Episode 01.

1317 Words
Rasa gugup, gelisah dan takut memenuhi relung hatinya. Suara derap langkah sepatu hingheels berwarna putih yang bercium pada lantai berlapis selimut berwarna merah sepanjang jalan yang mengantarkannya pada seorang pria yang sedang berdiri di ujung Altar.      Seorang wanita yang kini tengah berjalan di Altar bersama dengan seorang pria paruh baya yang memegang sebelah tangannya dengan erat.      Ia merasa begitu gugup saat ini. Dengan gelisah.ia menoleh ke arah sang Ayah. "Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja" ucap sang ayah menenangkan kegundahan perasaan putri semata wayangnya yang saat ini sangat gugup.      Pandangan matanya beralih ke arah sang pria bertuxedo putih yang berdiri di ujung Altar, menatapnya dengan intens. Sebuah tatapan mata yang membuat jantungnya bergetar, tuxedo putih yang membungkus tubuhnya, dengan bunga mawar putih yang menjadi pin menarik terjepit di bagian kantung jasnya. Smirk pria itu yang nampak terlihat cukup menyeramka.      Langkah mereka terhenti saat sudah sampai tepat di hadapan seorang pendeta dan berdiri di samping pria itu. Pria paruh baya itu memberikan tangan putrinya pada sang pria. Menyerahkan tangan putrinya seolah sebagai simbol jika ia menyerahkan putrinya pada pria itu untuk menjadi penerus dalam melindungi putrinya. Sebuah smirk dengan senyum sinis yang pria itu tunjukan membuat wajah sang pria paruh baya itu bergidik ngeri melihatnya.      "Thank you Father" ucapnya dengan penekanan pada kata Father.      Pria paruh baya itu mengangguk dengan raut wajahnya yang terlihat sendu. Tentunya setiap orang tua akan merasa sedih saat melepaskan putrinya.      Reflek wanita itu menahan pergerakan sang ayah yang berniat akan pergi meninggalkannya dengan menarik tangannya. Tatapan tak rela yang ia tunjukan pada sang ayah yang berniat pergi namun, tatapan pria itu langsung membuatnya melepaskan tangannya dari sang ayah.      "Jangan berbuat yang tidak-tidak" ucapnya berbisik penuh dengan nada ancaman. Wajah wanita itu tertunduk. Ia mengikuti langkah sang pria yang kini menghadap lurus ke arah sang pendeta.      "Baik kita mulai sumpahnya" sang pendeta berseru. ***      Pernikahan telah selesai di gelar, Elena nama wanita itu, kini ia sudah berada di sebuah rumah megah yang berada di tengah pusat kota Manhattan.      Wanita itu terduduk di atas kasur dengan piyamanya yang berwarna putih selembut sutra. Terduduk seraya memeluk kedua lututnya memandang keluar jendela, yang mengarah pada pemandangan langit malam dengan hiasan bintang yang berkelip. CEKLEK//      Pintu kamarnya yang berada di sebelah kanannya kini terbuka, namun tak membuatnya bergeming dari posisinya saat ini.      "Nona. Mr. William menunggu anda di ruang makan" ucap salah seorang wanita paruh baya yang berprofesi sebagai kepala asisten rumah tangga. Wanita itu tetap terdiam. Tak bergeming menanggapi sang pelayan.      "Nona"      "Aku tidak lapar" ucapnya tanpa menoleh pada sang pelayan.      "Tolong biarkan aku sendiri"      "Mrs Eve. Panggil saja Mrs. Eve" sambar pelayan itu membuat Elena menoleh padanya dan tersenyum simpul.      "baiklah.. Mrs.Eve. Maafkan aku, tapi aku tidak lapar"      "Mr. Willy pasti marah jika nona tidak ikut makan malam bersamanya"      "Aku tidak mau.. aku sungguh tidak lapar. Tolong biarkan aku sendirian"      "Baiklah Mrs Willy..." Mrs. Eve tersenyum dan berbalik badan hendak meninggalkan ruangan.      "Elena. Panggil saja aku Elena" potong gadis yang bernama Elena itu.      "Saya tidak berhak untuk memanggil anda dengan panggilan nama itu nona"      "Jangan panggil aku dengan nama itu. Namaku Elena" sambarnya berucap tak suka mendengar hal itu.      "Baiklah. Saya akan memanggil anda Mrs Elena. Saya akan mengatakan anda tidak lapar pada tuan”      Mrs. Eve keluar dari kamar Elena dan turun ke lantai bawah. Sebuah Rumah besar 2 (dua) lantai dengan halaman yang cukup besar. Yang hanya ditinggali oleh seorang pria dengan para penjaga dan pelayan rumahnya. Ia berjalan ke arah ruang makan untuk menemui seorang pria yang sedang duduk di kursi meja makan dengan wajah masam. Ia berdiri tepat di ujung meja menghadap ke arah sang pria.      "Dimana dia?" suara bariton berat itu terdengar menyeramkan di telinga siapapun yang mendengarnya.      "Nona bilang dia belum lapar"ucap Mrs. Eve ketika sudah berdiri di sebrang meja makan William.      "Dia tidak mau ke sini?" tanyanya lagi dengan rahang mengeras, wajahnya begitu dingin dan sorot matanya terlihat mengerikan.      "ya tuan"jawab Mrs.Eve seraya mengangguk. SRETTT//        Suara kursi yang tergeser paksa dengan tidak sabaran,      William bangkit dari kursinya, melangkah cepat menuju ke lantai atas dimana kamar Elena berada. Wajahnya nampak merah padam, rahangnya mengeras, bibirnya membentuk garis keras tanda emosi sedang menguasai penuh dirinya saat ini. BRAK//        Elena tersentak kaget saat pintu kamarnya di dobrak seseorang. William muncul dari balik pintu, wajahnya merah padam karena amarah. Elena yakin dia sedang sangat marah saat ini, tapi Elena tidak peduli.      "Kau tidak mau makan?"      "Kau mau mati –HUH!" bentaknya keras matanya menyala penuh amarah.      "Tolong biarkan aku sendiri" ucap Elena tanpa memandang ke arahnya.      "Sendiri katamu?!!"sambar William murka penuh penekanan pada setiap kata-katanya.      William melangkah cepat ke arah Elena dengan luapan emosi yang begitu besar. William menarik tangan Elena hingga membuat wanita itu berdiri menjadi menghadap ke arahnya.      "Lepaskan aku" ronta Elena mencoba untuk melepaskan tangannya yang dicengkram William.      "Kau harus menuruti setiap perintahku! Kau sudah ku beli. Kau ingat itu!. Kau harus ingat siapa dirimu di sini!"      "Seharusnya kau berterima kasih padaku karena sudah membelimu, atau kau akan menjadi jalang di tangan wanita gendut itu" ucap William menatap Elena tajam.      Elena membalas tatapan William tak kalah sengit "Aku tidak butuh bantuanmu. Mr. William yang terhormat. Kau bisa biarkan aku menjadi jalang tanpa harus membantuku dengan repot-repot membeliku dari madam Lice"desisnya benci. Mr. William adalah seorang CEO dari salah satu Perusahaan Arsitektur cukup terkenal di Eropa. Banyak hal yang ia miliki, dan kekuasaannya cukup besar khususnya Amerika Serikat. Banyak Perusahaan dari berbagai tempat yang ia rampas, diambil alih hingga menjadi miliknya.      "Jadi kau lebih memilih untuk menjadi seorang jalang di bandingkan menjadi istriku –huh!" sorot matanya membara penuh amarah, menyala nampak begitu menyeramkan. Elena bergidik ngeri namun ia tidak mau menunjukannya pada William hingga membuatnya merasa puas dengan itu, Elena tetap mamasang wajah kebenciannya pada William seolah ia tidak takut dengan pria itu walau jantungnya berdetak was-was.      "Ya!. Memangnya siapa yang ingin menikah dengan pria ber**s*k sepertimu" ucap Elena dengan penekanan pada setiap kata-katanya tepat di hadapan wajahnya. Elena tidak takut, saking bencinya pada pria itu.      "Kau tidak tahu diri. Persis seperti Ayahmu" desis William.      "Jangan mengatakan hal-hal buruk tentang Ayahku! Kau yang membuat kami seperti ini!" sambar Elena tidak terima dengan ucapan William barusan.      "Lalu kenapa? Kau ingin menuntut ku. Ku ingatkan padamu kau tidak akan bisa. Walau dengan seujung jari pun kau ingin menyakitiku, kau tidak akan pernah bisa melakukannya" William menghempaskan Elena dengan kasar hingga wanita itu terjatuh di atas kasur.      William membuka dasi yang melingkar di lehernya lalu menindih tubuh Elena. Gadis itu meronta dengan mendorong paksa tubuh William yang berada di atasnya agar menjauh, tapi William tidak terlihat bergeser sedikitpun, tenaga pria itu lebih besar darinya. William seperti seorang harimau yang sedang menggigit atau melumpuhkan seekor rusa hasil buruan.      William menarik kedua tangan Elena. Menaruhnya di atas kepala wanita itu dan mengikatnya dengan dasi miliknya. Elena meronta mencoba melepaskan tangannya yang diikat oleh William.      "Lepaskan aku!! Apa yang mau kau lakukan!" Elena berubah panik. William menindihnya dan mengikat kedua tangannya ke atas kepalanya pada headboard ranjang tempat tidur. Entah apa yang akan pria itu lakukan tapi sepertinya itu bukanlah hal bagus untuknya.      "Ini malam pertama kita bukan! Sebagai suami aku ingin meminta hakku malam ini"      Kedua mata Elena membesar terkejut, ia berubah panik setelah mengerti apa yang William ucapkan.      "Jangan!. ku Mohon hentikan!" menggerak-gerakan tubuhnya. Berusaha meronta dan menarik tangannya yang diikat oleh William.      "Diam dan nikmati saja. Kau milikku sekarang dan selamanya"   ***      William kembali mengkancingkan kemejanya. Setelah selesai, tubuhnya berbalik menghadap Elena.      Wanita itu tengah terbaring dengan tubuh polosnya yang hanya berbalut selimut putih. Ia membuang wajahnya dari William. Tak mau melihat pria itu yang kini tengah memandangnya.      Jujur William memang sering melakukannya walau ia bukan maniak, tapi Elena membuatnya merasakan kepuasan yang tak pernah ia dapatkan dari orang lain.      William tersenyum dengan smirk di sudut bibirnya, terlihat puas atas apa yang baru saja ia dapatkan.        "Kau milikku ingat itu”      “Dan jangan membantah perkataanku atau aku akan menghukummu lebih berat dari ini"  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD