Bagian Satu

893 Words
            I may be clueless and clumsy. But I’ve got friends who love me. –Jessica Andrews             “Pagi Ennnaa!”             Anna terkekeh kecil saat suara cempreng itu memenuhi gendang telinganya. Dia menggeliat, merenggangkan tubuh yang terasa kaku, lalu melirik jam dan mendengus kesal. Ini masih terlalu pagi untuk sebuah gangguan.             “Gila ini masih setengah tujuh tau!” erangnya frustasi, Anna bangkit dari tidurnya, terduduk di tempat tidur dengan sebelah tangan mengucek mata yang masih terasa mengantuk, dia melirik ke arah gorden jendela yang masih tertutup rapat.             Suara cekikikan tanpa rasa bersalah terdengar, “sorry-sorry… gue cuman mau ngucapin selamat pagi buat cewe yang masih betah ngejomblo di umurnya yang udah—“             “k*****t lo ye!” Potong Anna langsung, perempuan di seberang sana tertawa geli. Anna menekuk wajahnya kesal. "Hai, Na!” suara lain terdengar, membuat Anna semakin jengkel. Dua pengantin baru ini tampaknya berkonspirasi mengerjainya di pagi yang cerah ini. “Ga usah hai-hai ye Lucas, ga laki ga bini, sama aja lo berdua!” Lucas tergelak, “sensian amat sih masih pagi juga.” Cibirnya, tau benar akan membuat Anna kesal setengah mati. Ketika adu mulut mereka semakin memanas, Flo segera mengalihkan pembicaraan.“Eh, udah-udah… lo jadi pindahan sekarang kan?” ujar Flo, “semuanya udah diurus?” “Udah, cuman barang di apartemen baru belum gue tata semuanya, jadi apartemennya masih berantakan.” “Mau dibantuin gak?” “Ya maulah! Seenggaknya buatlah diri kalian berguna, selain ngerjain dan ngerusuhin gue setiap pagi. Gue ini masuk  kategori orang yang tertindas tau ga sih?” Flo dan  Lucas tergelak, ‘Lebay amat dah.” Sahut keduanya mendengar keluhan Anna. “Iya nanti dibantuin deh, mahluk tertindas!” celetuk Lucas lagi, Anna cumin berdehm, memutar bola mata. Tiga puluh menit kemudian, sebelum memetuskan sambungan telepon, keduanya kembali mengucap janji akan membantu Anna dalam pindahannya siang ini, tak lupa dengan ejekan yang  selalu dilontarkan—bumbu pertemenan, mereka bilang. Anna tergelak karena tingkah kedua pengantin baru ini. Keduanya kini sangat bahagia, semua orang tidak akan percaya lika-liku perjuangan mereka untuk bersama, sesederhana itu ya, seserorang akan mempertaruhkan apapun demi kebahagiaan orang yang dicintainya. Setelah obrolan panjang itu selesai, Anna bangkit dari ranjangnya, tangannya tergerak mengambil figura di meja rias. Disana dia tengah tersenyum memegang bucket bunga pernikahan, berdiri di antara Flo dan Lucas, tidak lupa si ganteng Geno yang duduk berpose bak model di lantai, mereka sangat bahagia di foto ini, Anna tersenyum dan mengusap figura itu sekilas, dia berutang banyak pada seorang Florania Tjandra. *** “Pleasure to have a business with you, Sir!” Gio tersenyum penuh wibawa, sedetik setelah pria itu berbalik, senyumannya berganti dengan tatapan yang jika diibaratkan sebuah laser, pria itu pasti sudah terkapar tak bernyawa karena tatapannya. Dia melirik ke samping, asistennya tak jauh berbeda dengan dirinya saat ini, keduanya menatap bandot tua itu dengan ekspresi geram. “Siapkan untuk kepulangan saya hari ini, Ra.” Perintah Gio, dia berjalan sembari merenggangkan dasinya yang terasa mencekik. Hampir lima jam lebih dia terjebak di ruangan persegi empat itu, menjalani meeting dengan hati dongkol. Jika saja tidak mengingat kembali motto hidupnya. Gio pasti sudah hengkang sedari tadi, meninggalkan para penjilat itu. “Sudah beres semuanya Pak, saya juga sudah suruh Andi untuk jemput Bapak dari bandara nanti.” Menghiraukan penjelasan Amira, Gio malah balik bertanya, saat merasa ada yang salah dengan gads itu. "Kamu sakit?" Tanya Gio, dia melirik wanita yang semenjak 4 tahun lalu menjadi asistennya dengan alis terangkat sebelah. "Nng, nggak Pak saya cuma pilek!" "Pilek itu juga sakit, Ra!" "Hehehe. Iya ya, Pak?” Amira menggaruk tengkuknya salah tingkah. Gio menggeleng heran, “Istirahat saja dua hari ini, saya harus pulang kerumah.” Ujarnya sambil tetap berjalan keluar gedung. “Baik, Terima kasih, Pak!” Amira tersenyum lebar, mengikuti langkah atasannya. *** Pria itu mengerek kopernya malas, perjalanan pulangnya memakan waktu lebih kurang 8 jam, belum lagi ditambah dengan delayed keberangkatan pesawat, membuat waktunya terbuang dengan sia-sia. Ketika sampai di depan pintu apartemennya yang sudah hampir sebulan tidak dihuni, Gio merasa nyawanya sudah hampir meninggalkan tubuh. Punggungnya terasa pegal, begitu pun bagian bahunya. Rasanya tidak sabar untuk segera bertemu dengan ranjang dan tidur sampai esok pagi. Gio menguap lebar, sebelah tangannya memencet kode apartement yang telah dihafal diluar kepala. Namun, alih-alih menemukan ruang kosong tanpa perabotan, Gio mendapati keadaan apartementnya berubah, banyak perabotan baru yang sudah tertata rapi di ruang tengah. Sofa merah dan meja, vas bunga di sepanjang lorong, lampu hias di sudut ruangan, dari mana datagnya semua ini, pikirnya terheran. Untuk beberapa saat Gio terdiam, apa gue masuk ke apartemen yang salah? Gio keluar mengecek nomor di pintu. Tidak, dia tidak salah masuk ruangan, ini adalah apartemennya, namun dengan keadaan yang sangat berbeda. Badan dan pikirannya yang lelah sudah menolak untuk diajak berfikir keras, sofa di ruang tengah terlihat empuk dan memanggil-manggilnya untuk merebahkan diri, namun ketika melangkah masuk ke dalam ruangan itu, kesadaran yang timbul setelahnya membuat Gio mendengus keras, sebelah tangannya otomatis memijat pelipis. ‘Ini pasti kerjaan Mama lagi, deh!’ Gio baru saja ingin menghubungi wanita yang sudah dikenalnya seumur hidup itu saat sebuah teriakan lengking menggema dari arah belakang, di ikuti dengan mendaratnya sebuah odol di kepalanya. "Aahh, maling! Maling!" Suara wanita. Refleks Gio menoleh dan mendapati seorang wanita dengan baju tidur andanya tengah memegang panci berdiri tepat didepan kamarnya. Oh Tuhan, apalagi ini!              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD