yang tak kalah tampannya dengan Gibran. Sebut saja namanya Indra. "Ya Allah, sabarkanlah hambamu ini dalam menghadapi teman bodoh kayak gini, ya Allah," ucap Gibran sambil menengadahkan kedua tangannya di depan d**a layaknya orang yang sedang berdo'a. "Hahaha.... Iya, Bran. Lo harus ekstra sabar. Indra keenam emang gitu kelakuannya," ucap satu lagi lelaki yang ada di perkumpulan itu. Ia juga tak kalah tampannya dengan Gibran maupun Indra. Sebut saja namanya Iqbal. "Cih." Indra mendecak sebal karena perkataan Iqbal. Begitulah. Mungkin di antara tiga manusia tampan itu, hanya Iqbal yang tidak ataupun belum mempunyai nama panggilan lain. Gibran yang sering dipanggil Kahlil Gibran, dan Indra yang sering dipanggil dengan sebutan Indra keenam. Cuma Iqbal yang masih setia dipanggil dengan nama aslinya oleh teman-temannya. "Eh, sudah, gue mau ngomong penting nih sama kalian," ucap Indra mendadak serius. "Ngomong apa?" tanya Gibran. "Jadi gini. Liburan nanti kan, gue berencana mau ngajak kalian pergi ke pantai," ucap Indra. "Lalu?" tanya Iqbal. "Ya, Lo berdua mau, nggak?" tanya Indra balik. "Tergantung," jawab Gibran. "Tergantung apa?" tanya Indra. "Tergantung situasi dan kondisi, serta apakah ada waktu yang luang atau tidaknya, dan biaya juga tentunya," jawab Gibran panjang lebar. "Dih, orang kaya mau pergi ke pantai aja masih mikirin biaya," ucap Indra. "Orang kaya apaan?" ucap Indra dan Iqbal kemudian secara bersamaan. "Bukannya gitu. Masalahnya, gue sedang dihukum sama ayah gue. Uang jajan gue dipotong 90 persen dari jumlah sebelumnya," ucap Gibran. Sontak hal itupun membuat Indra dan Iqbal kaget. Pasalnya mereka tak tahu kalau hal itu terjadi pada Gibran. "Dipotong? Memangnya Lo ngelakuin kesalahan apa sampai uang jajan Lo dipotong sebanyak itu sama ayah Lo?" tanya Iqbal. "Kesalahan kecil, sih. Jadi gue kan diam-diam mau minta hotspot dari ponsel ayah gue. Eh, sialnya wallpapernya malah gambar pocong. Otomatis gue kaget dan langsung ngebanting tuh ponsel sampai akhirnya rusak," jawab Gibran. "Lalu gue dihukum deh. Hufff.... Memang sudah nasibnya orang ganteng," katanya kemudian. Keduanya langsung memberikan tatapan malasnya ketika mendengar ucapan panjang dan lebar yang Gibran ucapkan. Tatapan malas itu bertambah di kala Gibran memuji dirinya sendiri yang mengatakan bahwa dia ganteng. "Ya, kesalahan kecil, kok. Kecil banget, tuh," ucap Iqbal seakan tak terima dengan Gibran yang menyebut kesalahan itu hanyalah sebuah kesalahan kecil. "Jadi karena itu Lo mikir dua kali kalau mau pergi main?" tanya Indra. "Iyalah. Mana tabungan gue di rumah tinggal sisa 10 juta lebih sedikit, pula," jawab Gibran. "Hah? Coba Lo ulangi lagi," pinta Indra. "Apanya yang diulangi?" tanya Gibran tak paham. "Perkataan Lo tadi," jawab Indra. "Yang mana?" tanya Gibran lagi. "Yang soal tabungan Lo," jawab Indra. "Ooo...." Gibran manggut-manggut mengerti. Akhirnya dia paham apa yang dimaksudkan oleh sahabatnya itu. Ah, tidak. Mungkin dia juga sudah paham sedari tadi. Hanya saja dia memanipulasi keadaan seolah-olah dirinya tak paham apapun tentang apa maksud ucapan dari Indra yang tadi. "Tabungan gue tinggal 10 juta lebih sedikit," ucap Gibran kemudian. "Tabungan sebanyak itu masih membuat Lo mikir dua kali saat teman Lo ngajak Lo liburan ke pantai?" tanya Indra ngegas. "Kita berteman, kah?" tanya Gibran balik dengan santai dan tanpa beban. "Cih, dasar teman laknat," gumam Indra. "Hahaha.... Ah, iya, Ndra. Memangnya kita mau naik apa kalau nanti ke pantai?" tanya Iqbal mengalihkan pembicaraan. "Ya motor, lah," jawab Indra cepat. "Gila Lo! Kena tilang baru tahu rasa Lo," ucap Iqbal. "Lewat jalan tikus dong, pinter," ucap Indra. "Wah, jangan begitu. Kita ini harus menjadi warga negara yang baik. Selain itu, itu kan demi keselamatan kita sendiri. Jadi gue gak setuju kalau perginya dengan naik motor," tolak Gibran. Penolakan si Gibran langsung membuat Indra merasa akan mendapatkan kegagalan pada rencana liburannya kali ini. Ditambah lagi dengan sikap si Iqbal yang seolah-olah malah mendukung Gibran dalam upaya untuk melakukan penolakan itu. Tak ada pembicaraan untuk beberapa saat. Mungkin semuanya sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terlebih lagi bagi seorang Indra yang pastinya sedang memikirkan tentang bagaimana cara untuk membuat liburannya itu menjadi kenyataan. "Tapi kalau sekali-kali gak apa-apa, sih. Bukankah aturan ada untuk dilanggar? Soal hidup dan mati kan juga sudah ditakdirkan oleh yang di atas," ucap Gibran kemudian. Sontak itu membuat Indra dan Iqbal langsung terkejut. Bahkan Indra sampai mendongakkan kepalanya, entah karena apa. "Eh, minggir aja kalau begitu, menjauh dari sini!" ucap Indra sambil pandangannya terus tertuju ke arah atas. "Emang kenapa?" tanya Iqbal penasaran. "Tadi si Kahlil Gibran ini kan bilang kalau masalah hidup dan mati sudah ditakdirkan olah yang di atas. Maksudnya dahan pohon, kah? Ini yang di atas kita kan pohon. Lebih baik kita menjauh dulu dari sini sebelum dahan pohon itu merenggut nyawa kita," jawab Indra panjang lebar. "Maksud gue bukan dahan pohon, tapi Allah," ucap Gibran menjelaskan. "Emang Allah cuma di atas doang. Allah itu ada di mana-mana. Di segala tempat. Di hati kita juga," ucap Indra layaknya seorang ustadz besar yang sedang berceramah. Skakmat. Kali ini Gibran kehabisan kata-kata untuk melakukan perlawanan. Kalau dipikir-pikir, ucapan Indra itu benar, atau bahkan sangat benar. Ia sungguh sudah tak dapat membalas lagi perkataan Indra dengan kata-kata yang menandakan ketidaksetujuannya. "Iya juga, ya," ucapnya. "Emmm.... Ya udah lah, lupain! Ngomong-ngomong soal rencana Lo ngajak kita ke pantai, itu kapan?" tanya Gibran kemudian. "Cih, ganteng-ganteng, bud*k," ejek Indra. "Terimakasih, terimakasih. Gue tahu gue ini ganteng, tapi gak perlu lah sampai muji kayak gitu," ucap Gibran dengan kepercayaan diri tingkat tinggi. "Lah, gue kan juga bilang kalau Lo bud*k. Menurut Lo itu juga pujian?" tanya Indra. "Kan kata Lo, gue bud*k, ya gue nggak bisa dengar, lah, kalau Lo ngatain gue kayak gitu," ucap Gibran membela diri. "Lha itu, bisa," kata Indra. "Eh, sorry. Kuping gue khilaf. Harusnya sih gak denger, ini malah kedengeran," ucap Gibran tak jelas. "Terserah Lo, deh, terserah Lo. Bal, Lo dari tadi kenapa diam mulu, sih?" tanya Indra sambil memandang Iqbal. "Maaf, sebagai sahabat yang baik, gue juga mau menjadi pendengar yang baik saja. Bukankah gitu, wahai Kahlil Gibran?" jawabnya, kemudian ia bertanya kepada Gibran. "Yap, betul sekali," jawab Gibran. Indra mendecak sebal. Ia merasa kedua sahabatnya itu tidak ada yang waras. Kalau itu bukan sahabatnya, mungkin Gibran dan Iqbal sudah dihajarnya sedari tadi. Ya, walaupun ia juga tidak yakin bisa menang jika melawan mereka berdua sekaligus. "Hufff.... Sudahlah! Gue mau nanya serius, nih. Lo ngajak kita ke pantai itu kapan?" tanya Gibran. "Kan gue udah bilang saat liburan nanti," jawab Indra. "Maksud gue tuh tepatnya kapan?" tanya Gibran lagi. "Ya saat liburan nanti," jawab Indra. "Ya, ya, liburan," kata Gibran sambil memandang dengan malasnya. "Hahaha.... Ya tergantung nanti aja lah, Bran. Yang pasti saat liburan semester kali ini," ucap Indra yang akhirnya mau serius. "Oh," ucap Gibran singkat. "Nanti gue kasih tahu Lo berdua kalau waktunya sudah tepat," ucap Indra lagi. "Oh," kata Gibran. "Cih, dasar teman-teman laknat, yang satu cuma 'ah, oh' yang satu diam terus kayak orang bisu," ucap Indra kesal. "Lah. Masih mending gue jawab. Ketimbang Iqbal, cuma diam aja," ucap Gibran. Indra lalu memandang ke arah Iqbal, Gibran pun melakukan hal yang sama, seolah mereka berdua sedang meminta jawaban dari seorang Iqbal. "Apa? Kan udah gue bilang, gue mau jadi pendengar yang baik saja," ucap Iqbal. Sontak jawaban itupun membuat Gibran dan Indra langsung menghembuskan napas pelan. "Emang Lo setuju kalau perginya naik motor?" tanya Indra kemudian kepada Iqbal. "Ya setuju aja," jawab Iqbal. "Tadi katanya gak setuju. Takut ditilang, lah. Apa lah," kata Indra. "Seperti kata si Kahlil Gibran tadi, bahwa aturan itu ada untuk dilanggar. Kan percuma kalau ada aturan, tapi nggak ada yang melanggar. Kalau seperti itu, ngapain dibuat? Buang-buang waktu aja," jawab Iqbal panjang lebar. "Baguslah kalau kayak gitu. Eh, tapi kayaknya seru kalau ke pantainya sambil ngajak cewek-cewek kita. Bal, Lo ajak si Nessa, gue ajak si Elsa, dan Gibran ngajak...." Indra menggantung ucapannya. "Ngajak siapa, ya? Kan dia gak punya pasangan. Hahaha," lanjut Indra yang diakhiri dengan tawanya. Iqbal juga tertawa. Kali ini mereka berdua terlihat kompak dalam upaya untuk mengejek seorang Gibran. "Woi, pendengar yang baik, Lo ngapain ikut ketawa?" tanya Gibran dengan nada kesal. Akan tetapi, Iqbal seolah tak memperdulikan hal itu. Ia masih saja terus tertawa terbahak-bahak hanya karena ingin mengejek Gibran. Sekedar info, Nessa Sebenarnya bukanlah pacar Iqbal, demikian pula Elsa yang bukan pacar si Indra. Hanya saja, mereka sedang dalam masa pendekatan. Namun, di antara mereka itu hanya Gibran lah yang tidak dekat dengan perempuan manapun. Ya, biar bagaimanapun juga, dia merasa belum pantas jika harus berpacar-pacaran, karena dia tahu bahwa dia masihlah seorang remaja SMP kelas 3 yang harusnya masih memikirkan belajar, bukan pacaran. "Dia kan jomblo abadi, Bro. Hahaha," ejek Indra lagi sambil menepuk pundak Iqbal. "Woi, Lo berdua juga sama-sama jomblo. Lagian si Nessa sama Elsa kan bukan pacar Lo berdua," ucap Gibran melakukan pembelaan diri. "Hahaha.... Bodoamat. Yang penting sudah ada yang dekat. Lo mana ada," ejek Indra lagi. "Cih." Gibran mendecak sebal, kesal dengan tingkah kedua sahabatnya itu. "Baiklah.... Kalau begitu, gue tantang kalian. Siapapun di antara kita yang bisa mendapatkan pacar terlebih dahulu, maka dia adalah pemenangnya," ucap Gibran. Kedua sahabatnya itu saling memandang, kemudian merek berdua tertawa seperti orang gila meski maksud tawa itu ditujukan ke Gibran. "Jika kami menang, kami dapat apa?" tanya Indra. "Yang kalah harus mentraktir yang menang selama sebulan," jawab Gibran. "Oke, siapa takut," ucap Indra tanpa ragu. "Kita lihat saja nanti, siapa yang menang," ucap Gibran. "Tentu saja, yang pasti Lo gak akan pernah bisa ngalahin gue sama Iqbal. Hahaha," ucap Indra. "Tenang, kawan. Kau memang lebih pantas menjadi jomblo abadi," ejek Iqbal sambil menepuk pundak Gibran. Sontak hal yang demikian itu langsung mengundang tawa Indra. "Cih." Gibran lagi-lagi hanya mendecak sebal. Itulah awal di mana seorang manusia yang tidak peduli dengan yang namanya pacaran mendadak berubah menjadi sang pejuang cinta. Ya, dia adalah Al Gibran Ramadhana atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Kahlil Gibran. Ketika hari itu sudah berganti, semuanya pun berubah. Saat di sekolahan, Gibran mulai melancarkan aksinya dengan mendekati seorang gadis cantik dari kelas sebelah yang bernama Riani. Ia benar-benar menganggap tantangan itu sebagai ajang untuk menjunjung harga dirinya. Maka dari itu ia harus memenangkannya. Oh, ya. Riani adalah gadis berambut hitam panjang kemerah-merahan. Katanya, dia adalah anak dari seorang yang kaya raya. Tentu dalam hal itu, Gibran bisa sebanding dengan dia, karena Gibran juga anak dari orang yang kaya raya. "Hei," sapa Gibran kepada Riani waktu istirahat. "Hai," balas Riani. "Mau ke mana?" tanya Gibran. Sepertinya dia belum punya pengalaman dalam hal merayu seorang perempuan. "Kantin," jawab Riani singkat. "Boleh ikut?" tanya Gibran. Riani senyum sambil memandangnya, tapi belum memberikan jawaban. Cukup lama mereka saling pandang, tapi Riani seakan ragu untuk memberikan jawaban. Biar bagaimanapun juga tentu dirinya merasa aneh dengan sikap Gibran yang terkenal tak mau berurusan dengan perempuan, tapi kini malah berusaha untuk mendekatinya. "Jangan mau! Dia mau minta ditraktir, tuh. Hahaha...." Tiba-tiba kedua insan itu dikagetkan dengan munculnya suara yang datang dari arah belakang Gibran. Gibran sungguh sangat mengenali suara itu. Ketika dia menoleh, dan ternyata benar apa yang dia pikirkan. "Hei Kahlil Gibran, tidak gue sangka Lo ternyata matre, pakai minta ditraktir segala," ucap seseorang yang ternyata adalah Indra. "Wah, parah sekali kau kawan. Riani, jangan mau! Beneran deh, jangan mau! Jangan mau kalau si Gibran ini minta ikut kamu ke kantin. Perlu kamu tahu. Dia ini cuma lelaki yang memanfaatkan ketampanan tidak seberapanya itu untuk meminta traktiran dari para cewek," ucap Iqbal panjang lebar. Riani lagi-lagi hanya senyum, merasa aneh dengan kelakuan tiga lelaki di sekitarnya itu. Sedangkan Gibran, dia sudah sangat geram akibat kedatangan dua sahabat laknatnya itu. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat sambil menggertakkan gigi atas dan bawahnya. Namun dirinya tahu bahwa masih ada Riani. Ia harus menjaga sikap agar gadis cantik itu tidak menyimpulkan yang tidak-tidak tentang dirinya. "Ya sudah. Kalau begitu, semuanya, aku pergi dulu ya, mau ke kantin," ucap Riani meminta izin. Gibran pun mengalihkan pandangannya ke arah Riani. Ia menampakkan raut wajah seakan-akan melarang Riani untuk pergi dari hadapannya, namun Riani malah hanya memberikan senyum manisnya kepada Gibran. "Iya, Riani. Pergilah! Yang penting jangan sama Gibran," ucap Indra. Riani pun akhirnya melangkahkan kaki menjauh dari tiga lelaki tak jelas itu. Gibran masih memandang kepergian Riani dengan tatapannya yang sayu, seolah-olah dirinya tak rela jika gadis itu meninggalkan dia di situ. Ah, itu semua karena sahabat-sahabat laknatnya itu. "Ketika mimpimu yang begitu indah tak pernah terwujud, ya sudahlah," ucap Indra, menyanyikan lagunya Bondan Prakoso. Bahkan bukan hanya bernyanyi. Indra dan Iqbal juga berjoget agar bisa membuat Gibran semakin terhina. Gibran yang melihat itu tentu saja kesal. Ia langsung menghampiri kedua sahabatnya itu, namun mereka lebih dulu melarikan diri dari kemarahan Gibran. Gibran tak mau capek-capek mengejar mereka. Biarlah mereka berbuat curang dulu, pikirnya. Akan tetapi nanti, ia juga akan membalas kecurangan itu dengan cara yang sama. Ya, ia pasti akan melakukannya. Masalahnya cuma satu. Mereka seperti membentuk sebuah aliansi yang akan menghancurkan dia yang hanya sendirian. Itu tentu menjadi kesulitan tersendiri baginya. "Awas saja kalian. Gue pasti akan membalasnya," ucap Gibran. *** Entah sebuah kebetulan atau apa, beberapa saat setelah Gibran diganggu oleh Indra dan Iqbal, dirinya melihat Indra yang sedang berbincang-bincang dengan Elsa di sebuah anak tangga samping kelas 12 IPA 1. Muncul niatan tidak baik dari dalam pikirannya untuk membalas apa yang dilakukan oleh Indra kepadanya tadi. "Oh ya, kamu nanti malam ada acara, nggak?" tanya Indra kepada Elsa. Gibran dapat mendengarkan percakapan itu dengan jelas. "Enggak, emang ada apa?" jawab sekaligus tanya Elsa. "Ah, enggak ada apa-apa, sih. Sebenarnya aku ingin beli buku novel, tapi bingung," jawab Indra. "Bingung kenapa?" tanya Elsa. "Bingung aja. Kan aku gak tahu mana novel yang bagus," jawab Indra. "Nah, kamu kan pecinta novel. Kalau memang nanti malam gak ada acara, mau nggak nemenin aku beli novel?" ucapnya kemudian. Gibran yang mendengar itu mulai tersenyum sinis. Ia tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu hanyalah sebuah modus belaka. Kini saatnya dia beraksi. Balas dendamnya atas kejadian yang tadi akan terbalas secara instan. Itu pasti. "Eh, ada si Indra keenam sama Rapunzel," ucap Gibran pura-pura baru menyadari bahwa ada Indra dan Elsa di sana. "Eee.... Elsa, bukan Rapunzel," ucap Elsa. Ia memang tak begitu dekat dengan Gibran. Wajar saja jika masih canggung dengannya. "Ah, iya, Elsa. Maaf kalau salah," kata Gibran. Elsa diam. Indra apalagi. "Eh, ngomong-ngomong, gue kayak dengar ada yang ngajak pergi ke toko buku, nih," ucap Gibran menyindir Indra. "Nguping ya Lo?" tanya Indra. "Nguping? Enak aja. Cuma kedengeran," jawab Gibran. "Sama aja," kata Indra. "Ya beda, lah. Kalau nguping tuh sengaja mendengarkan pembicaraan orang lain, tapi kalau kedengeran itu tidak sengaja mendengarkan pembicaraan orang lain. Apakah itu sama?" ucap Gibran panjang lebar yang diakhiri dengan pertanyaan. Indra terdiam. Ia merasa kedatangan Gibran sangat menggangu momen-momen indahnya bersama Elsa. Sungguh jika ditanya apa ia kesal, maka ia pasti akan menjawab bahwa dirinya sangat kesal. "Sa," panggil Gibran ke Elsa. "Iya," jawab Elsa. "Jangan mau kalau diajak Indra pergi ke toko buku, apalagi kalau malam hari. Perlu kamu tahu, si Indra ini berbahaya orangnya. Dia nafsuan, apalagi kalau sudah melihat cewek-cewek cantik. Pokoknya jangan! Aku tahu betul sifat dia seperti apa. Lihat aja tuh matanya yang jelalatan ke mana mana. Terserah kamu mau percaya atau tidaknya, yang penting aku udah kasih tahu kamu," ucap Gibran panjang lebar. "Jangan didengerin, Sa. Dia bohong," sahut Indra. "Ya gak apa-apa sih, Sa, kalau kamu milih lebih percaya dia daripada aku. Aku cuma menyampaikan kebenarannya saja. Soal percaya atau tidak, itu urusan kamu, yang penting aku sudah tidak perlu merasa berdosa lagi," ucap Gibran. "Sa, sumpah, aku gak gitu orangnya," ucap Indra ke Elsa. "Halah, pakai sumpah segala. Jangan termakan sama sumpah palsunya, Sa!" sahut Gibran. "Eh, sudah, sudah, jangan ribut!" ucap Elsa melerai pertengkaran kecil dua sahabat itu. Seketika itu juga mereka berdua langsung diam menuruti apa yang Elsa minta. Elsa merasa lebih damai, sekarang. Tak ada perang mulut lagi di antara mereka berdua. "Nah, kalau kayak gini kan bagus. Ya sudah, aku ke kantin dulu, kalian jangan ribut lagi, ya," pinta Elsa sambil mulai melangkah meninggalkan mereka berdua. "Eh, Sa. Soal pergi ke toko bukunya, gimana?" tanya Indra sambil berteriak. "Tergantung nanti. Semoga aku gak sibuk," jawab Elsa tanpa memandang ke arah Indra. Elsa akhirnya hilang juga dari pandangan Indra. Indra masih terus memandangi kepergian Elsa dengan raut wajah yang menandakan bahwa dirinya tak ingin ditinggal. Sungguh itu sama persis dengan apa yang dialami oleh Gibran, tadi. Mungkin inilah yang disebut dengan karma yang terjadi secara instan. Baru saja dirinya bersama Iqbal membuat seorang Al Gibran Ramadhana berada pada posisi itu, kini malah dia yang harus merasakannya. "Ketika mimpimu yang begitu indah tak pernah terwujud, ya sudahlah," ucap Gibran. Ia benar-benar membalas Indra dengan gaya yang sama, yaitu menyanyikan lagu Bondan Prakoso. Tak hanya itu, Gibran juga dengan percaya dirinya berjoget heboh di depan Indra. Dalam pikirnya mungkin ia harus membalaskan apa yang terjadi padanya tadi dengan cara dan gaya yang sama, dan sekarang dia sudah melakukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD