Bab 1

1132 Words
Sebuah ketukan pintu menyadarkan Seva yang melamun di dalam kamar mandi usai melakukan tes kehamilan menggunakan testpack yang dia beli di apotek kemarin. Tanpa sadar wanita itu duduk berdiam diri di atas kloset cukup lama karena hasil tesnya masih negatif. Program kehamilan yang dia jalani satu bulan ini masih belum membuahkan hasil. Seva tidak kecewa pada dirinya sendiri karena dia belum bisa memberikan keturunan untuk suaminya, karena apa pun yang terjadi di dunia ini adalah dengan campur tangan Tuhan. Hanya saja dia cukup lelah merasakan tekanan dari sekelilingnya, terutama sang mertua. “Seva, kok lama di dalam?” Zayn memanggil Seva dengan suara keras. Seva bangkit dengan malas, kali ini entah apa lagi yang akan dikatakan Zayn. Pria itu sepertinya sudah mulai lelah menunggu. Lima tahun sudah berlalu, Seva masih belum bisa hamil. Wanita itu membuka pintu, berusaha tersenyum.”maaf, aku sakit perut.” “Kamu tes, ya?” Zayn melihat ke dalam, dilihatnya ada bekas bungkusan testpack di tempat sampah. Seva tertegun, dia mengangguk perlahan, tetapi, kemudian dia berlalu melewati Zayn.”Belum ada kabar baik.” Zayn menghela napas berat,kali ini dia memang tidak bisa bersabar, tetapi, dia juga tidak bisa marah pada Seva. Dihampirinya wanita yang sudah sepuluh tahun menemaninya itu.”Ya sudah, nggak apa-apa. Nanti kita usaha lagi ya?” Seva menatap Zayn heran, sikap suaminya itu sangat tidak biasa. Mungkin saja suaminya itu kasihan padanya karena mendapat tekanan, semoga saja memang begitu.”Makasih...” Zayn mengangguk, dikecupnya kening Seva.”Ya udah kita siap-siap berangkat kerja.” “Iya...” Sepanjang jalan menuju kantor, Seva terdiam sambil menatap ke arah luar jendela. Zayn terlebih dulu mengantarkannya ke kantor pusat, setelah itu baru Zayn pergi ke pabrik. Seandainya kantor tidak membuat peraturan pelarangan bagi suami istri bekerja dalam satu kantor, tentu saat ini arah tujuan mereka sama. Seva langsung turun begitu mobil berhenti di depan kantor. “Seva...” Gerakan Seva terhenti, dia menoleh ke arah suaminya.”Ada apa, Zayn?” “Nanti kamu naik taksi atau ojek online aja ya. Aku ada lembur,”kata Zayn. Seva tertegun sejenak, kemudian dia mengangguk meskipun merasa ragu.”Iya.” dia tidak ingin banyak bertanya lagi. Sudah sebulan ini, katanya Zayn lembur. Suaminya itu lupa kalau mereka bekerja dalam perusahaan yang sama, hanya berbeda lokasi. Bahkan di divisinya yang menghitung absen dan gaji lembur. dia melihat data Zayn satu bulan ini selalu keluar kantor tepat waktu. Jika memang suaminya itu lembur, pasti akan absen di jam pulang yaitu pukul sepuluh malam. Seva sudah lelah sampai-sampai dia memilih tidak peduli. Ia juga sudah tidak dianggap istri dan menantu di keluarga itu. Tapi, ia masih cinta pada Zayn, ia hanya perlu hamil dan melahirkan anak Zayn, maka ia akan mendapatkan tempat di sana. Tapi, sayangnya ia mengidap PCOS ( Polycystic ovary syndrome) yang merupakan gangguan hormonal pada wanita usia subur. Seva melangkah dengan wajah datarnya. Beberapa kali ia terlihat menengadahkan wajah karena air matanya akan jatuh. Ia bukan wanita lemah, tidak boleh menangis karena hal seperti itu. “Seva!” Ketukan sepatu seseorang terdengar cepat menghampirinya. Seva menoleh, ia tersenyum tipis pada Selin, sahabatnya yang bekerja di Divisi Keuangan.”Ada apa, Lin?” Wanita itu cengengesan, sambil memeluk lengan Seva.”Aku mau mengajukan surat pengunduran diri,”katanya sambil mengibaskan sebuah surat. “Aku nggak terima,”kata Seva sambil memalingkan wajahnya. “Eh, jahatnya ih!” Selin mencubit lengan Seva. “Jangan resign, sih. Nyebelin banget! Aku nggak ada temennya!” Seva menatap Selin tak rela. “Masih tiga bulan lagi loh, bukan dalam waktu dekat kok.” Selin terkekeh. “Ya ampun, aku jahat banget, ya...menahan kau di sini.” Seva mengembuskan napas panjang. “Nggak apa-apa, kita ini kan sahabat sejati. Dari awal kerja kita udah barengan, jadi, ya...nggak rela banget. Aku juga nggak rela, Seva. Tapi, aku kan harus ikut suami.” “Iya ya.” Seva tersenyum sambil mengusap perut Selin yang buncit.”Berarti pas ngelahirin aku nggak bisa jenguk dong!” “Nanti kan kita bisa ketemu kalau kaunya ke Jakarta, tenang aja!” Selin tersenyum senang. Lalu, ia melihat raut wajah Seva yang muram.”Nangis ya? “Nggak ih!” “Halah, iya tuh .. nggak usah bohong. Ngomong apa lagi tuh laki-laki sama kamu?”tanya Selin dengan nada marah. Seva menggeleng lemah.”Jangan cerita di sini, Lin, lagi pula ini jam kerja. Nanti aja makan siang ya?” “Oke. Tolong diproses surat pengunduran diriku, ya?” “Oke,nanti kuproses ya.” “Thank you!” Selin melangkah pergi dengan riang. Wanita itu tentu bahagia setelah resign, karena ia akan segera bertemu dengan suaminya yang bekerja di luar kota. Tentunya suami yang sangat sayang dan menghargainya. Selin juga sama seperti dirinya, tapi, ia beruntung karena semua anggota keluarga terus mendukungnya. Sekarang Selin sudah hamil, sementara Seva belum. Seva pikir ini hanyalah masalah waktu. Seva masuk ke ruangannya, duduk di kursinya dengan kepala yang sudah pusing saja. Pagi ini ia ada rapat dengan Direktur, ia harus mempersiapkan bahan-bahan yang akan ia bahas di rapat nanti. Waktu berjalan terasa begitu cepat. Rapat pun selesai meskipun ia tidak terlalu berkonsentrasi. Perasaannya terasa tidak enak, ada sesuatu yang mengganjal, tapi ia sendiri tidak bisa mengungkapkan. Jam makan siang tiba, Seva langsung janjian dengan Selin untuk bertemu di lobi untuk makan siang bersama. Mereka memakai jasa taksi online menuju salah satu tempat makan yang tidak jauh dari kantor. “Sev, mau makan apa?” Seva menggeleng, ia tidak bernafsu makan siang ini.”Aku minum aja.” “Apaan, sih, nggak makan. Nanti lambungmu kosong, nggak bagus. Kalau nggak nafsu makan kupesankan dimsum udang sama kepiting kesukaanmu ya?”kata Selin. “Ya terserah,”jawab Seva. Selin menyebutkan pesanannya pada pramu saji, lalu beralih pada Seva.”Ada apa, ayo ...kalau mau cerita.” “Program kita gagal, Lin, negatif. Aku udah cek tadi pagi,”kata Seva dengan air mata yang mengalir. Selin mengusap punggung tangan Seva.”Belum rejeki, Seva. Aku juga butuh waktu yang lama untuk bisa hamil. Enam tahun.” “Iya, aku sabar kok, Lin. Tapi, Zayn dan mertuaku...” Seva tercekat,rasanya sakit sekali bila mengingat semuanya. Selin menatap Seva sedih, susah mendapatkan anak saja sudah sangat sedih baginya, apa lagi ditambah tekanan mertua dan suami. Pasti sulit sekali menjadi Seva.”Iya, lalu gimana...kamu harus kuat menghadapi mereka. Terus berusaha. Tapi, kamu itu nggak boleh stres, Seva, programnya bisa gagal.” Seva menyeka air matanya.”Ya itulah, Lin, mereka nggak mikir kalau tekanan yang mereka berikan itu bikin aku stres berat. Rasanya mau mati saja.” “Eh, jangan begitu...” “Aku udah coba ngomong baik-baik sama Zayn masalah ini, tapi, dia lebih dengerin omongan Mamanya,”balas Seva.”Ditambah lagi sebulan belakangan ini sikap Zayn berubah.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD