Potret Pertama

1728 Words
Hari yang membahagiakan lahir dengan niat dan tujuan yang mulia. Semua yang dicita-citakan dapat terwujud dengan usaha yang gigih dan sanggup melewati rintangan dan cobaan. Setiap orang berbahagia menyaksikan kehidupan yang membawa senyuman. Setiap manusia rela membantu apapun yang dapat dilakukan untuk menambah kebahagiaan. Semua sibuk mondar mandir ke sana ke mari untuk mempersiapkan segala sesuatu. Tidak ada yang hanya berdiam diri, semua bekerja, bekerja dengan cemilan canda dan minuman tawa. Meninggalkan pekerjaan di rumah mereka demi membantu bekerja di satu rumah. Hal itu sudah biasa terjadi, karena rasa solidaritas dan kemanusiaan yang tertanam pada diri mereka sejak dahulu. Meski zaman sekarang sudah canggih, sudah bisa memesan cathering, mereka tetap membantu apa saja yang bisa dilakukan. Makanan yang tampak sangat lezat langsung dikeluarkan dan disajikan, diatur dengan rapi. Membersihkan pinggiran piring dengan tisu agar terlihat lebih bersih dan berminat dicicipi. Menata bunga-bunga di ruangan agar lebih asri dan memberikan kenyamanan. Tamu-tamu mulai berdatangan dengan penampilan-penampilan yang anggun nan mewah. Mereka mulai mencicipi makanan yang disajikan dan berbincang-bincang dengan sesama tamu lainnya maupun dengan tuan rumah. Musik mengalun indah terdengar, menambah kemerduan acara. Langkah kaki itu mengajak tamu memandang ke arahnya. Mereka terkagum-kagum atas kecantikannya, terpana akan ketampanannya. Di balik pakaian megah berwarna merah bercampur emas, mereka tampak sangat elegan. Mereka menjadi raja dan ratu di hari ini. Ini adalah hari mereka, milik mereka. “Cantik banget pengantinnya. Pasti suaminya senang dapat istri secantik kamu.” “Bisa aja. Ambil fotonya yang bagus ya.” “Tenang, kalau pengantinnya udah cantik, hasil fotonya pasti jauh lebih cantik.” Ia mulai menggonta-ganti lensa kamera, melihat mana yang lebih cocok untuk fotonya. Ia tidak ingin pekerjaannya tidak sesuai harapan temannya itu. Kekecewaan klien adalah sesuatu yang selalu dihindarinya. Ia tidak akan bisa fokus pada pekerjaan selanjutnya jika ada seorang klien yang tidak puas dengan hasil kerjanya. “Oke, senyum….” “Tunggu.” Sebuah suara membuatnya menurunkan kamera. Perempuan itu berjalan setengah berlari dengan mengangkat gaun. Ia seakan merasa tidak bersalah karena telah menganggu konsentrasi sang fotografer. Ia dengan santainya berdiri di samping mempelai perempuan dan tersenyum ke arah kamera. Ia merasa sangat bahagia jika sudah dihadapkan pada kamera. Baginya kamera adalah tempatnya berekspresi dan mengeluarkan semua kekesalan. Ia dapat bergaya sesukanya, menampakkan semua yang hatinya rasakan. “Cantik, nggak?” “Cantik.” “Jangan lihat pengantinnya, tapi akunya. Kalau mereka udah pasti cantik. Udah didandan gitu.” “Kamunya cantik, nggak jauh beda dengan pengantinnya.” Dengan jelas tampak kebahagiaan di raut wajahnya. Ia berlari meninggalkan pengantin dan menghampiri teman-temannya yang sudah menunggu di tempat duduk mereka. “Qi, dia siapa? Sepertinya PD banget di depan kamera.” “Dia Zi, adik aku. Dia anak paling eksis di depan kamera, apalagi kalau ada temannya yang satu lagi. Mereka paling nggak bisa lihat kamera.” “Bukannya adik kamu Zelo?” “Iya, dan Zi ini adiknya Zel. Aku punya dua adik.“ Mereka adalah tiga bersaudara. Shaqila, Zazelo, dan Nazila. Qila dan Zelo merupakan saudara kembar yang tidak mirip sama sekali. Bukan hanya karena jenis mereka yang berbeda, tapi wajah mereka pun tidak menandakan bahwa mereka bersaudara, apalagi kembar. Usia mereka dan Zi terpaut dua tahun. “Bang, ambil foto aku dan teman-teman aku dong.” Belum sempat ia menjawab apapun, perempuan itu sudah menarik tangannya menuju teman-temannya. Ia melakukan pekerjaannya sebagaimana permintaan tuan rumah. Meski perempuan itu bukan pengantin, tapi ia adik dari pengantin, jadi ia harus tetap melakukan apa yang dipinta. Ia mengambil gambar mereka yang sudah hampir mati gaya. Secara tidak sadar, ia tertawa melihat aksi mereka—terutama teman dari Zi. “Zi, kami pulang ya. Udah janji nggak akan pulang telat,” ucap Kire, sahabatnya. “Dan aku harus mengantar Kire. Nggak  mungkin aku biarkan dia pulang sendiri ke rumahnya yang nggak dekat,” tambah Virky, yang berdiri di sampingnya. “Hati-hati ya. Terima kasih udah datang,” ucap Zi melambaikan tangan. Zi melepaskan kedua temannya untuk pulang. Ia bahagia memiliki teman seperti mereka. Mereka tempatnya berbagi keluh kesah, berbagi canda tawa. Mereka selalu ada untuknya di saat ia membutuhkan, tidak pernah lari di saat ia mengejar. Mereka membuka tangan untuk menyambut apapun yang ia datangkan. Zi, Kire, dan Virky sudah menjalin persahabatan sejak masih duduk di bangku SMA. Mereka selalu dipersatukan dalam satu kelas, dan telah mengenal kepribadian masing-masing dengan baik, serta menemukan kecocokan di dalamnya. Tidak ada permasalahan yang begitu sulit untuk dipecahkan di antara mereka. Atau mungkin dapat dikatakan masalah enggan menghampiri mereka, karena kuatnya tali yang mereka ikat dalam persahabatan mereka. “Hai, Bang, banyak nggak foto aku tadi?” Lelaki itu tersontak kaget melihat Zi langsung duduk di hadapannya. Ia menjadi grogi tidak menentu. Ia meminum segelas minuman bersoda dan terbatuk-batuk. “Kenapa, Bang?” “Nggak, nggak apa, tersedak aja.” “Jadi gimana foto-foto aku?” “Foto-foto kamu cantik, udah aku lihat semua. Kira-kira ada sekitar delapan puluhan.”  “Abang serius? Kenapa sebanyak itu?” “Kalian terlalu banyak berpose, makanya hasilnya sebanyak itu.” “Pasti yang paling banyak fotonya teman aku tadi, kan?” “Sepertinya begitu.” “Aku boleh minta tolong  nggak?” “Apaan?” “Jangan bilang kak Qila ya aku menghabiskan foto sebanyak itu, nanti dia marah. Kalau dia marah seperti singa nggak tahu kandangnya di mana.” “Apa untungnya untuk aku kalau aku nggak bilang pada Qila?” “Cari untung terus. Nanti aku bayar sendiri foto aku itu.” “Namanya juga pekerja, pastinya cari untung dong. Mana ada pekerja yang cari rugi. Memangnya kamu udah kerja untuk bayar foto itu?” “Abang sepele banget, sih. Abang nggak perlu tahu aku kerja atau nggak, aku ada duit atau nggak. Yang penting itu Abang nggak akan rugi ambil foto aku, dan Abang dapat untungnya. Ketika foto itu selesai, aku akan bayar.” Ia mengunyah jelly satu persatu yang sengaja diambilnya dari dapur. Jelly adalah makanan kesukaannya, sehingga tidak akan cukup jika ia hanya makan satu atau dua. Ia bisa menghabiskan lima puluh hingga seratus jelly dalam sekali duduk. Si fotografer masih melihat perempuan yang terus mengunyah tanpa peduli apa yang ada di sekitarnya. Perempuan itu mudah dekat dengan siapa saja, bahkan dengannya yang sama sekali tidak dikenal, ia berbicara seakan mereka sudah lama saling mengenal. Sebagian perempuan akan jual mahal jika bertemu dengan lelaki yang tidak dikenal, berbeda dengan perempuan satu ini. ----------------------- Ia meletakkan rantang di atas meja dan merebahkan dirinya di atas sofa. Sungguh lelah yang ia rasakan. Ia ingin beristirahat sejenak, tetapi pekerjaannya menumpuk. Banyak orderan yang belum diselesaikan, sedangkan ia sudah janji pada mereka besok akan memberikan hasilnya. Lain lagi dengan tugas kuliah yang belum diselesaikan. Dirinya dibuat pusing oleh semua itu. Semua itu memang pilihannya untuk bekerja dan kuliah. Setamatnya dari SMA, ia tidak langsung melanjutkan kuliah, ia memilih untuk berkarya dengan kameranya, dan dimodali oleh Rio—Papanya—untuk membuka studio. Setelah lima tahun menggeluti pekerjaannya barulah ia memilih untuk kuliah. Ia senang menjalani kehidupan dalam kesibukan. Karena jika ia tidak melakukan apapun, rasanya ia tidak hidup. Meski semua yang dilakukannya harus menerima konsekuensi yang berat. Ia tidak ingin mempermasalahkan hal itu karena ia tidak ingin terjatuh. Jika dipermasalahkan, ia takut itu akan membuatnya tidak ingin melakukannya lagi, sedangkan itu sudah menjadi pekerjaannya. “Rantang siapa ini, Bang? Sepertinya kita nggak punya rantang ini.” “Rantang dari acara pernikahan tadi. Mereka memberikan beberapa makanan untuk kita. Kamu hidang di piring ya, sekalian cuciin rantangnya.” “Baik banget yang nikah, ngasih makanan. Sering-sering aja suruh dia nikah, Bang.” “Hush, ngomong yang nggak-nggak. Mana bisa dia sering-sering nikah. Nikah itu cukup sekali seumur hidup, jangan berulang kali.” “Makanannya enak, Bang.” “Yaudah, kalian makan semua kalau kalian sanggup.” Kedua adiknya kegirangan diberitahu demikian. Mereka merapikan semua makanan di dalam piring, sehingga meja makan tampak sangat memikat dengan makanan-makanan lezat terhidang di atasnya. Meski mereka semua lelaki, tapi bukan berarti mereka tidak pandai menghidang makanan dan melakukan pekerjaan perempuan lainnya. Di rumah itu hanya Febri—Mama mereka—yang perempuan, selebihnya lelaki. Dan Febri bangga memiliki anak seperti mereka. Mereka selalu membantu meski itu pekerjaan perempuan, sehingga mereka terbiasa dan tidak gengsi melakukan hal seperti itu. “Ash, kamu istirahat aja kalau capek.” Suara itu menghampirinya. “Papa? Nggak bisa istirahat, Pa. Banyak banget yang harus aku kerjain. Kalau nggak aku selesaikan malam ini, besok aku  nggak bisa menghadapi mereka semua.” “Tapi kamu butuh istirahat. Kamu tidur aja sebentar, nanti minta Zikri atau Fitra bangunin kamu.” “Mereka bukan bangunin aku, tapi mereka malah ikut tidur dengan aku. Biar aku kerjain dulu kerjaan aku, nanti kalau selesai aku akan tidur.” “Nanti kamu sakit nggak bisa lanjut kerja, lho,” ucap Febri. “Mama tenang aja. Kapan terakhir kali anak Mama yang ini sakit? Ketika SMA, kan? Bertahun-tahun yang lalu. Jadi Mama santai, jangan khawatirin aku, cukup support aku.” “Mama kamu benar. Kamu harus menjaga kesehatan kamu baik-baik. Kalau kamu sakit, kamu tahu sendiri bagaimana histerisnya Mama kamu ini.” “Iya, Pa. Oh ya, Pak Zahlul punya anak perempuan ya?” “Bukannya tadi kamu ke acara pernikahan anak beliau yang perempuan?” “Bukan itu. Maksud aku adik dia.” “Oh, kalau nggak salah namanya Nazila.” “Papa kenal dia?” “Papa sering ketemu dia. Dia ramah, sering nyapa. Dia pelanggan setia rumah makan kita.” “Kenapa aku nggak tahu?” “Kenapa kamu tanya dia?” “Bang Ash jatuh cinta,” teriak Zikri dari dapur. “Sok tahu kamu. Aku tanya dia karena aku nggak pernah tahu bahwa Qila punya adik perempuan. Aku hanya tahu dia punya adik lelaki, yaitu Zelo.” “Kenapa Abang harus tahu?” “Memangnya Abang siapa berhak tahu tentang anak orang?” Dua pertanyaan itu bergantian keluar dari dua adik kembarnya. Ia merasa terpojok dengan pertanyaan semacam itu. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan kedua adiknya. Karena ia juga tidak tahu mengapa dirinya harus tahu. Kedua adiknya ahli membuatnya berada dalam keadaan tersudut. Ash memilih pergi ke kamarnya, daripada harus menghadapi dua adiknya yang akan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan lain yang ia tahu tidak akan bisa dijawab. Kedua adiknya tertawa melihat Abangnya pergi begitu saja, dan mereka merasa menang karena membuat Abangnya tidak dapat menjawab, yang artinya Abangnya kalah untuk kesekian kalinya saat menghadapi mereka. Ash merebahkan diri di kasur. Ia memejamkan mata, namun seketika kembali membuka matanya. Perempuan itu muncul dalam gelap pejaman matanya. Apa yang terjadi padanya? Berulang kali ia pejamkan mata, berulang kali hal itu terjadi. Ia tidak dapat percaya jika apa yang dikatakan adiknya itu benar terjadi padanya. Ia tidak ingin hal itu terjadi dalam waktu secepat ini. Ia ingin fokus pada kuliah dan pekerjaan. Ash membuka ponsel, berharap dapat menghilangkan bayangan yang tidak diinginkan. Ia mengupload foto karyanya di **, dan ternyata ia melihat foto perempuan itu. Ia memang tidak berteman dengan perempuan itu, namun ia melihat perempuan itu pada foto yang diupload kakaknya. Ia membuka akun perempuan itu yang memiliki pengikut hingga ratusan ribu, dan melihat ratusan fotonya. Tersenyum sendiri ia melihat semua tingkah perempuan itu. Video-video yang lucu membuatnya tertawa.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD