1

1213 Words
Akhirnya kau datang, setelah lima tahun berlalu, namun wanita yang mendekap lenganmu dengan erat membuat aku sadar, bahwa apa yang kita lakukan secara tak sengaja dulu, tak membekas apapun pada dirimu. Baiklah, aku akan menjalani hidup ini berdua dengan anakmu, hanya berdua, pergilah kehadiranmu hanya menambah luka dihati... *** "Adam menemui ayahmu, memintamu menjadi istrinya, tapi ayahmu tak bisa menjawab, karena semua bergantung padamu," ujar Devi, saat Livia membantunya memasak di dapur, meski sudah ada bi Sum tapi sesekali Devi memasak dan Biru di jaga bi Sum di kamarnya mengajaknya bermain dan bercanda, seperti biasa Biru hanya tersenyum tanpa berkata-kata, penguasaan kata-katanyapun terbatas mama, mamam, jika ia ingin makan, bobok, cucu hanya seputar itu, selebihnya dia hanya diam mengamati sekitar. "Aku belum berpikir ke sana bun, kondisi Biru yang sering menakutkan membuatku malas berpikir masa depanku, usia Biru sudah menginjak tahun ketiga tapi ia baru saja bisa kokoh berlari itupun pelan, sementara Bima yang seusianya sudah memanjati kursi yang tinggi, juga dibandingkan anak Ejak, Bayu dan Banyu yang baru berusia setahun tapi sudah mampu berjalan sendiri, ah rasanya egois jika Livi memikirkan diri sendiri," sahut Livi. "Aku tahu jika mas Adam mencintaiku, tapi kondisi Biru yang sangat, sangat butuh penanganan khusus bikin Livi takut, jika Livi nikah sama mas Adam maka Livi yakin kami akan punya anak lagi sementara kondisi Biru, ah Livi nggak akan sanggup bun," ujar Livi lagi. "Berpikirlah positif anakku, bunda yakin akan ada jalan ke luar," ujar Devi. "Satu hal lagi bun, jika kami menikah, maka Biru akan tidur dengan siapa, lalu siapa yang akan mastikan dia baik-baik saja saat tidur di malam hari, bunda tahu sendiri kan, jika dia justru sering kesulitan bernapas saat malam hari jika ia kelelahan, ah nggak bun, aku sudah bolak-balik bilang mas Adam, carilah wanita lain, jangan Livi yang seperti ini, dia laki-laki baik, Livi yakin akan ada wanita baik juga untuk dirinya," Livia menunduk dan melihat Biru yang melangkah pelan ke arahnya diikuti bi Sum. "Mama iu maem," "Hmmm Biru makan apa?" "Ue," Biru memperlihatkan kue yang ia pegang. "Makanlah, sini pangku mama," Livia meraih Biru dan mendudukkan dipangkuannya. "Nggak papa kalau bi Sum mau ngerjakan yang lain, biar saya pegang Biru," Livia, mengusap rambut Biru, siapapun tahu jika melihat Biru bahwa darah dari entah siapa papanya yang mengalir deras, warna rambut dan mata yang terlihat jelas, juga kulitnya yang berwarna terang hanya bibir yang jika tersenyum sama persis dengan Livia. Kau...entah di mana, aku tak tahu dengan jelas bagaimana perasaanku saat ini, aku tak pernah berharap apapun, tak mengharapkanmu lagi..hanya benarkah kau tak mengingat kembali apa yang terjadi diantara kita hingga ada makhluk kecil yang lemah ini... Mata Livia berkaca-kaca, Devi yang berada di dekatnya mengerti dan mengusap bahu Livia. "Tapi anakmu butuh figur papa, kamu jangan egois, pertimbangkan perkembangan emosinya, tahun depan ia sudah sekolah, pikirkan lagi Livia," Devi bangkit menuju kamarnya meninggalkan Livia bersama Biru yang masih asik dengan kuenya. **** "Mas bawa apa lagi, nggak usah memanjakan Biru dengan berbagai macam oleh-oleh," ujar Livia. "Ah hanya mainan murah, sini sayang, sini," Adam melambaikan tangannya pada Biru dan terlihat Biru yang berlari pelan. "Sini, ada mainan baru untuk Biru," Adam meraih Biru ke pangkuannya. "Ainan papa, ainan," "Iya sayang mainan, sini main dekat papa," Biru duduk di lantai dan mulai mendorong mobilnya dan terlihat asik sendiri. "Hari minggu, besok bisa nggak aku minta tolong kamu Livia, ada dua biro perjalanan memberi tahu aku akan mengantar turis dari luar negeri, ada yang dari Kazakhzstan, Belanda juga dan ah yang lainnya turis lokal, untuk yang dari luar negeri bisa, kamu, fifi, dan Nia, nah pas ke kelas kerajinan ya biar aku yang nangani, bisa?" "Iya nggak papa, Biru kan bisa bunda atau bi Sum yang pegang," sahut Livia. Tiba-tiba Adam mengelus rambut Biru yang masih asik dengan dua mobil-mobilan di tangannya. "Kamu belum juga mau menjawab Livia, aku mau menikahimu, aku sudah menemui ayahmu, beliau bilang terserah kamu, aku mencintai kamu dan Biru," "Mas, aku takut Biru jadi terbengkalai, jika kita menikah aku yakin mas akan memintaku memiliki anak dari mas, itu pastilah aku yakin, lalu hal sepele sebenarnya tapi tidak bagiku, Biru tidak akan tidur denganku lagi jika kita menikah, mas tahukan justru kejadian berulang, Biru sulit bernapas justru saat malam hari jika dia kelelahan, itu yang aku kawatirkan mas, aku tidak mau egois hanya mikir diriku, jujur aku mulai suka mas Adam, siapa sih yang nggak akan luluh jika bertahun-tahun di pepet terus oleh laki-laki tampan dan sabar, tapi Biruuu," "Dengarkan aku, apa aku perlu menulis semacam kontrak, jika kita menikah, kita tidur bertiga, juga kau boleh tidak hamil dulu selama Biru belum bisa kita lepas secara mandiri," Adam mulai mengelus kepala Livia. "Tidur bertiga, ah nggak mungkin lah, jika mas ingin, maksudku meminta hak mas, trus gimana?" tanya Livia dengan wajah memerah. "Kita pindah sebentar ke kamar sebelah," sahut Adam kalah memerah wajahnya dan tersenyum malu. "Aku ingin kita menempati rumah kita Livia, aku sudah membeli rumah, aku sudah menyiapkan semuanya, mau kan Livia menikah denganku?" "Rasanya terlalu cepat mas, mungkin lebih baik kita bertunangan dulu," sahut Livia pelan. Dan Adan terbelalak, ia meraih kepala Livia ke dadanya. "Benar, kau mau kita tunangan?" Gerakan pelan Livia di dadanya membuat d**a Adam mengembang dan terasa lega. "Papa, papa, endong," tiba-tiba suara Biru mengagetkan keduanya. Adam meraih tubuh mungil Biru, mendudukkannya dipangkuan Adam,mandangnya dengan penuh cinta. "Aku akan menjagamu anakku, kau akan baik-baik saja jika bersama papa," Terlihat Biru yang mengantuk lalu mengusap matanya berkali-kali. "Buatkan s**u Livia, Biru kayaknya ngantuk, biar aku tidurkan," Adam berdiri dan mulai meninabobokan Biru. Devi sebenarnya sejak tadi berada di ruang keluarga, mendengar percakapan keduanya, tak terasa matanya menjadi basah, mengingat ketulusan Adam dan kebodohan Livia yang menyia-nyiakan orang sebaik Adam. Adam memberikan s**u pada Biru, sambil menggerakkan badannya. Mata Biru mulai menutup dan Adam masuk ke kamar Livia hendak menidurkan Biru. **** Minggu pagi Livia dan seluruh karyawan galeri seni tampak sibuk, karena hari ini akan datang kurang lebih lima ratus turis manca negara dan juga turis lokal, belum lagi yang memang akan datang secara mendadak. "Ok Livia aku sudah dapat telepon dari pemandu wisatanya tadi mereka otw ke sini, mereka punya guide sendiri yang bisa berbahasa Indonesia katanya jadi kita nggak sulit-sulit amatlah, siapa yang bisa berbahasa Kazakhstan di sini nggak ada kan, kamu, Fifi sama Nia kan ekspertnya di bahasa Inggris," ujar Adam tertawa. Tak lama bus pariwisata datang setelah petugas parkir memposisikan bus dengan benar tampak wisatawan dua bus itu ke luar, di front office mereka disambut dengan ramah dan diberi souvenir mungil seorang satu kerajinan khas Jojga. Lalu mulai masuk satu persatu mereka melihat-lihat hasil kerajinan dan bertanya proses pembuatannya, terlihat Nia menjelaskan bagaimana proses pembuatan batik hingga hasil akhir, lalu ke ruang berikutnya nampak Fifi yang menjelaskan bagaimana proses pembuatan perhiasan dari bahan-bahan rotan, kayu dan tanah liat, saat menuju tempat Livia, dengan ramah Livia menyambut, menjelaskan bagaimana gerabah-gerabah cantik dengan model kontemporer itu dibuat, kebetulan ada pengrajinnya di sana hingga bisa memperagakan proses pembuatannya. Tiba-tiba ada yang bertanya dengan menggunakan bahasa Kazakhstan, Livia tetap tersenyum meski ia bingung, namun tiba-tiba ada yang menerobos masuk dan menanyakan lagi pada Livia dengan bahasa Indonesia. "Begini nona, dia bertanya, boleh tidak, melihat cara pembakaran di tungku?" Livia menatap laki-laki di depannya dengan d**a berdegup, wajah itu, suara itu... "Victor?" ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD