1

1710 Words
Barella Yudhistira namanya. Putri sulung keluarga Yushistira yang terkenal pendiam dan tertutup kini terlihat sedang muram. Diumurnya yang baru dua lima menginjak dua enam banyak kegalauan yang ia pikirkan. Termasuk antara bersyukur dan menyesal. Entah dari mana harus Bare jabarkan, namun jika mengingat runtutan peristiwa dalam hidupnya selama delapan tahun ini, air matanya ingin terkuras. Bare menyesal namun juga mensyukuri nikmat lain yang Tuhan berikan. "Kita hanyalah kita yang terbingkai dalam kisah masa lalu terselip doa untuk tidak bertemu lalu berakhir seperti yang mereka ingini." Begitulah kiranya doa yang selalu Barella panjatkan kepada Tuhan. Kenapa tidak diinginkan? Karena terlalu menyakitkan saat harus bersama tanpa ada restu yang mengiringi. Soal apakah itu? Tahan, nanti Barella ceritakan secara lengkap di belakang. Sekarang, kuliti saja dulu perihal kegalauan yang Barella rasakan. Baiklah. Pertama dari sikap sang Ibu. Bare ingin menceritakan betapa Ibunya sangat egois dengan memaksa dirinya berkuliah di jurusan yang Bare sendiri tidak sukai. Guru. Cih! Begitu pikir Bare. Seperti pepatah jawa yang memaknai artinya; digugu lan ditiru yang artinya di dengarkan dan diikuti. Ini bukan kutipan, tapi memang kalangan Suku Jawa sering menerapkan kalimat ini ketika menasihati anak-anaknya. Berbicara di depan umum atau setidaknya tampil di depan umum saja sudah membuat dirinya malas dan memutar mata. Apa lagi ini yang harus menjadi seorang tutor di depan banyak muridnya. Tidak mungkin, 'kan Bare menggerakan kedua tangannya mamakai bahasa isyarat? Atau lebih parahnya menggunakan notes yang terlihat semakin gila. Meski begitu, dengan segala kelemahan dan ketololan Bare, universitas pilihan Ibunya tetap Bare jalankan. Siapa yang lebih egois ketimbang pilihan bodoh ini? Bare menghela nafas. Belum-belum dadanya sudah sesak. Ada banyak cerita yang Bare simpan sendiri terlepas dari baik buruknya sebuah kenangan. Dan setelah Bare mengingat keseluruhan perjalanan hidupnya tidak ada hal baik—kecuali kemandirian dan tingginya ego—yang sangat berkesan. Bare mengakui sebagian dirinya memanglah sangat tertutup. Untuk hal-hal tertentu Bare menutupi dengan rapat dan menunjukan keceriaannya. Itu hanya sebagai perlindungan diri jika selama ini kesepian selalu melingkupinya. Ketakutan untuk ditinggalkan selalu bercokol di benaknya sehingga membuatnya menarik diri dari keramaian. Bukan berarti Barella tidak memiliki teman. Sekadar teman karena cidera masa lalu tak banyak Bare tempatkan kepercayaan. Yang kedua. Perjalanan di setiap keputusan. Tertera di atas bahwa kemandirian dan tingginya ego sudah terbumbung sejak Bare menjadi pengikat setiap keputusan sang Ibu. Tidak bolehkah Bare kecewa? Hanya Ibunyakah yang layak tersakiti dari torehan kisah masa lalu keluarganya? Lalu bagaimana dengan Bare yang sangat trauma pada kesakitannya? Barella Yudhistira bukan putri pertama di keluarganya. Yang selama ini sangat Bare sombongkan jika dirinya adalah satu-satunya Mahkota di keluarga Yudhistira. Namun begitulah kisah. Menghempaskan dan mematahkan setiap sayap yang sangat Bare idamkan. Dan dirinya menjadi bagian yang kedua—penengah. Bare ingin terhenyak—awalnya. Begitu cerita itu mengalir di umurnya yang belum genap dua lima satu bulan. Kenapa selalu ada kejutan di balik umurnya yang bertambah? "Bar?" Yang dipanggil mendengkus. Merasa enggan untuk menanggapi, Bare acuh. "Lo nggak cocok ngelamun." Merasa terusik kepala Bare menoleh. Menatap—memicing—tajam lantaran lamunannya buyar. "Lo itu nel-nelan dan lasak. Terus tiba-tiba jadi pendiam berasa Mbak Kunti nyari ilham," lanjutnya. Bare mengerang kesal, bersiap mengangkat tangannya namun tertahan. "Ck! Gue pengen di kelonin sama lo!" Bukan maen! Mulutnya minta di cor! Tapi Barella bodo amat dan hengkang dari sana. *** Manusia sejak kapan punya hati? Kalau ada manusia yang punya hati, Apa yang lebih lemah dari hati manusia? Orang terdekatmu—yang selalu bercerita tentang keburukan orang lain—bukan tidak mungkin sering menggunjingmu di belakang sana. Tidak percaya? Tidak apa. Setiap orang memiliki kadar kepercayaan masing-masing yang tidak bisa di paksa untuk sama dengan manusia lainnya. Begitu pun Barella. Perempuan berambut panjang hitam legam itu percaya bahwa orang terdekatnya adalah yang paling mungkin menorehkan luka. Di setiap perjalanan hidup yang Bare alami—Ayah Ibunya—bahkan tidak luput pernah memberinya kesakitan. Contoh kecil namun nyata. Dan manusia dengan hatinya memang selemah itu. Seperti sekarang ini misalnya. Bisakah Barella mengelak? Tidak. Bisakah Barella terlepas? Tidak. Kenapa tidak? Hatinya. Entah situasi seperti apa yang sedang Bare alami, namun ketika satu ucapan Ibunya—yang setiap harinya teramat menyakitkan—mulutnya akan terkunci diam. Barella lemah, itu tarikan pertama dalam poin di sini. Semenderita apa pun hatinya, akan dengan sangat senang Barella mengabulkan. Lalu bagaimana dengan hidupnya yang penuh tekanan? Barella bahkan lupa untuk menyenangkan dirinya sendiri. Lupa bagaimana caranya menangis karena terlalu sering tertawa dengan lebar. Tertawa bersama tangis yang orang lain pun tidak pernah melihatnya. Sekecil itu keberadaan Barella. Setidak penting itu hidupnya bagi orang sekitar. "Bar?" Panggilan itu kembali membuyarkan lamunnya. Laki-laki ini terlalu sopan mengganggu kesendirian Barella di mana pun tempatnya. Atau Barella saja yang lupa jika pusat dunianya ada di sini? "Hm," sahutnya cuek. Pandangan matanya tidak lepas dari objek di depannya—rerumputan luas dengan danau berair tenang. "Enggak sih. Gue ..." gantungnya. Barella tidak terusik padahal laki-laki itu berharap mendapat respons. "Kalau lo penting buat hari-hari gue." "Teman tidur maksudnya?" Laki-laki itu meringis. Barella memang sependiam itu namun juga seterbuka pikirannya. Mengungkapkan yang dia suka mau pun tidak selama orang itu terdekatnya. "Ya, gimana ya," ucapannya kembali terdiam. Satu tangannya menggaruk dagunya yang tidak gatal. "Maksudnya lo nggak perlu sebarbar itu buat jelasinnya." "Cerewet!" balasnya. Barella berdiri. Menepuk bokongnya yang di rasa kotor lantaran rerumputan kering yang menempel. "Mau ke mana?" Barella tidak menjawab. Kedua langkah kakinya bergerak dengan pelan dan pasti. Pasti untuk tergerak berubah. Sekali ini saja, ia ingin egois. Ia ingin menyenangkan dirinya sendiri. *** Kembali ke rumah yang sudah tidak membuatnya nyaman tetap Barella lakukan. Begitu membuka pintu, ruang tamunya penuh dengan Adik dan kedua orang tuanya. Kedatangan Barella di sambut tatapan penuh tanya sejenak lalu kembali melakukan aktivitas masing-masing. Barella menahan tangis jika sudah mendapat tatapan seperti itu. Bermakna bahwa—seharusnya—dirinya tidak perlu pulang sekalian. Ingin sekali Barella melakukan itu tapi kalimat tidak mungkin terus berdengung. Barella benar-benar dibelenggu dengan ikatan tak kasat mata. "Besok malam, jangan lupa ikut Papa. Makan bareng teman bisnis. Jangan nolak!" Hah! Barella melonggarkan nafasnya. Matanya memanas. Kapan perintah sesepele itu Barella tolak? *** Mungkin kita memang jodoh. Atau mungkin memang takdir. Atau mungkin seperti pepatah berkata: pucuk di cinta ulam pun tiba. Ah, terlalu banyak kata mungkin sehingga aku teramat berharap. Batin Sagitarius Yudantha berbisik seperti itu. Sagitarius Yudantha tidak percaya ini. Di saat semua harapannya hampir punah lalu tiba-tiba keajaiban menyambangi. Cintanya bersemi. Hatinya melambung tinggi. Pada satu fokus perempuan bergaun hitam sederhana dan rambut hitam panjangnya yang legam. Sagi tak akan memungkiri jika dirinya terus jatuh dan semakin jatuh pada pesona Barella. Cinta dan harapan masa lalunya itu telah tumbuh menjadi sesosok dewasa yang berbeda. Oh pantas saja—ia teringat kecerewetan asisten kantornya—yang begitu riweh seharian ini bahkan menunda seluruh agenda rapatnya. Tentu Sagi misuh-misuh. Beberapa rapat tender harus mundur satu hari untuk malam ini. Mendadak rasa kesalnya menguar entah ke mana. Hebat! Obat mujarab. Begitu batinnya kembali berkata. Kedua matanya kembali menelisik bagian-bagian mana yang ia lewati selama tidak bersama Barella. Dan, ya, wajah datar perempuan itu tidak semestinya nampak karena dulu Barella bukan tipikal acuh. Dia begitu hangat—seingat Sagi—sebelum keduanya berpisah sebab suatu hal. Pun meski wajah datarnya terlihat ogah-ogahan, Sagi tetap suka menatapnya. Baginya, mencintai Barella artinya menyukai setiap bagian-bagian kecil yang ada di diri perempuan itu. Paket lengkap pengobat rindu. Rapalnya dalam hati. "Aku keluar sebentar." Barella pamit berdiri. Meninggalkan obrolan-obrolan bisnis membosankan. Sagi bereaksi sama cepatnya dengan membuntuti Bare dari belakang. Sengaja tak memanggil, Sagi ingin tahu apa-apa saja yang sudah menjadi pengganggu dalam perkembangan hidup Barella. Pikirnya; apakah masih sama seperti tahun-tahun yang lalu? Apa Barenya senang? Apa Barenya tidak tertekan? Apa Barenya bahagia? Semua pertanyaan itu hanya menjurus pada satu objek: Barella. Berhenti di tempat yang sekiranya aman, Sagi bersedekap. Setelah melihat ke mana arah kaki Bare melangkah dan taman hotel yang sepi menjadi pilihannya. Nafas Sagi tersengal kala melihat sepuntung rokok lengkap dengan pemantik Bare nyalakan. Melihatnya, Sagi ingin mengumpati dirinya. Ia gagal menjadi seseorang yang berharga bagi Bare untuk bergantung. Padahal ikrarnya ialah ia sahabat sejati Bare. Yang sangat mengenal perempuan itu luar dalam. Yang sangat dekat pada Bare sejak masih bayi. Tapi, sialan memang. "Bagi dong!" Entah sejak kapan kedua kaki Sagi melangkah. Otaknya terberai dengan berbagai spekulasi. Dan kali ini ia bersumpah tidak akan pernah membiarkan apa lagi meninggalkan Barella. "Bekas bibir lo selalu enak." Terkesan mengejek tapi diam-diam Sagi miris. Ekspresi Barella benar-benar hampa dan kosong. "Bar!" panggilnya lirih. Membuang puntung rokok dan menumpukan kaki di hadapan Barella. "Gue nggak tahu lo sedrastis ini dalam berubah. Kenapa?" Sagi genggam kedua tangan Barella yang ditanggapi—masih—acuh oleh perempuan kesayangannya. Sagi beranjak membawanya untuk ia cium dan respons Bare masih sama dinginnya. "Lo nggak seharusnya hancur kaya gini, Bare. Lo nggak seharusnya jatuh sedalam ini. Lo harusnya—" "Ayo lakuin Sagi," potongnya membuat kerutan di dahi Sagi terlihat. Dalam remangnya lampu taman, Sagi melihat keputusasaan di mata gelap Bare. "Lo bisa semakin ngerusak gue." "Bar—" "Ayo Sagi. Gue tahu lo bukan cowok munafik yang bakal nolak. Gue tahu kehidupan lo jauh lebih liar dari yang gue bayangin." "Lo!" Bare beranjak. Otomatis genggaman tangan Sagi terlepas. "Nggak akan adil kalau gue nggak berbagi sama lo." Barella serius dengan ucapannya. Diturunkannya resleting gaunnya. Jari-jari lentiknya bergerak e****s—dalam penglihatan Sagi. Begitu kian turun sebatas d**a, Sagi hampir tersedak ludahnya sendiri. Melihat kedua p******a Bare menyembul dari bra hitamnya, Sagi bertarung mati-matian dengan egonya. Antara menerima dan menghentikan seperti tak ada arti spesifik dalam penglihatannya. "Ayo Sagi." Gaun Barella benar-benar terhempas di tanah dingin. Sagi kian kaku. Kedua kakinya, tangannya bahkan tubuhnya sulit di gerakan. Hingga Barella menghampiri dan duduk mengangkang di pangkuannya. Sagi tahu, harus ada cara menghentikan kegilaan Barella. "Lo salah paham," katanya seusai mengembuskan nafas. Sagi tidak bohong, Barella berkali-kali cantik dengan kondisi tubuh telanjang. Kulitnya begitu halus ketika menyentuh milik Sagi dan sesuatu terbangun di bawah sana. "Kita nggak punya perjanjian kaya gini sebelumnya—" "Maka harus lo buat." Berapa kali ucapannya terpotong? Sagi mendengkus. Melepas jas hitamnya lantas menyampirkan pada tubuh mungil Barella. "Gue cinta sama lo dan bukan begini caranya." Dikecupnya dalam dahi Barella. "Lo berharga." Tangis Bare merembes. Benar, ada yang tidak beres. "Lo sangat sangat berharga buat gue, Bar." Sejak dulu sampai sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD