Bab 1

1011 Words
Tiada luka yang lebih menyakitkan daripada luka akibat kehilangan sang ibunda untuk selamanya. "Biar kubunuh dia!" Bapak meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari orang-orang yang memeganginya. Tenaganya seperti bertambah berkali-kali lipat. Bahkan orang-orang yang memeganginya pun dibuat kewalahan olehnya. Dia kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Bukanlah hal yang mudah untuk mengendalikan diri di situasi yang seperti itu. Waktu itu aku cuma diam. Aku benarkan apa yang dilakukan oleh bapak. Kata dia, nyawa harus dibayar dengan nyawa. Pembunuh itu telah membunuh ibuku, yang tak lain adalah istri bapak. Wajar saja kalau dia tidak terima atasnya. Kuingat, beberapa hari sebelum hari itu, ibu baru saja berpesan ke aku tentang suatu hal yang tak pernah aku lupakan. "Daniel, kelak jika kamu sudah lulus dari SMP, ibu ingin kamu sekolah di SMA Sakti Buana," ucap ibuku kala itu. Tepatnya saat beberapa hari sebelum beliau meninggal dunia. "Tapi, Bu, sekolahan itu kan cuma untuk anak-anak orang kaya. Aku gak akan bisa masuk, Bu. Biayanya pasti mahal," jawabku kala itu. "Kamu tidak perlu memikirkan biaya. Biar ibu dan bapak yang memikirkannya. Tugas kamu hanyalah belajar dengan sungguh-sungguh di sekolahan ternama di kota ini," ucap ibuku. "Aku takut kalau nanti sekolah di sekolahan itu, aku akan dihina karena miskin, Bu," ucapku. "Daniel." Ibuku menyentuh pundakku dengan penuh kasih sayang. Sungguh aku merasa seperti dilindungi oleh malaikat kala itu. "Jangan pedulikan tentang hal buruk yang orang lain katakan kepada kamu, Daniel. Kita ini hidup untuk diri sendiri dan orang lain, tapi masa depan kita adalah tentang diri kita sendiri. Hiraukan saja jika mereka ingin menghina. Sekeras apapun mereka menghina, selama kamu masih berpegang teguh pada tekadmu, maka hinaan mereka juga tidak berarti apa-apa," lanjut ibuku. Kata-kata itu seakan adalah sebuah pertanda kalau ibu akan tiada. Dan benar saja. Pada hari itu, beliau menghembuskan napas terakhirnya dengan meninggalkan seorang suami bersama seorang anak laki-laki dan anak perempuannya yang masih kecil. Ya, waktu itu aku masih kelas 2 SMP dan Salsa masih kelas 6 SD. Ditinggalkan seorang ibu dalam umur yang sekecil itu pastilah menyisakan duka yang luar biasa bagi kami. "Sialan!" Dalam duka yang aku rasa kala itu, kudengar sebuah teriakan super kencang dari bapak. Dia mengumpat, dan baru kali itu aku mendengar bapak mengumpat. Banyak pula kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan keluar dari mulutnya. Aku cuma melihat. Melihat bagaimana sang pelindung keluarga kami berusaha untuk berlari keluar ruangan sembari berucap yang sangat berbeda dari ucapan dia yang biasanya. Bapak seperti dirasuki oleh sesuatu pada hari itu. Beruntung sekali sebelum bapak bisa keluar ruangan, orang-orang kembali menangkap dan berusaha menenangkannya. "Tenang Pak, sabar!" "Jangan bertindak gegabah saat kamu sedang emosi." "Tenangkan dirimu! Lihat istrimu! Lebih baik kita urus jenazahnya terlebih dahulu." Orang-orang itu berucap sebagai usaha untuk menenangkan bapak. Tapi bapak tetap tak bisa tenang. Emosinya sudah mencapai puncak. Naluri untuk membunuh pun bisa aku lihat dari diri bapak pada hari itu. "Pikirkanlah! Kalau kamu membunuhnya, kamu bisa dijebloskan ke penjara. Lalu bagaimana nasib Daniel dan Salsa nantinya?" tanya salah satu orang yang berusaha menenangkan bapak. Aku diam dan masih tak mau berbuat apa-apa. Namun apa yang aku lakukan berbeda dengan apa yang dilakukan oleh adik kecilku, Salsa. Dirinya dengan cepat langsung berlari ke arah bapak dan memeluknya erat. Seketika itu juga emosi bapak mereda. Sebuah pelukan hangat dari putri bungsunya telah mengembalikan akal sehatnya. "Salsa mohon. Hentikan, Pak! Jangan ganggu ibu yang sedang tertidur," kata Salsa. Air mata yang aku haramkan untuk keluar, di hari itu semuanya berubah total. Tangisku tak bisa lagi aku bendung. Rasanya jiwa raga yang aku punya adalah jiwa raga milik manusia terlemah di muka bumi. Tak bisa apa-apa selain hanya memperbanyak air untuk dunia melalui kedua mataku itu. Sulit diterima, tapi mau tidak mau harus diterima. Sosok wanita hebat yang sangat aku sayangi telah pergi meninggalkan aku untuk selama-lamanya. Tangisku tetap berlanjut, bahkan sampai jenazah ibu dimasukkan ke liang lahat. Pakaian serba putih dengan bentuk seperti hantu yang sering aku lihat di film-film, pada saat itu bisa kulihat secara langsung. Aku yang biasanya paling takut dengan bentuk dan warnanya, pada hari itu bukan takut lagi yang aku rasa, melainkan sedih. Karena aku tahu, sang pemakainya adalah ibuku sendiri. "Ya Allah, kenapa engkau memanggilnya terlebih dahulu, ya Allah? Kenapa tidak aku dulu yang kau panggil?" batinku kala itu. Aku seperti tak terima dengan kehendak sang kuasa. Ada sebuah drama yang masih sangat aku ingat sesaat sebelum jenazah ibuku dimasukkan ke liang lahat, yaitu di saat Salsa secara tiba-tiba berlari dari arah belakang dengan tangisannya yang sangat kencang. Ia mendekap erat jenazah ibu. Padahal sama sepertiku, ia juga biasanya paling takut dengan wujud pocong. Tangisnya membuat seluruh manusia yang berada di sana merasa pilu. Dibiarkan saja untuk sejenak Salsa memeluk ibu untuk yang terakhir kalinya. Dalam jarak yang sedekat itu, aku telah melihat rasa sakit yang dirasakan oleh Salsa. Dan dari situlah muncul sebuah kebencian dan rasa ingin membalas dendam kepada orang yang telah membuat adikku jadi seperti itu. Lama sekali dia memeluk ibu. Dan anehnya, di umur yang segitu, aku mempunyai inisiatif untuk meminta Salsa agar berhenti melakukan hal yang demikian. Bahkan di saat orang-orang yang lebih tua, termasuk juga bapakku, tak mampu untuk melakukannya. "Dik, sudah!" Lembut sekali ucapku, sembari tanganku yang memegang secara lembut juga pundaknya. Dia cuma menengok ke arahku sejenak, kemudian kembali memeluk jenazah ibu. Saat itu aku pun merasa tak mampu untuk memintanya berhenti melakukan apa yang ingin ia lakukan. Kubiarkan dulu, barangkali ia bisa tenang dalam beberapa waktu ke depan. Namun hasilnya tetap nihil. Sang ibu seperti terlalu cepat untuk meninggalkan dia sampai-sampai dirinya sangat tidak siap. Dan apa yang aku lakukan pada hari itu, bukan berarti aku tidak bersedih ataupun tidak merasa kehilangan. Sungguh harus aku akui, ingin sekali aku menangis sejadi-jadinya dan melakukan seperti apa yang adikku lakukan. Tapi bersyukurnya, aku masih bisa menahan diri. "Dik, biarkan ibu pergi!" pintaku sambil sedikit menariknya. Namun, apa yang aku dapatkan? Aku melihat sesuatu yang betul-betul sangat menyeramkan. Adikku dengan cepatnya menengok lagi ke arahku. Berbeda dari tatapan awalnya yang nampak biasa saja, di tatapan yang kedua itu dirinya seperti melotot dalam melihatku. Aku bertanya-tanya dalam hati. Apa dia kesurupan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD