Chandani's LL 1. Help

2535 Words
..**.. Pasar Minggu., Pagi Hari., Seorang gadis cantik berusia 22 tahun sedang memilih sayuran di pasar. Memilah dan memilih bahan-bahan dapur dan meletakkannya pada keranjangnya. Lalu disodorkan pada penjualnya. Setelah menuntaskan pembayaran belanjanya. Gadis berparas ayu itu langsung keluar dari pasar. Dan kembali memilih melihat-lihat sekitar pasar, mana tahu ada sesuatu yang terlupa dan yang bisa dia beli lagi, karena uang belanjanya masih tersisa 135 ribu lagi. Gadis tersebut berjalan ke arah penjual kue-kue basah. Akhirnya dia membeli beberapa kue untuk dibawa pulang sebagai sarapan pagi oleh orang-orang Panti Asuhannya. Setelah kegiatannya di pasar, akhirnya memutuskan untuk segera pulang ke Panti Asuhan sebagai tempat persinggahannya, sebelum hal yang tidak dia inginkan terjadi. Ckiitt…. Bruuaakk….             Gadis itu langsung menoleh ke sumber suara. Begitu juga orang-orang di pasar. Mereka mulai mengerumuni asal suara tersebut. Gadis itu akhirnya mengkuti orang-orang untuk melihat apa yang terjadi.             Di depan mata kepalanya sendiri, dia melihat wanita paruh baya berusia sekitar 40 tahun tergeletak di jalanan. Dengan darah yang sudah bercucuran di dahinya. Tidak satu orang pun yang berani menolongnya. Gadis itu sedikit gemetar juga kasihan melihat wanita paruh baya tersebut. Saat dia memberanikan diri untuk lebih dekat. Sampai salah seorang warga mengatakan sesuatu padanya. “Dek, jangan sentuh dia! Kita tunggu aja sampai polisi datang!” Gadis itu lalu menghentikan langkah kakinya. Dan seakan itu bertolak belakang dari lubuk hatinya yang sangat ingin menolong wanita itu. Dia berpikir kembali, apa jadinya jika wanita di depannya saat ini tak terselamatkan, karena darah yang terus mengalir keluar dari hidung dan kepalanya. Gadis itu merasa akan menyesal seumur hidupnya karena membiarkan wanita itu tergeletak dengan bersimbah darah. Gadis itu memberanikan dirinya, lalu mendekati wanita itu dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya yang penuh dengan darah membuat gadis itu semakin panik. Dia segera berteriak meminta bantuan pada orang-orang namun tak ada satupun yang berniat menolongnya. Tapi ada satu orang supir angkutan umum yang bersedia memberikan tumpangan untuk mereka menuju klinik terdekat. *** Klinik Pelita Harapan., Pagi hari.,             Mereka tergesa-gesa mendorong bed itu menuju ruangan khusus pasien IGD. “Kalian tunggu saja diluar dan selesaikan administrasi. Kami akan mengurus pasien,” ucap salah seorang perawat lalu menutup pintu ruangan IGD itu.             Gadis itu mondar-mandir di depan pintu ruangan IGD. Setelah menyelesaikan administrasi, dan meyakinkan pihak resepsionis bahwa pihak keluarga korban tabrak lari akan membayar sepenuhnya biaya pengobatan pasien dengan memberi jaminan ponselnya yang harganya tidak seberapa.             Salah satu perawat berjalan ke arah mereka. “Maaf bu, yang menolong pasien atas nama siapa?” tanya perawat itu sopan.             Gadis dan pria paruh baya itu saling melihat satu sama lain. “Saya Yuri, Sus.” Gadis itu bersuara pelan dengan wajah sendunya.             Perawat lalu menulis namanya pada buku ekspedisinya. Dan berlalu pergi dari hadapan mereka. “Dek, kamu sebaiknya tenang. Ibu itu pasti selamat,” ujar seorang pria bernama Pak Cecep, yang juga ikut menolong ibu yang tertabrak motor tadi. “Iya, Pak. Saya yakin Allah pasti menyelamatkan ibu itu. Oh, iya kalau saya boleh tahu nama bapak siapa?” tanya gadis itu. “Saya Pak Cecep dek. Dan kalau bapak boleh tahu … kamu tinggal dimana, Yuri?” tanya Pak Cecep.             Gadis itu tertawa pelan. Dia lalu mengatakan nama lengkapnya pada Pak Cecep. “Pak, nama saya Chandani Oyuri. Almarhum kedua orang tua saya memanggil saya dengan sebutan Yuri. Dan keluarga saya yang sekarang, memanggil saya dengan nama Icha. Jadi, bapak panggil saya Icha saja. Saya tinggal di Jalan Ketaren, Dusun II, Pak.” Chandani menjelaskannya dengan tersenyum manis.             Yah! Chandani Oyuri adalah nama lengkap gadis berusia 22 tahun itu. Dia akrab disapa Icha. “Oh, maaf Icha. Bapak gak tahu. Maaf kalau saya menyinggung soal almarhum orang tua kamu. Berarti rumah kamu dekat dengan rumah saya. Dekat pasar minggu kan?” tanya Pak Cecep seraya tidak enak hati dan bertanya untuk mengalihkan pembicaraan mereka. “Iya, Pak. Sekitar 15 menit lah Pak dari pasar minggu,” jawab Chandani sambil mengganggukkan kepalanya.             Pak Cecep lalu diam. Dia sendiri pun bingung, mau membahas apa dengan gadis yang usianya tidak jauh dari usia putrinya itu.             Chandani, dia kembali membuka suaranya. “Hmm … orang tua saya meninggal karena kecelakaan saat usia saya masih 9 tahun. Dan keluarga saya yang sekarang adalah sahabat dari kedua orang tua saya. Mereka bilang, orang tua saya berpesan meminta mereka agar mengurus saya sampai saya dewasa.” Chandani berbicara sambil menerawang ke arah langit-langit, membayangkan sosok kedua orang tua yang sangat ia rindukan.             Pak Cecep melihat Chandani dengan rasa iba. Dia merasa bahwa Chandani seperti tidak bahagia dengan kehidupannya yang sekarang. “Kalau Bapak boleh tau, apa kamu bahagia dengan keluarga barumu yang sekarang, Nak?” tanya Pak Cecep sedikit ragu, takut menyinggung perasaan Chandani.             Chandani lalu menoleh ke arah Pak Cecep sambil tersenyum tulus. ‘Wajahmu sangat tulus, Nak. Saya yakin kamu pasti berhati mulia. Semoga hidupmu dipenuhi dengan kelimpahan kebahagiaan sampai akhir hayat kamu.’ Pak Cecep membathin, membalas senyuman Chandani. “Saya bahagia, Pak. Saya sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan mereka yang ikhlas menerima saya dan mengurus saya selama saya tinggal bersama dengan mereka,” jelas Chandani.             Pak Cecep hanya mengangguk iya. Mereka lalu diam sesaat. Dan keluarlah seorang dokter dan perawat yang menangani ibu tadi. “Bagaimana keadaan ibu itu, Dokter?” tanya Chandani dengan nada khawatir.             Dokter itu tersenyum melihat Chandani, seakan Chandani adalah putri dari ibu yang ia tangani tadi. “Dia baik-baik saja. Dia pingsan karena syok. Dan perdarahan di kepalanya, itu karena benturan dari aspal. Tapi secara keseluruhan, beliau baik-baik saja. Kamu tidak perlu khawatir,” jelas Dokter itu seraya menenangkan hati gadis yang ada di hadapannya saat ini. “Apa kami boleh melihat Beliau, Dok?” tanya Pak Cecep. “Untuk saat ini sebaiknya biarkan dia beristirahat dulu. Sampai dia benar-benar siuman,” ucap dokter itu.             Dokter itu masih memandang Chandani. “Maaf, kalau saya boleh tau. Apa Anda mengenal Beliau?” tanya Dokter itu pada Chandani. “Tidak, Dokter. Kami tidak saling kenal. Saya bertemu ibu itu di pasar. Karena dia ditabrak oleh pengendara sepeda motor, mereka lari gitu aja. Dan saya tidak tega lihat ibu itu, trus karena Pak Cecep mau memberi tumpangannya. Ya kami bawa ibu itu kesini. Begitu Dokter ceritanya,” jelas Chandani panjang lebar, menjelaskan pertemuannya dengan ibu itu.             Dokter itu mengangguk iya sambil tersenyum. “Baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu,” ucap Dokter itu berlalu pergi dari hadapan mereka. …             Chandani melihat ke arah jam dinding. Gawat! Dia pikir, dia harus segera pulang. Karena kalau tidak orang rumah akan memarahinya habis-habisan. Belum lagi dia harus ke Panti Asuhan mengantar kue yang dia beli tadi. “Pak. Apa Bapak bisa menunggu ibu itu sampai siuman atau sampai keluarganya datang? Saya tidak bisa lama disini pak. Karena keluarga saya pasti mencari saya,” ujar Chandani memohon pada Pak Cecep.             Pak Cecep mengangguk iya seraya memahami keadaan Chandani saat ini.             Chandani, dia lalu keluar klinik. Mengambil belanjaannya di angkutan umum milik Pak Cecep, lalu segara balik ke rumahnya. *** Rumah Pradipta Salaman., Siang Hari., “Ichaaa!” teriak seorang wanita berusia 41 tahun berjalan ke arah gadis yang membawa belanjaannya.             Wanita itu memukul badannya dengan menggunakan gagang sapu. “Ampun, Bu. Ampun …” Chandani memohon ampun sambil melindungi bagian tubuhnya. Dia kesakitan karena tubuhnya lagi-lagi dipukuli dengan gagang sapu oleh ibu angkatnya, Leta Niswari.             Dua orang wanita yang usianya tak jauh berbeda dengannya hanya tertawa melihat Chandani disiksa oleh ibu kandung mereka. ..**..             Chandani adalah panggilan akrabnya. Gadis berusia 22 tahun, bernama lengkap Chandani Oyuri merupakan anak angkat dari keluarga Pradipta Salaman. Dipta dan Leta mengadopsi gadis yang akrab disapa Icha itu saat dia berusia 9 tahun.             Awalnya Leta sangat menolak keras untuk mengadopsi Chandani, karena baginya akan sangat menyusahkan dan menambah beban biaya hidup mereka saja. Tetapi karena Dipta sudah mengambil keputusan, maka tidak seorang pun yang berani bicara.             Chandani adalah anak dari almarhum kedua sahabat Dipta dan Leta yang meninggal karena kecelakaan mobil. Sebelum kedua orangtua Chandani meninggal, mereka berpesan menitipkan Chandani dan berharap mau mengasuhnya sampai Chandani menikah dengan pria yang siap menjaganya seumur hidupnya. Dan Dipta menyanggupi permintaan terakhir kedua sahabatnya itu.             Almarhum kedua orang tua Chandani memang sama-sama sudah tidak mempunyai keluarga. Mereka juga hidup pas-pasan kala itu. Hanya memiliki sebuah mobil dan sebuah rumah. Maka dari itu, almarhum kedua orang tua Chandani menitipkan Chandani pada Dipta dan memberinya sebuah rumah dan mobil mereka kepada keluarga Dipta sebagai balas budi untuk mengurus Chandani sampai dia menikah. Karena mereka tidak mau Chandani hidup sebatang kara tanpa mereka. ..**..             Sudah 13 tahun Chandani hidup bersama keluarga Pradipta. Keluarga angkatnya, Chandani sangat menyayangi mereka semua. Walaupun ibu dan saudara angkatnya sangat membenci bahkan sanggup menyiksanya. Dia tetap menyayangi mereka. Karena bagi Chandani, lebih menyakitkan lagi jika ditinggalkan oleh orang yang kita sayangi.             Sedangkan Dipta, dia sangat menyayangi Chandani. Bahkan Sinta dan Sahya, anak kandungnya merasa cemburu pada Chandani. Mereka merasa kalau perhatian dan kasih sayang ayah mereka lebih kepada Chandani. Di tambah lagi ibu mereka yang mengompori putrinya sendiri agar membenci Chandani. Itulah sebabnya Nursinta Salaman dan Nursahya Salaman sangat membenci Chandani.             Dipta sangat menyayangi Chandani. Karena selain penurut, Chandani adalah anak yang pemaaf. Dipta tahu bahwa selama ini istri dan kedua anaknya tidak bersahabat dengan putri angkatnya, Chandani. Walaupun mereka telah hidup bersama selama 13 tahun lamanya. Tetap tidak membuat hati mereka terenyuh untuk menerima posisi Chandani di rumah ini.             Maka dari itu Dipta semakin menyayangi Chandani, karena kalau bukan dia yang mencurahkan kasih sayangnya lalu siapa lagi. Dia hanya ingin Chandani tetap nyaman tinggal di rumah mereka. *** “Makanya. Kalo disuruh belanja itu ya belanja. Jangan kelayapan kayak kalong!” ucap Sahya sambil memukul kepala Chandani dengan tangannya. “Tahu ni! Dasar anak tak tahu diuntung. Uda numpang, pakek betingkah lagi!” timpal Sinta menendang punggung Chandani.             Chandani hanya terduduk bersandar pada dinding di ruang tamu. Dia sama sekali tidak menangis. Dia sudah terbiasa diperlakukan kasar oleh ibu dan saudari angkatnya. Dia juga sadar akan posisinya di rumah ini yang hanya menumpang hidup. “Sana masuk! Dan rubah wajah sok polos mu itu kalau suamiku pulang! Kau mengerti!” bentak Leta melempar sapu ke arah Chandani. Buughhhh!!             Chandani menutupi wajahnya agar tak kena serangan sapu. Dia mengangguk iya. Lalu mencoba berdiri dan berjalan ke kamarnya yang terletak di samping dapur. “Dasar anak pembawa sial!” teriak Leta lagi, yang masih bisa di dengar oleh Chandani.             Chandani berjalan menuju kamarnya yang tidak luas. Hanya terdapat tempat tidur kecil, lemari pakaian dua pintu, dan satu kamar mandi kecil. Dia meringis kesakitan menahan nyeri di sekujur tubuhnya itu.             Luka biru dipunggungnya saja belum sembuh, sekarang sudah tambah luka baru lagi. “Ya Allah, aku terima semua takdirku ini. Asalkan aku selalu berada dalam keluarga ini.” Dia bergumam pelan, lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri, dan melaksanakan sholat Dzuhurnya.             Chandani lalu mengambil sebuah bingkai foto. “Papa, Mama. Aku rindu kalian. Aku ingin bersama kalian. Kapan kita bisa berjumpa kembali,” gumam Chandani pelan sambil terisak dalam tangisnya. *** Klinik Pelita Harapan., Siang Hari.,             Seorang pria tampan berkemeja batik berlari tergesa-gesa menghampiri pihak resepsionis. “Saya keluarga pasien tabrak lari atas nama Arisha Cantara. Saya anak kandungnya,” ujar pria itu berbicara dengan nada khawatir pada pihak resepsionis. “Maaf atas nama bapak siapa?” tanya salah satu resepsionis padanya.             Tiba-tiba seorang pria memanggil pria itu. “dr. Zhain? Ibu Anda ada disini. Mari ikut dengan saya,” ujar pria itu, Raka. Teman sekampus Zhain yang merupakan dokter umum di klinik tersebut             Mereka berjalan menuju salah satu ruangan tempat ibu Zhain dirawat. *** Ruangan Inap., “Dia baik-baik saja. Sebentar lagi siuman,” ucap Raka pada sahabatnya yang sedang mencium kening ibunya. “Thanks Ka. Aku tidak tahu harus membalas budi mu dengan cara apa,” sahutnya lalu berhadapan dengan Raka. “Hey, bukan aku yang menolong Mama mu. Tapi seorang gadis dan supir angkutan umum tadi.” Raka memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.             Zhain mengernyitkan dahinya. “Ayo, duduk dulu. Kau terlihat lelah sekali dr. Zhain.” Raka mengatakannya bernada mengejek, menyuruh Zhain duduk di sofa di dalam ruangan itu.             Zhain hanya tersenyum miring. “Seorang gadis sudah menyelamatkan Mama mu. Dia hanya memberi sebuah ponsel sebagai jaminan untuk tembusan pengobatan Mama mu, Zhain.” Raka menjelaskannya dengan wajah serius. “Siapa namanya?” tanya Zhain memastikan. “Yuri. Perawatku bilang namanya Yuri. Dan supir angkutan umum itu namanya Pak Cecep. Dia yang memberi gadis itu tumpangan untuk membawa Mama mu kesini,” ujar Raka lagi.             Zhain mengangguk iya seraya paham. “Aku akan membalas budi baiknya. Bisa aku minta nomor ponselnya?” tanya Zhain meyakinkan diri untuk bertemu dengan gadis yang telah menolong Mamanya. “Aku akan minta sama perawatku nanti. Tapi kau tidak bisa membawanya pulang Zhain. Karena dia berpesan. Setelah biayanya selesai, dia akan mengambilnya lagi.” Raka menjelaskannya sambil terkekeh pelan. “Apa ada yang lucu?” tanya Zhain berwajah datar, dengan suara dinginnya yang mulai terkesan cuek. “Hey, kawan! Kau ini tegang sekali. Santai sedikit. Aku hanya curiga jika ini takdir antara kau dengan gadis yang menolong Mama mu. Karena kulihat dia seperti masih single,” ujar Raka menggoda Zhain dengan satu kedipan matanya. “Hentikan omong kosong mu dr. Raka,” balas Zhain lalu berdiri dan menghampiri sang Mama yang masih belum sadar dari pingsannya.             Raka terkekeh pelan karena berhasil menggoda Zhain, sebagai sahabatnya. “Zhain. Usiamu sudah berapa. Kau juga sudah sangat mapan. Kau seorang dokter spesialis jantung ternama. Banyak sekali dokter cantik atau perawat cantik yang mengincarmu, bahkan rela mencuri perhatian mu. Ayolah kawan! Buka sedikit hatimu untuk satu orang wanita. Aku sudah beranak satu. Masa sampai sekarang kau betah menjomblo, huh?” ejek Raka sinis kepada Zhain.             Zhain menatap Raka sekilas. Lalu menghelas nafasnya panjang. Dan kembali duduk di sofa bersama Raka. “Aku tidak tahu wanita seperti apa yang cocok denganku,” balasnya menatap Raka. “Dengar, Zhain. Bagaimana mungkin kau tahu cocok atau tidak cocoknya kalau kau sama sekali tidak berniat memulai sebuah hubungan. Atau jangan-jangan berita tentang Gay itu adalah benar?” tanyanya serius kepada Zhain.             Zhain menggelengkan kepalanya. “Aku tidak perlu membuktikan kepada semua orang kalau aku masih normal, Raka. Aku akan segera menikah. Tapi untuk saat ini, mungkin aku belum menemukan wanita yang cocok.” Zhain menatap ke atas, pandangannya menerawang ke langit-langit ruangan inap disana. “Zhain, aku ingin mengatakan sesuatu padamu.” Ucap Raka menatap Zhain intens.             Zhain membalas tatapan Raka. Dia paham, kalau saat ini Raka sedang berbicara serius dengannya. “Gadis yang menolong Mama mu tadi. Dia pasti gadis yang baik. Terlihat ketulusan dari wajahnya. Tapi aku rasa, dia berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja.” Balas Raka tidak jelas dan direspon helaan nafas oleh Zhain.             Zhain menghela nafasnya kasar. “Sebenarnya kau ingin membicarakan soal apa sih, Ka?” tanya Zhain seraya meminta penjelasan lebih detail. Pasalnya dia benar-benar tidak mengerti maksud dari ucapan teman lamanya itu. “Ya mana tahu, kau ingin mengenal dia lebih baik Zhain. Jarang-jarang lo zaman sekarang ada calon istri berhati tulus seperti gadis tadi,” ujar Raka menaikkan satu alisnya ke atas seraya mengambil hati sahabatnya. “Ghhmm …” gelisah seorang wanita dalam baringannya diatas bed tidurnya.             Zhain membuang wajahnya ke arah bed pasien. Wanita yang tidur di bed pasien menggerang pelan. Mereka langsung menghampiri wanita itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD