Peninggalan Orang Tercinta (A)

1159 Words
"Bagaimana, Leo?" Leo terdiam sesaat. Surat yang digenggamnya ia lipat menjadi dua, pria itu melemas seketika selesai membaca surat dari mendiang Aline--sahabatnya yang meninggal karena sebuah kecelakaan saat wanita itu dilarikan ke rumah sakit. Aline beserta suaminya meninggal akibat kecelakaan tersebut pula. Aline Septria, wanita yang berhasil mencuri hatinya sejak masa sekolah menengah ke atas itu kini sudah tiada untuk selamanya, sebelum Aline mengetahui perasaan yang sudah disimpan Leo selama bertahun-tahun. Leo mengusap wajahnya kasar. Ditatapnya bayi Aline yang sedang tertidur pulas dalam gendongan Angela--sang Mama. Mark--sang Papa ikut duduk disamping putra sulungnya. Mark menepuk-nepuk pundak Leo pelan, Mark paham apa yang dirasakan anak sulungnya itu. Mark tahu betul perasaan Leo terhadap Aline. Walaupun Leo tak pernah bercerita tentang perasaannya pada Mark, tetapi Mark bisa membaca gerak-gerik anaknya ketika berdekatan dengan Aline, sedang berbicara dengan Aline, bahkan hanya Aline yang bisa membuat Leo tertawa lepas. Dua puluh empat tahun Mark hidup bersama anaknya. Leo bukan pria yang banyak bicara, bukan seorang pria yang gampang memperlihatkan senyum menawannya pada seseorang. Tetapi, ketika bersama Aline, Leo terlihat berbeda. Mark bisa melihatnya. Tetapi, sayangnya, Leo tak pernah berani untuk mengungkapkan perasaannya pada Aline. Pria itu terlalu takut untuk mengungkapkan isi hatinya. Entah apa yang ditakutkan pria itu.. Mungkin ditolak, itu salah satu alasan Leo takut untuk mengungkapkannya. Hingga saat usia Aline menginjak 22 tahun, wanita itu memutuskan untuk menikah dengan seorang anak pengusaha terkenal. Betapa hancurnya hati Leo saat itu, harapannya pupus, musnah sudah ketika mendapat sebuah Undangan dari Aline. Wanita itu berbicara panjang lebar mengenai calon suaminya, gurat-gurat kebahagiaan tercetak jelas di wajahnya. Aline tampak bahagia saat itu. Berbanding balik dengan Leo yang hancur pada detik itu juga. Aline.. Wanita itu, wanita yang dicintainya menikah dengan pria lain. Bagaimana hati Leo tak hancur? Setelah Pernikahan Aline selesai digelar. Saat itu pula Leo memutuskan untuk berangkat ke Jerman. Leo berharap, keberangkatannya ke Jerman bisa membuatnya lupa akan sosok Aline. Leo tak berniat menghapus Aline dari hatinya.. Leo hanya ingin ia bisa merelakan Aline menikah dengan pria lain. Leo kembali menarik napas berat, ia beranjak dari Sofa Bludru yang di dudukinya. Diraihnya bayi mungil yang tengah digendong Angela, Leo menggendong bayi Aline hati-hati. Dikecupnya kening bayi Aline dengan lembut. Pria itu tersenyum pelan, sepertinya ia sudah mengambil keputusan yang tepat. "Kamu sudah mengambil keputusan, Leo?" Kini Mark yang berganti bertanya pada anak sulungnya. Leo menoleh ke belakang sebentar, menatap sang Papa yang hingga kini masih terlihat tampan. "Iya," jawab Leo pendek. "Lalu apa keputusanmu?" Seru Angela mendekati anaknya. Bayi Aline menggerakan badan mungilnya lucu, entah kenapa ini membuat Leo gemas. Ini kali pertama tangannya menggendong seorang bayi. Bayi Aline begitu menggemaskan, matanya tak lepas memperhatikan setiap gerak-gerik bayi lelaki tersebut. "Leo mau merawat bayi Alien, Ma, Pa." Angela menatap sang suami yang terlihat tenang. Mark hanya menghendikan kedua bahunya pelan, Angela melotot garang pada suaminya. Angela tak menyangka kalau anaknya berbesar hati mau merawat bayi Aline. Angela tahu, ini bukan hal yang mudah bagi anak sulungnya itu. Mencintai Aline selama bertahun-tahun, setelah mereka menginjak lebih dewasa, Aline menikah dengan orang lain tanpa mengetahui perasaan Leo yang sebenarnya. Lalu, setelah itu. Aline menitipkan bayinya pada Leo? Ya, Aline menitipkan bayinya pada Leo. Sebelum menghembuskan napas terakhir, wanita itu memberikan surat pada Angela, Aline berkata agar surat tersebut sampai pada tangan Leo. Dalam isi surat tersebut, Aline mengatakan kalau ia menitipkan bayinya pada Leo. Suami Aline meninggal saat kecelakaan itu terjadi, untuk bernapas panjang saja Aline tak mampu. Kecelakaan itu membuat seluruh tubuhnya merasa kesakitan, dadanya terasa susah untuk bernapas. Mungkin sudah menjadi firasat bagi Aline, kalau hidupnya tak akan lama lagi. Maka dari itu ia membuat surat untuk Leo. Dan satu hal yang baru Leo ketahui dari cerita Aline. Ternyata Pernikahan Aline dan sang suami tak pernah mendapatkan restu dari keluarga sang suami. Hanya dikarenakan Aline seorang yatim-piatu. Ini juga menjadi salah satu alasan Aline menitipkan bayinya pada Leo. Aline sudah tak mempunyai siapapun di dunia ini, dan keluarga suaminya? Menolak kehadiran bayinya. Hati Leo tersentuh setelah melihat bayi Aline... "Kamu sudah yakin?" Tanya Angela memastikan. "Leo yakin, Ma." Terdengar nada tegas pada suara Leo. Angela menganggukan kepalanya pelan, sebagai seorang Ibu, Angela akan mensuport apapun yang dilakukan Leo, selagi itu masih dalam kebaikan. Angela tersenyum, lalu memeluk Leo dan cucu barunya. "Kenapa hanya Leo yang kamu peluk, hem?" Mark berdiri. Ia mengedipkan matanya genit ke arah Angela. Angela mencubit pinggang Mark. Dasar tak tahu malu! Sudah tua masih saja kelakuannya seperti remaja. Dasar Mark! *** Satu tahun kemudian... Sedari tadi Angela mengomel tanpa ada jeda sedikitpun. Wanita setengah baya itu masih terlihat cantik di usianya yang tak muda lagi. Bagaimana ia tak mengomel? Leo, anak sulungnya kerja dari pagi hingga malam, lalu setelah pulang ia harus mengurus Jona, anak Aline yang sekarang sudah menjadi anak angkat dari Leo Alexander. Leo memberi nama Jonathan Alexander pada anak angkatnya. Jona sudah menginjak usia satu tahun. Jona semakin lucu dan menggemaskan. Oh iya, sejak Leo memutuskan untuk merawat Jona sendirian, pria itu memilih untuk tinggal di rumahnya sendiri. Mungkin jika siang hari, Selena yang akan menjaga Jona. Untung saja Selena adik yang baik, jadi Leo tak terlalu kerepotan untuk menjaga Jona. "Leo, lebih baik kamu cari Babysitter." Oceh Angela. "Apa kamu nggak kasihan sama badan kamu? Pagi-pagi kamu harus berangkat ke kantor, pulangnya malem. Kamu nggak capek?!" Leo menggaruk tengkuknya. "Capek aku terbayar setelah lihat Jona, Ma," Angela mencebikan bibirnya. Susah sekali menasehati anak ini! Angela menaruh Jona ke tempat tidur, bocah lelaki itu sudah tertidur pulas dalam gendongannya. "Lagipula, ada Selena yang bantuin aku jagain Jona," "Kamu ini!" Angela memukul bahu Leo gemas. "Kamu itu nggak pernah pikirin kesehatan kamu, dan kamu juga nggak mikirin betapa repotnya Selena yang harus bolak-balik dari rumah Mama, ke rumah kamu. Adik kamu itu juga punya pekerjaan, Leo!" Pinggang Leo tak selamat dari cubitan Mamanya. Leo meringis. "Ma, Leo bukan anak kecil lagi. Kenapa harus dicubit-cubit!" Protes pria itu kesal. "Biarin! Kamu ini emang bandel! Sekali-kali kamu dengerin Mama, pokoknya kamu harus cari Babysitter buat Jona!" Kekeuh Angela. "Cari Babysitter itu nggak gampang, Ma. Kalau Babysitter-nya nggak baik, terus Jona diculik gimana?" Duk. Angela melayangkan jitakan mulus pada kepala Leo. "Ucapan itu doa. Kamu kalau bicara itu yang baik-baik. Jangan pernah mikir yang macem-macem. Ya Tuhan, kenapa kamu mirip sama Papamu. Sama-sama menyebalkan! Bisanya berpikiran buruk pada orang lain!" Dengus Angela sinis. "Lagipula Mama sudah mencari Babysitter untuk cucu tampan Mama. Sebentar lagi juga akan datang," Angela menarik ujung bibirnya membentuk senyuman. "Heh? Ma--" "Stop." Jari telunjuk Angela menempel dibibir Leo. "Tenang aja, Mama dapet Babysitter dari jasa yang terpercaya, Jona akan berada ditangan yang tepat. Oke ganteng.." Tangan Angela menepuk pipi Leo beberapa kali. Ah, kenapa Leo bisa mempunyai Mama yang terlalu cerewet. Hobby mengomel, selalu berceramah tanpa titik koma. Leo menghela napas, kelakuan Mamanya tak pernah berubah, selalu ingin menang! "Kalau begitu Mama turun dulu, siapa tahu Babysitter pesanan Mama sudah datang," Angela mengedipkan matanya lucu. Leo bergidik geli. Mamanya sama saja dengan Papanya. Dasar freak couple!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD