Pesan Mengejutkan

5000 Words
Emily POV Ting ... Handphoneku berbunyi tanda adanya w******p Messenger masuk di sela-sela kegiatan meetingku. Aku segera meraih ponselku dan kubuka perlahan chat dari nomor tidak dikenal yang sepertinya juga belum terdaftar di handphoneku.   " Hallo Emily ! " " Lagi apa ? " " Giordano "   'Giordano?' aku terperanjat membaca tulisan nama yang ada di chat itu hingga hampir berteriak jika Adel yang sedang duduk disebelahku tidak dengan cepat menutup rapat mulutku dengan tangan kirinya. 'Apa dia Giordano Collin? Mantan pacarku waktu SMA ? Apa maksudnya dia berkontak lagi denganku dan darimana dia tahu nomor whatsapku?' ujarku dalam hati. ‘Mimpi apa aku semalam?’ pikiranku berkata-kata sendiri tidak percaya.     "Kenapa lo Em?"  tanya Adel setengah berbisik sambil menaikkan sedikit alisnya. "Apa ada kabar buruk? Sampe lo terkejut kayak orang habis liat hantu gitu?"  lanjut Adel lagi penasaran.   Aku menatap Adel dan bersyukur dia menutup mulutku yang hampir berteriak tadi dengan cepat, kalau tidak pastilah aku sudah merasa sangat malu karena menjadi pusat perhatian dan akan mengganggu jalannya meeting yang sedang serius ini. Jantungku masih berdebar kencang, ada perasaan senang dan galau yang bercampur aduk di dalam diriku. Pikiranku jadi kacau tidak karuan.   "Nanti gue ceritain Del, gue juga masih belum yakin sama apa yang gue baca barusan"  jawabku perlahan kemudian menaruh ponselku di meja dan berusaha kembali fokus dengan meeting yang masih berjalan setelah sebelumnya menyimpan dahulu nomor Giordano. Selesai meeting, aku dan Adel bergegas keluar ruangan dan pergi ke kantin karena waktu sudah menunjukkan jam istirahat dan perut kamipun sudah berteriak minta diisi. Aku memesan nasi putih, sayur asem, tongkol balado dan segelas es jeruk yang terasa akan sangat pas untuk menu siang hari yang panas dan butuh kesegaran ini. Adel hanya memesan nasi putih, mie goreng, cumi hitam goreng kesukaannya dan teh tawar hangat untuk menetralkan kolesterol dari menu cuminya.   "Ati-ati lho ntar pupnya susah Del, kebiasaan lo gak mau makan pake sayur"  ujarku pada Adel menasehati. "Iya nanti aja makan malem gue dirumah pasti ada sayurnya"  sahut Adel tidak terima.   Setelah memesan kamipun duduk di bangku dekat kaca yang bisa membuat kami melihat pemandangan taman asri penuh dengan bunga-bunga mawar dan anggrek yang mengelilingi sebuah kolam ikan koi dengan air mancur ditengah-tengahnya. Sungguh pemandangan yang cukup membuat pikiran sedikit fresh di sela-sela pekerjaan kantor yang sangat menguras tenaga dan pikiran. Ya, aku adalah seorang desainer dari sebuah perusahaan yang memproduksi berbagai jenis baju mulai dari dress santai, dress pesta, dress untuk show, konser sampai gaun pernikahan, dan lain-lain. Tugasku membuat desain pakaian yang terbaru dan terupdate untuk dapat diproduksi dan dipasarkan di beberapa toko retail milik PT LAZ Fashion. Selain memiliki toko retail sendiri,  kami juga menerima pesanan dari perusahaan-perusahaan besar dengan desain yang khusus pula seperti misalnya desain seragam pegawai bank, seragam untuk pramugari dan pramugara, dan seragam perkantoran lainnya. Selain itu ada pula beberapa pelanggan pribadi  yang meminta untuk dibuatkan baju dengan rancangan khusus misalnya untuk pernikahan, foto shoot, konser, dan lain-lain. Customer kami tentu saja banyak dari kalangan atas mulai dari artis, profesional, pengusaha, bahkan para pejabat tinggi di Indonesia dan luar negeri. Adel, dia teman kuliahku dulu, sahabat sekaligus asistenku saat ini.   Sebetulnya PT LAZ  Fashion ini adalah perusahaan milik ayahku yaitu Pak Antonio Lazuardi. PT Laz Fashion mempunyai sekitar lima ribu karyawan.Tapi aku memohon padanya agar aku bisa memulai karir tidak langsung berada di posisi yang tinggi. Aku ingin menggapai semuanya bertahap dan mengerti dari pekerjaan yang paling dasar. Jadilah aku ditempatkan disini sebagai desainer dan hanya Adel lah yang mengetahui bahwa sebenarnya aku adalah pewaris tunggal dari perusahaan besar ini.   "Jadi tadi itu ada apa Em? Sampe lo terkaget-kaget dan hampir teriak gitu ditengah-tengah meeting?" Adel memulai pertanyaannya dengan wajah penasaran. "Giordano ... Del" ujarku singkat sambil menarik dan menghembuskan nafas perlahan. "Giordano?" Adel kembali bertanya tak kalah terkejutnya. "Giordano cowok yang pernah ninggalin lo tanpa kabar begitu aja maksud lo?" tanya Adel kembali mempertegas pertanyaannya. "Gue juga gak yakin sih Del, apa dia Giordano yang gue pikirin, karena seinget gue nama Giordano yang gue kenal ya TTM an gue itu"  balasku dengan kebingungan. "Emang di chatnya dia bilang apa?"  tanya Adel lagi penasaran. "Chatnya ya cuma bilang, Hallo Emily! Lagi apa? Giordano...Udah gitu doang" jawabku tanpa ekspresi dan setelah itu percakapanku terhenti sejenak karena pegawai kantin sudah membawakan pesanan makan siang kami berdua. "Thank you!" ujarku dan Adel bergantian pada Mbak Ita yang segera menata makanan dan minuman kami di tempat masing-masing. "Gue cuma kaget aja Del, setengah gak nyangka, setelah sekian lama gue gak pernah ketemu dan gak pernah denger kabarnya lagi, kok dia tiba-tiba ngechat gue ya? Tau dari mana dia nomor hp gue yang sekarang, kan nomor gue yang sekarang termasuk nomor baru dan gak semua temen-temen lama gue tahu"  lanjutku bercerita. "Dan lagi ada apa dia tiba-tiba ngechat gue?"  tanyaku penasaran seraya menahan perih dan sesak yang tiba-tiba menyeruak dari dalam d**a. "Tapi lo happy kan?"  sindir Adel melirikkan matanya ke arahku sambil menyuapkan sesendok nasi cumi ke dalam mulutnya yang rakus itu. “Ya … nggak gue pungkiri sih ada perasaan sedikit happy di hati gue tapi … ada perasaan takutnya juga” jawabku dengan mata sedikit menerawang. “Takut kalau ekspektasi gue nggak sesuai dengan kenyataan” lanjutku lagi sambil menyendokkan menu makan siangku yang tak kalah nikmat dari menu makan siang Adel. “Kalau gitu daripada lo gamang gak karuan dan penasaran, kenapa gak cepet lo jawab aja itu chat dari Giordano?”  tanya Adel seolah mengerti perasaan berkecamuk yang sedang kurasakan. “Yah … mau gue jawab tapi nanti … mungkin setelah pulang kerja aja supaya gue bisa fokus sama kerjaan desain gue buat acara fashion show besok” ucapku jujur kemudian segera menghabiskan makan siangku yang sangat nikmat ini.   ***   Waktu menunjukkan pukul enam sore saat aku tiba di apartemenku. Kubuka pintu apartemenku yang sangat nyaman ini dan aku dapat langsung melihat foto besarku terpampang di dinding ruangan tengah apartemen. Yah, aku memang lebih memilih tinggal di apartemen seorang diri daripada tinggal dirumah besarku bersama dengan mama dan papa, meskipun aku seorang anak tunggal. Karena pekerjaanku ditengah kota yang padat ini membuatku ingin memiliki akses yang sangat mudah dan cepat untuk pergi dan pulang tanpa harus menghabiskan waktu berlama-lama di perjalanan karena macet. Selain itu aku sangat suka tinggal di apartemenku ini karena konsep one stop living yang dibuat oleh developernya. Apartemenku berada di atas mall dan juga memiliki berbagai fasilitas lengkap yang tidak akan membuat kita bosan meskipun tidak berpindah-pindah tempat. Aku melepaskan high heelsku, menaruh tas di meja lalu membuka kemeja dan rok miniku dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk segera membersihkan peluh dan keringat yang sudah sangat lengket di badanku. Aku memejamkan mataku sejenak dan membenamkan diri di bath tub dengan rendaman air hangat dan busa yang melimpah, mencoba merasakan otot-otot tubuhku yang mulai melemas dan membuat seluruh badanku menjadi sedikit rileks. Berlama-lama berada di kamar mandi, cukup bagiku untuk bisa sedikit mengulur waktu sebelum akhirnya aku harus membalas chat dari Giordano. Yah, chat itu bukanlah sebuah chat biasa. Chat itu adalah chat yang selalu aku tunggu-tunggu selama ini sebetulnya. Chat dari seseroang yang selalu aku rindukan dan aku kenang. Chat dari seseorang di masa laluku yang pernah membuat perasaanku melayang sangat tinggi, membuatku merasa seperti bidadari yang paling special dan bahagia di dunia ini. Tapi aku juga tidak pernah bisa melupakan bagaimana rasa sakit dan perihnya hatiku seperti luka teriris pisau yang ditetesi cuka saat tiba-tiba dia pergi begitu saja tanpa ada kabar berita, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, tanpa ada rasa beban seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu antara kami berdua. Yah memang kami berdua tidak pernah mendeklarasikan hubungan kami secara kalimat formal ( baca pacaran ) . Tapi untuk semua yang sudah terjadi dan kami lewati bersama, tidakkah itu lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa kami adalah sepasang kekasih? Angin dingin berhembus menembus kulit leherku yang membuat aku tersadar bahwa aku sudah sangat lama berendam, hingga air hangat di bath tub sudah berubah menjadi dingin. Aku segera bangun dan membilas diri lalu memakai piyama pink saten favouritku yang bergambar panda. Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar mandi sambil tersenyum kecil menyadari betapa terlihat bodohnya aku, hanya untuk membalas chat singkat begitu saja membutuhkan persiapan fisik, hati dan mental yang sangat matang seperti mau pergi berperang saja. Kuambil handphone yang tergeletak di meja sebelah ranjangku. Kurasa memang sudah saatnya aku membalas chat itu. Kulirik waktu yang muncul dilayar handphoneku yang tertulis jam 7 malam disana. Itu artinya aku sudah menghabiskan waktu satu jam tadi di kamar mandi. Aku bersandar diranjang mencari posisi yang nyaman untuk duduk dan mulai membuka chat Giordano tanpa menghiraukan antrian chat lainnya yang juga sudah menunggu untuk k****a.   “ Halo juga, apa kabar ? ” “ Sorry seharian tadi sibuk jadi baru sempet bales sekarang ” “ Ini Giordano ? Giordano Collin ? ”   Tidak butuh waktu lama balasan pesanku sudah bercentang biru alias sudah dibaca. Giordano mengetik Mataku melotot karena terkejut tidak menyangka akan mendapat respon balasan secepat itu dari Giordano. Dadaku berdegup kencang.   " Kabarku baik " “ Oh iya nggak apa-apa ” “ Aku tahu cewek pinter kayak kamu pasti orang yang sangat sibuk ” “ Iya aku Giordano, Giordano Collin” “Kamu masih ingat ? Atau udah lupa ?”   ‘Cih…Dia ini meminta ataukah bertanya?’ ujarku dalam hati. ‘Setelah semua yang dia lakukan padaku, dia masih berharap aku akan mengingatnya?’ lanjutku lagi tidak habis pikir dan merasa dia sangat tidak tahu malu.   “ Ya masih ingat ” “ Bagaimanapun dari dulu sampai sekarang lo selalu jadi orang yang spesial di hati gue “   Aku melotot tidak percaya dengan balasan apa yang sudah aku kirimkan kepada Giordano. Untuk kuhapus pun rasanya percuma karena chat itu sudah tercentang biru yang artinya sudah dibaca oleh Giordano. Aku merasa sangat bodoh dan merasa kalau aku sudah mempermalukan diriku sendiri. ‘Bagaimana mungkin aku bisa menuliskan kata-kata seperti itu kepadanya? Apa yang akan dia pikirkan nanti?’ pikiranku berkata-kata dengan gelisah. Entahlah apa yang terjadi, aku merasa tangan , hati, dan pikiranku tidak sinkron saat ini. Tapi aku tidak menyesal sudah melemparkan kata-kata jujur itu kepadanya. Aku rasa sudah saatnya aku jujur kepada diriku sendiri dan tidak terus memendam perasaan yang selalu aku tutup-tutupi hanya karena gengsi. Seketika ada perasaan lega yang mengalir di dadaku.   Kriiinggg…Kriiinggg…Kriiinggg…   Aku sangat terkejut hingga tanpa sadar kedua tanganku sudah memegang kepalaku sambil meremas rambutku yang masih sedikit basah, ketika melihat tulisan nama Giordano tertulis di layar handphoneku sebagai penelepon. ‘Apa yang dia lakukan? Kenapa dia menelepon?’ ujarku cemas dan gelisah. “Dia kan bisa membalas chatku saja?” Perasaanku kacau tak karuan, aku tidak tahu harus mengangkat atau membiarkan telepon itu. Aku diam sejenak sebelum akhirnya kuberanikan diri untuk mengangkat telepon itu. Yah, pada akhirnya aku memang harus belajar untuk menghadapi kenyataan dan tidak terus menerus diombang-ambingkan oleh kegelisahan yang selalu berkecamuk di dalam hatiku. Akan lebih memalukan jika aku dianggap tidak berani menerima panggilan telepon itu. ‘Mungkin inilah saatnya’ ujarku dalam hati memantapkan diri.   “ Halo” jawabku santai sambil menetralkan suaraku agar terdengar senormal mungkin “ Hai Em, kamu lagi apa? Aku nggak lagi ganggu kamu kan sekarang ? ” tanyanya dengan suara serak dan berat.   Sungguh aku sangat membenci ini. Aku tidak sabar dengan semua basa-basinya. Bukankah dia tadi sudah membaca chat terakhirku kepadanya? ‘Katakan saja apa yang ingin kau katakan?’ ujarku dalam hati menahan setiap tekanan di d**a seperti bom yang ingin meledak.   “ Nggak, lagi santai aja. Habis mandi tadi ” jawabku singkat sambil menahan grogi. “ Yah, seperti yang gue tulis tadi, dari dulu sampai sekarang lo masih jadi seseorang yang spesial di hati gue ” lanjutku tidak sabar menunggu jawaban atas pernyataan yang sudah dua kali aku lontarkan. “ Ya…kamu juga seseorang yang selalu aku ingat ” jawabnya dengan nada bergetar.   ‘Apa?’ aku tersentak. ‘Seseorang yang selalu aku ingat?‘ ujarku dalam hati. ‘Kalau kau selalu mengingatku kenapa baru sekarang mencariku?’ protesku lagi tidak terima. Aku merasa dia sedang mengada-ada dan menjawab seperti itu hanya karena berbasa-basi saja.   “ Yakin lo selalu inget gue ? ” tanyaku sambil menyunggingkan senyum tidak percaya “ Iya lah “ ujarnya singkat.   “ Udah…gitu doang?’ protesku dalam hati. Aku merasa dia menjawab sekenanya hanya untuk menghibur aku saja.   “ Aku suka bilang sama teman-teman kuliahku dulu, kalau aku pernah punya pacar masa muda yang imut dan pintar tapi akhirnya harus putus kontak karena kami sudah lulus sekolah dan berpisah universitas. “ sambungnya panjang.   ‘Pacar masa muda?’  aku menggelengkan kepalaku tidak percaya.   “ Eh iya, dulu kenapa yah kita tiba-tiba berpisah gitu aja setelah kita lulus sekolah? ” tanyanya sambil terdengar tawa kecil dibalik telepon.   Aku terdiam. Akupun tidak mengerti kenapa semuanya berakhir begitu saja.   Flashback On   Aku teringat hari itu adalah saat terakhir aku melihatnya. Malam itu adalah malam wisuda bagi seluruh siswa dan siswi SMA Tunas Bangsa. Hari itu ballroom Hotel Mercure sangat padat dan dihadiri oleh ribuan siswa dan siswi yang akan melepaskan status SMAnya. Aku terlihat cantik dengan mengenakan kebaya modern berwarna kuning emas yang khusus dibuatkan untukku oleh salah satu desainer di perusahaan papaku yang bergerak di bidang fashion. Berbagai persembahan acara dipentaskan untuk merayakan kelulusan para siswa dan siswi. Aku sangat menikmati acara meriah yang dibuat oleh pihak sekolah. Aku sangat bahagia karena lulus dengan nilai yang sangat memuaskan dan juga menjadi Juara Umum di sekolah favourite yang memiliki standar internasional itu. Aku memang mewarisi kepintaran akademik dari ayahku.  Mataku berputar mengelilingi ballroom dan mencari dimana sosok Giordano dapat ditemukan. Tapi begitu padatnya kursi sehingga aku tidak bisa menemukannya. Aku hanya bisa melihatnya saat dia maju koor bersama dengan teman-teman sekelasnya. Ya, meskipun kami teman satu SMA tapi kami berbeda kelas. Itulah yang menyebabkan selalu ada jarak diantara kami meskipun kami satu tingkatan dan satu sekolah. Pesta wisudapun berakhir dan aku harus pulang bersama dengan kedua orang tuaku tanpa bisa bertatap muka atau berbicara sepatah katapun dengan Giordano. Aku pulang dengan perasaan sedih dan merasakan ada kekosongan dihatiku karena tidak dapat bertemu dan berbicara dengan Giordano untuk terakhir kalinya. Aku tahu karena selepas ini Giordano akan pergi ke Amerika untuk kuliah disana mengambil jurusan kedokteran meneruskan profesi ayahnya yang adalah seorang direktur salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Sedangkan aku akan tetap kuliah di Jakarta mengambil jurusan desain untuk meneruskan usaha keluargaku.   Flashback Off   “ Menurut lo sendiri gimana? Kenapa lo gak berusaha untuk kontak gue lagi waktu itu? ” tanyaku terus terang. “ Mungkin hubungan jarak jauh sangat sulit buat lo jadi lo lebih milih untuk ninggalin semuanya ” lanjutku lagi.   Terdengar tawa kecil Giordano dari balik telepon. “ Yah, bisa jadi. Tapi waktu itu memang aku belum terlalu mengerti apa arti dari hubungan kita ” jawabnya terdengar jujur. “ Aku selalu minder sama kamu, aku selalu merasa apakah mungkin kamu mencintai aku? “ lanjutnya yang tanpa sadar mulai membuatku menitikkan air mata.   ‘Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu?’ ujarku dalam hati. ‘Benarkah yang dia ucapkan? Jadi selama ini itulah yang ada di dalam hatinya?’ ucapku miris dalam hati.   “ Kok bisa? ” tanyaku tidak terima. “ Kok bisa lo minder sama gue ? ” tanyaku lagi memperjelas.   “ Iyalah, kamu cantik dan pintar gitu. Waktu SMA aja kamu juara umum satu sekolah. Bayangin? Yang suka sama kamu juga banyak dan… “ dia mulai melambatkan kata-katanya. “Aku tidak pernah mendengar secara langsung dari hati ke hati bahwa kamu mencintai aku “ lanjutnya lirih.   Oh God. Aku langsung ingin menangis rasanya mendengar semua penjelasan dari Giordano. ‘Jadi selama ini dia menganggap kalau aku tidak mencintainya?’ ujarku dalam hati menganggapnya bodoh. Tapi aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan dia karena aku sadar kalau aku terlalu jual mahal dulu. Ya, tentu saja aku pikir aku adalah seorang wanita, jadi aku perlu menjaga gengsi dan imageku dihadapan pria. Aku tidak mau dianggap sebagai wanita yang dengan mudahnya menyatakan cinta dan perasaan kepada seorang pria. Bagiku, seorang pria itu harus berjuang jika ia memang benar mencintai wanitanya. Itulah juga sebabnya yang membuatku tidak pernah menghubungi Giordano duluan, karena aku berpikir jika dia memang mencintai aku maka dia pasti akan berusaha mencari dan menghubungiku. Tapi jika tidak, itu artinya memang tidak ada perasaan apa-apa yang dimiliki Giordano untukku. Aku tidak mungkin harus mengejar-ngejar dan terus mengharapkan cinta dari seseorang yang tidak mencintaiku. Aku hanya bisa memendam semua perasaan itu dalam hati.   “ Jadi…dari mana lo tahu nomor w******p gue sekarang? ” tanyaku memecah keheningan yang tercipta diantara kami berdua. “ Dan kenapa tiba-tiba berniat untuk menghubungi gue lagi? ” tanyaku hati-hati sambil berpikir apakah ada yang salah dengan kalimat yang sudah aku lontarkan. Giordano tersenyum. “ Jadi kamu belum tahu darimana aku bisa dapat nomor w******p mu? ” jawabnya seraya kembali bertanya. Aku mengernyitkan keningku tidak mengerti dengan pertanyaan yang dia lontarkan. " Nggak tahu " jawabku singkat dan ragu-ragu. “ Adel ” jawabnya singkat. “ Adel ? ” tanyaku kembali terkejut tidak percaya. “ Iya Adel. Jadi Adel belum cerita sama kamu kalau dia ketemu sama aku? ” tanyanya lagi heran. “ Adel ketemu sama kamu ? Kapan ? “ sahutku cepat.“ Adel nggak pernah bilang apa-apa sama gue “  lanjutku lagi seketika mengingat kemarin ada yang aneh dengan sikap Adel. Kemarin Adel memang ijin datang siang ke kantor karena paginya dia bilang akan mengantar ibunya yang sakit asam lambung ke dokter. Setibanya di kantor, Adel tersenyum-senyum sendiri melihatku dan dia berkata bahwa keberuntungan akan datang kepadaku dalam waktu dekat ini. Aku tidak mengerti dengan apa yang diucapkannya. Aku tidak menganggap serius perkataannya dan terus saja berkonsentrasi dengan desain yang sedang aku buat. ‘Jadi, inilah yang dimaksud Adel dengan keberuntungan yang akan datang kepadaku?’ ujarku dalam hati. ‘Sialan ! Kenapa Adel tidak bicara terus terang kalau dia sudah bertemu dengan Giordano?’ umpatku dalam hati. Bahkan sampai tadi siang pun Adel berakting cukup pintar dengan ikut merasa terkejut karena tiba-tiba Giordarno mengirimkan pesan padaku.  ‘Awas…Adel’ ancamku dalam hati.  “ Kemarin “ jawabnya singkat. “ Kemarin Adel datang mengantarkan mamanya yang sedang sakit asam lambung ke Rumah Sakit Harapan Bersama. Kebetulan aku dokter jaganya, jadi aku yang membantu memeriksa mamanya Adel. “ lanjutnya lagi seraya bercerita. “ Jadi lo sekarang ada di Jakarta ? “ tanyaku memastikan seraya mengerti kenapa dia mau menghubungiku lagi. “ Iya aku sudah kembali ke Jakarta “ jawabnya tegas. “ Aku sudah pulang dari Amerika dan sudah lulus bachelor degree disana. Sekarang aku lagi menjalani masa praktek lapanganku, menjadi dokter muda di Rumah Sakit Harapan Bersama selama kurang lebih satu tahun “ ceritanya panjang lebar. “ Yah, kamu tahulah jadi dokter itu sekolahnya panjang dan lama “ sahutnya lagi curhat.   Aku tersenyum, Adel benar rupaya keberuntungan memang sedang menghampiriku saat ini. Giodano sudah berada di Jakarta dan itu artinya kami bisa bertatap muka lagi. " Kamu apa kabar ? " tanya Giordano lagi. " Adel bilang kamu sudah jadi desainer terkenal ya sekarang " lanjutnya lagi. " Ah, enggak lah, gue cuma karyawan papa aja " jawabku merendah. " Aku penasaran, gimana wajah kamu sekarang ya? Pasti sudah terlihat dewasa ya, tambah cantik dan sudah pinter make up pastinya " ujar Giordano padaku. Tiba-tiba saja layar di handphone memunculkan tulisan Giordano meminta untuk mengalihkan panggilan menjadi video call.  " Aduh, ngapain lagi sih pake video call " ujarku panik sambil menaruh tanganku di jidat.  Sejenak aku berkaca untuk memastikan penampilanku  dan kemudian dengan ragu-ragu kuterima permintaan video call itu. Hatiku berdebar saat melihat wajah tampan Giordano muncul di layar handphoneku. Dia mengenakan pakaian putih khas seorang dokter dan terlihat sedang duduk di sebuah ruangan yang sepertinya adalah ruang dokter. " Hai " sapaku dengan senyum malu-malu karena aku memakai piyama dan rambutku masih terlilit handuk. "  Hai Emily ! " Giordano membalas sapaanku dengan senyuman yang terlihat kaku.  " Muka kamu nggak berubah ya tetep cantik, tambah cantik malah" puji Giordano. " Kamu baru selesai mandi ya ? Seger amat ! " ujar Giordano yang membuatku jadi sedikit tidak percaya diri karena terlihat dengan penampilan seperti ini. " Iya " jawabku singkat. " Lo masih di rumah sakit ya ? “ tanyaku tanpa sadar melihat kearah jam dan sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ternyata sudah satu jam kami berbincang-bincang dan aku lupa kalau aku belum makan malam hari ini. “ Iya masih di rumah sakit . This is doctor's life “ jawabnya sambil tertawa. “ Tapi sebentar lagi juga udah mau pulang karena dokter jaga selanjutnya sudah datang “ lanjutnya lagi. “ Oh, gitu." sahutku bingung mau berbicara apa lagi.  " Kalau gitu lo siap-siap aja. Ini udah malem, lo pasti capek banget juga “ sahutku perhatian “ Iya “ jawabnya singkat. “ Thank you yah udah mau angkat teleponku hari ini “ ujarnya berterima kasih dengan suara yang lembut dan tenang sehingga bisa menggetarkan perasaan yang ada di dadaku.   Aku tersipu malu. Pipiku saat ini pastilah sudah memerah seperti tomat.   “ Buat apa bilang terima kasih ? “ aku tertawa “ Ada-ada aja “ lanjutku “ Yah karena aku senang bisa ngobrol-ngobrol lagi sama kamu hari ini “ ujarnya lagi yang membuat perasaanku dibawa terbang tinggi ke angkasa. “ Sama- sama “ sahutku malu-malu. “ Gue juga seneng bisa ngobrol lagi sama lo hari ini “ jawabku sambil tersenyum. “ Ok, aku tutup teleponnya ya. Good night Emily ! “ ujarnya dengan suara lembut mengakhiri percakapan hari ini. “ Ok. Good night too Gio ! “ balasku lalu menutup sambungan telepon dengannya.   Aku tersenyum, seketika ada perasaan lega yang keluar dari dalam dadaku. Entah apa yang akan dibawakan takdir untukku dengan mempertemukan kembali aku dengan seseorang yang sangat spesial di hatiku. Seseorang yang aku sendiri tidak mengerti kenapa bisa begitu memiliki perasaan yang dalam terhadapnya. Giordano memang tampan, aku akui itu. Tapi menurutku banyak juga lelaki tampan yang ada di sekelilingku namun entah kenapa rasanya berbeda dengan Giordano. Giordano itu lebih dari sekedar tampan menurutku, dia berkharisma. Raut wajahnya, senyumnya, caranya berbicara, semuanya terlihat begitu mengesankan dihatiku. Aku rasa, aku tidak akan bisa tidur malam ini karena saking bahagianya seperti menemukan oase ditengah padang gurun yang sangat tandus.   ‘ Terima kasih Tuhan ! ‘ ucapku dalam hati sambil tersenyum tulus. Akupun segera ke dapur membuat makan malam untuk perutku yang sudah mulai keroncongan Giordano POV Aku sudah mengirimkan pesan via w******p messenger sejak tadi pagi. Pesanku pun sudah tercentang biru yang artinya sudah dibaca oleh Emily. Tapi entah kenapa sampai malam begini, pesanku tak kunjung dibalas oleh Emily. Aku bertanya-tanya dalam hati kenapa Emily tidak mau membalas pesanku? Mungkin Emily tidak menyukaiku? Mungkin Emily sudah punya pacar? Atau mungkin saja dia hanya masih sibuk? Ah, entahlah ! Kenapa sejak aku meminta nomor Emily pada Adel, aku jadi selalu memikirkan Emily ? Tiba-tiba saja ada rasa penasaran dan ingin menghubunginya lagi. Aku juga sudah memfollow ** dan f******k Emily dan melihat-lihat isinya untuk mencari tahu bagaimana kabarnya dan seperti apa dia sekarang ini.   Malam ini tiba-tiba Emily membalas pesanku. “ Halo juga, apa kabar ? ” “ Sorry seharian tadi sibuk jadi baru sempet bales sekarang ” “ Ini Giordano ? Giordano Collin ? ”   " Kabarku baik " “ Oh iya nggak apa-apa ” “ Aku tahu cewek pinter kayak kamu pasti orang yang sangat sibuk ” “ Iya aku Giordano, Giordano Collin” “Kamu masih ingat ? Atau udah lupa ?”   “ Ya masih ingat ” “ Bagaimanapun dari dulu sampai sekarang lo selalu jadi orang yang spesial di hati gue “    Aku terkejut membaca pesan yang baru saja dikirim oleh Emily. Tidak menyangka Emily bisa mengatakan hal itu padaku padahal Emily yang dulu adalah Emily yang sangat gengsi dan suka berbasa-basi. Ada perasaan bahagia di hatiku karena Emily menganggapku orang yang spesial baginya. Aku menjadi semakin penasaran. 'Seperti apakah Emily yang sekarang ini?' ujarku dalam hati. Tiba-tiba terbersit di pikiranku untuk meneleponnya. Aku sangat ingin mendengar suaranya langsung.    “ Halo” jawab Emily dengan suara lembut.  Rupanya suara Emily masih saja terdengar lembut dan manja seperti dahulu. “ Hai Em, kamu lagi apa? Aku nggak lagi ganggu kamu kan sekarang ? ” tanyaku dengan suara berat.   “ Nggak, lagi santai aja. Habis mandi tadi ” jawab Emily singkat.“ Yah, seperti yang gue tulis tadi, dari dulu sampai sekarang lo masih jadi seseorang yang spesial di hati gue ” lanjutnya lagi mengulang kata-kata yang diucapkannya lewat pesan tadi.  Hatiku bergetar, aku sangat terharu dan bisa merasakan ketulusan dari kata-kata yang diucapkan oleh Emily.  “ Ya…kamu juga seseorang yang selalu aku ingat ” jawabku jujur    “ Yakin lo selalu inget gue ? ” tanya Emily seperti tidak percaya. “ Iya lah “ jawabku singkat. " Aku suka bilang sama teman-teman kuliahku dulu, kalau aku pernah punya pacar masa muda yang imut dan pintar tapi akhirnya harus putus kontak karena kami sudah lulus sekolah dan berpisah universitas. “ ceritaku jujur pada Emily. Tapi emang benar itulah yang selalu kukatakan kepada teman-temanku saat kami sedang membahas bagaimana pengalaman percintaan kami masing-masing.   “ Eh iya, dulu kenapa yah kita tiba-tiba berpisah gitu aja setelah kita lulus sekolah? ”  tanyaku lagi sambil tersenyum dan berusaha mengingat-ingat apa yang dahulu pernah terjadi.   Flashback On   Aku teringat hari itu adalah saat terakhir aku melihatnya. Malam itu adalah malam wisuda bagi seluruh siswa dan siswi SMA Tunas Bangsa. Hari itu ballroom Hotel Mercure sangat padat dan dihadiri oleh ribuan siswa dan siswi yang akan melepaskan status SMAnya. Aku sangat bahagia karena nilai-nilaiku juga cukup bagus untuk aku bisa mengambil kuliah dengan jurusan kedokteran di Harvard Medical School, Boston, Massaschusetts. Gadis yang kucintai, Emily lulus dengan nilai yang sangat memuaskan dan juga menjadi Juara Umum di sekolahku. Dia memang cantik dan pintar hingga banyak yang tertarik padanya. Siapakah aku ini dimatanya? Dia bisa menunjuk siapa saja yang dia sukai. Aku jadi merasa kecil di hadapannya. Apalagi selama ini dia tidak pernah benar-benar menunjukkan perasaannya kepadaku.  Mataku berputar mengelilingi ballroom dan mencari dimana sosok Emily dapat ditemukan ketika aku naik ke panggung mempersembahkan nyanyian koor dengan teman-teman sekelasku. Tapi begitu padatnya kursi sehingga aku tidak bisa menemukannya. Aku hanya bisa melihatnya saat dia maju menerima penghargaan sebagai Juara Umum di sekolah. Tapi ketika Emily turun panggung dan aku bermaksud untuk mengucapkan selamat padanya, ia sudah disibukkan dengan ucapan selamat dan hadiah dari teman-temannya sehingga aku tidak dapat menjangkau Emily. Pesta wisudapun berakhir dan aku harus pulang bersama dengan kedua orang tuaku tanpa bisa bertatap muka atau berbicara sepatah katapun dengan Emily. Aku pulang dengan perasaan sedih dan merasakan ada kekosongan dihatiku karena tidak dapat bertemu dan berbicara dengan Emily untuk terakhir kalinya. Karena besok aku akan pergi ke Amerika untuk kuliah disana mengambil jurusan kedokteran untuk jangka waktu yang sangat lama.    Flashback Off   “ Menurut lo sendiri gimana? Kenapa lo gak berusaha untuk kontak gue lagi waktu itu? ” tanya Emily tiba-tiba “ Mungkin hubungan jarak jauh sangat sulit buat lo jadi lo lebih milih untuk ninggalin semuanya ” ujarnya lagi menyimpulkan sendiri.   Aku tertawa kecil. “ Yah, bisa jadi. Tapi waktu itu memang aku belum terlalu mengerti apa arti dari hubungan kita ” jawabku jujur. “ Aku selalu minder sama kamu, aku selalu merasa apakah mungkin kamu mencintai aku? “ lanjutku lagi..   “ Kok bisa? ” tanyanya tidak terima. “ Kok bisa lo minder sama gue ? ” tanya Emily lagi.   “ Iyalah, kamu cantik dan pintar gitu. Waktu SMA aja kamu juara umum satu sekolah. Bayangin? Yang suka sama kamu juga banyak dan… “ aku mulai melambatkan kata-kataku. “Aku tidak pernah mendengar secara langsung dari hati ke hati bahwa kamu mencintai aku “ ucapku jujur. “ Jadi…dari mana lo tahu nomor w******p gue sekarang? ” tanyanya kemudian.“ Dan kenapa tiba-tiba berniat untuk menghubungi gue lagi? ” tanyanya tegas. Aku terkejut, rupanya Adel belum memberitahu Emily tentang perjumpaanku dan Adel di rumah sakit kemarin. “ Adel ketemu sama kamu ? Kapan ?  Adel nggak pernah bilang apa-apa sama gue “  ujar Emily terkejut.  “ Kemarin “ jawabku singkat. “ Kemarin Adel datang mengantarkan mamanya yang sedang sakit asam lambung ke Rumah Sakit Harapan Bersama. Kebetulan aku dokter jaganya, jadi aku yang membantu memeriksa mamanya Adel. “ jawabku panjang lebar. “ Jadi lo sekarang ada di Jakarta ? “ tanyanya tiba-tiba dan terdengar bersemangat. “ Iya aku sudah kembali ke Jakarta “ jawabku. “ Aku sudah pulang dari Amerika dan sudah lulus bachelor degree disana. Sekarang aku lagi menjalani masa praktek lapanganku, menjadi dokter muda di Rumah Sakit Harapan Bersama selama kurang lebih satu tahun. Yah, kamu tahulah jadi dokter itu sekolahnya panjang dan lama “ lanjutku lagi bercerita.   " Kamu apa kabar ? Adel bilang kamu sudah jadi desainer terkenal ya sekarang "  tanyaku lagi menggodanya. " Ah, enggak lah, gue cuma karyawan papa aja " jawabnya merendah. " Aku penasaran, gimana wajah kamu sekarang ya? Pasti sudah terlihat dewasa ya, tambah cantik dan sudah pinter make up pastinya "  ujarku menggoda Emily Tiba-tiba terbersit pikiran isengku untuk menyalakan tombol video sehingga aku bisa melihat wajah Emily. " Hai "  sapanya Melihat wajah cantik Emily yang mengenakan piyama pink, tiba-tiba saja juniorku ikut berdiri. "  Hai Emily !   Muka kamu nggak berubah ya tetep cantik, tambah cantik malah" ucapku memuji Emily. " Kamu baru selesai mandi ya ? Seger amat ! "  lanjutku lagi " Iya " jawabnya singkat dan terlihat salah tingkah. " Lo masih di rumah sakit ya ? “ tanyanya berusaha mengalihkan pembicaraan. “ Iya masih di rumah sakit . This is doctor's life “ jawabku sambil tertawa. “ Tapi sebentar lagi juga udah mau pulang karena dokter jaga selanjutnya sudah datang “ lanjutnya lagi. “ Oh, ok. Kalau gitu lo siap-siap aja. Ini udah malem, lo pasti capek banget juga “ ujarnya “ Iya. Thank you yah udah mau angkat teleponku hari ini “  ucapku lagi.    “ Buat apa bilang terima kasih ? Ada-ada aja “  jawabnya “ Yah karena aku senang bisa ngobrol-ngobrol lagi sama kamu hari ini “ ucapku jujur. “ Sama- sama. Gue juga seneng bisa ngobrol lagi sama lo hari ini “ jawabnya sambil tersenyum manis. “ Ok, aku tutup teleponnya ya. Good night Emily ! “  sahutku mengakhiri pembicaraan kami. “ Ok. Good night too Gio ! “ balasnya   Aku merapikan mejaku dan bersiap untuk pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD