1.Katia

2038 Words
Suara gongongan anjing membangunkan tidur Katia. Kenapa lagi sih Max, pikir Katia. Semalaman dia tidak bisa tidur dengan tenang karena tiap jam terbangun oleh gongongan anjing kampungnya. Katia melirik jam dinding di kamar tidurnya, masih jam 5:30 pagi. Dengan perasaan malas, gadis bertubuh mungil itu menarik selimut yang menutupi badannya dan merangkak bangun dari tempat tidur, sambil memegangi kepalanya yang terasa melayang. Membuatnya harus berdiam sejenak di pinggiran kasur hingga pandangannya kembali normal. Tidak biasanya anjing itu ribut terus seperti tadi malam, membuat gadis itu keheranan. Matanya yang lebar menatap ke arah anjing kampung berwarna putih hitam di bawah kakunya, yang kini mengaing pelan. Matanya  yang hitam dan bulat menatap majikannya seakan ingin mengatakan sesuatu. “Mau keluar lagi Max?” Tanya Katia. Anjing yang sudah dipeliharanya sedari kecil itu hanya menatap muka majikannya dengan telinga terangkat sambil menjulurkan lidah dan menggoyangkan ekornya. Seolah mengiyakan ajakannya.  “Baiklah... sekarang sudah subuh juga,” pikirnya sambil mulai menegakkan tubuhnya dari tempat tidurnya yang hangat. Gadis berambut kemerahan itu berjalan menuju pintu dan menariknya terbuka, membiarkan anjingnya melesat keluar sebelum duduk di dekat pintu menuju kebun belakang rumah yang masih tertutup. "Iya tunggu..." ucap Katia kearah anjing nya yang kembali menatap ke arah dirinya dan pintu bolak balik. Katia melangkah keluar kamar sambil mengamati suasana rumahnya yang masih tampak sepi. Hanya bunyi jangkrik dari kebun belakang yang samar samar terdengar. Sepertinya Dad belum bangun, pikirnya. Rumah yang sudah ditinggalinya sejak lahir ini tidaklah besar tapi nyaman. Walau cuman selantai berisi 2 kamar tidur, dapur kecil,dan  ruang keluarga yang merangkap menjadi ruang makan, namun rumah ini memiliki halaman belakangnya yang luas dan langsung menghadap kearah hutan. Katia berjalan menuju dapur. Dibukanya lemari diatas kepalanya, meraih gelas terdepan yang ada di dalam lemari. Tangannya memutar keran wastafel dan meletakkan gelas di bawah pancuran air, mengisinya dengan air. Dalam lima kali teguk di habiskan nya air di dalam gelas itu. Rasa segar dari air keran itu sedikit mengurangi pening yang terasa di kepalanya. Setelah membilas gelas yang di pakainya, Katia berjalan menuju pintu belakang untuk mengeluarkan Max yang masih dengan sabar menunggu untuk keluar. Anjing kampung itu langsung berlari melesat kearah pepohonan sambil mengendus-endus. Halaman belakang rumah mungil itu memang tidak dipagari dan langsung bersebelahan dengan hutan pinus yang mengelilingi kota kecil tempatnya tinggal. “Jangan berkeliaran terlalu jauh Max” teriak Katia. Max menoleh kearah gadis itu sejenak dan kemudian kembali dengan keasikkan nya mengendus-endus sebatang pohon pinus di perbatasan kebun dan hutan, kembali mengacuhkan Katia. Gadis itu menengadahkan kepalanya kearah langit yang mulai bersemu kuning. Perasaan tidak enak mulai menjalar di dalam pikirannya ketika teringat bahwa ini sudah Senin lagi. Saatnya kembali ke kampus.  Ingatannya kembali pada kejadian jumat lalu. Ketika Karen dan gengnya mendorong badannya hingga menempel pada dinding di ruang wc kampus. Menjatuhkan backpack miliknya di lantai wc. Dengan isinya berceceran keluar. Buku , kuas, tinta, dan kertas kertas gambar milik Katia, terinjak injak oleh Karen dan 2 temannya yang tidak peduli, Cynthia dan Blair.  “Gak usah sok cantik, muka cacat!” gertak Karen kepada Katia. Tubuh jangkung Karen yang merupakan ketua club Cheerleader kampus menjulang diatas kepala Katia. Jari telunjuk Karen menunjuk nunjuk d**a Katia dengan keras. “Brandon itu pacarku, ngapain kamu menciumnya?” Tanpa gentar, Katia kembali mendorong Karen agar menjauh dari wajahnya, yang langsung tersentak mundur karena kaget. “Heh..! Mungkin kamu sebaiknya nanya tuh ke pacarmu kenapa dia menciumku,” jawab Katia tak kalah sengitnya. Dilihatnya bibir Karen yang merengut marah mendengar jawabannya. “Kurang ajar!” PLAK !! Tangan kanan Karen terangkat menampar pipi Katia dengan keras. Wajah Katia yang putih  langsung memerah menjiplak tangan Karen. Dirinya memang tidak sepopuler  Karen dan teman temannya. Tapi wajah gadis itu jauh lebih cantik dibandingkan semua gadis di kampus. Wajar saja jika Karen merasa terancam mendengar bahwa kekasihnya mencoba mencium Katia. Satu satunya yang dijadikan bahan olokan Karen adalah tiga bekas luka goresan memanjang di wajahnya. “Jangan ngomong sembarangan ya, mana mungkin Brandon mau mencium gadis bermuka cacat seperti dirimu. Melihatnya saja sudah bikin muntah.” Karen berdiri memicingkan matanya sambil menunduk menatap wajah Katia yang memang hanya setinggi bahunya. Merasa makin jengkel oleh ejekan Karen, tanpa sadar Katia mengepalkan tangannya dan tnpa peringatan diayunkannya kepalan tangan kecilnya telak ke wajah cantik yang menjulang diatas kepalanya. BUGG! Mata Karen langsung melebar, melotot kesakitan. Tak lama darah mulai mengucur dari hidungnya yang mancung. “Ahhh….Hidungku!” Tangan gadis itu langsung terangakat memegang ke tempat Katia melayangkan pukulannya. Sebelum kemudian berlari keluar sambil berteriak, “Awas ya akan kulaporkan!” “Sialan!” Katia mengumpat sambil menahan rasa sakit di tengannya akibat memukul sekuat tenaga ke hidung Karen. Gadis itu menunduk melihat lantai wc yang kotor dan barangnya yang berhamburan dan mulai memunguti barang-barang miliknya yang tercecer di lantai. Terakhir, diangkatnya kertas bersketsa wajah ibunya yang basah terkena genangan air toilet. Cat air yang dipakainya untuk menggambar, kini luntur meninggalkan noda tidak berbentuk diatas kertasnya, seperti sirup yang larut ke dalam air ***  “Lho Kat? Kok sudah bangun?” suara Mike mengagetkan lamunan Katia membuatnya menoleh kebelakang. Ayah Katia, Mike, nampak sedang berdiri di belakangnya sambil mengucek mata. Tampak masih lelah, sepertinya ayahnya baru pulang larut malam dari prakteknya di klinik hewan. Sebagai seorang single parent dan satu-satunya dokter hewan di kota mereka, Mike bekerja sepanjang hari bahkan tak jarang hingga menjelang subuh. Membuat Katia sering harus ditinggal sendirian di rumah. Untungnya gadis itu tidak pernah keberatan, karena baginya Mike adalah sosok seorang ayah idaman. Selain selalu menyempatkan untuk mengajaknya berlibur paling tidak sebulan sekali, Mike juga selalu mempunyai waktu untuk mendengarkan drama anak remaja labil yang terjadi dalam kehidupan anak gadisnya. Memberinya masukan tanpa membuatnya merasa digurui.  Kadang Katia berharap ayahnya menikah lagi agar tidak kesepian.  Namun Mike tetap setia akan memori mendiang istrinya untuk membiarkan dirinya menemukan tambatan hati yang baru. Ibu Katia meninggal sejak dirinya masih baru lahir. Tidak banyak yang diingat Katia dari ibunya. Dan setiap dirinya mencoba bertanya tentang ibunya, wajah ayahnya langsung berubah menjadi murung sehingga diurungkan niatnya untuk meneruskannya. “Hei Dad.” Sapanya. “Max ribut saja semalam, membangunkanku beberapa kali.”  Mike berjalan kearah Max sambil bersiul memanggil nama anjing yang masih asik mengendusi pohon satu persatu. Dia membungkuk begitu Max menghampirinya. Dielusnya perut, wajah, dan mulut anjing memeriksa apakah ada sesuatu yang menyebabkan anjjing itu gelisah semalaman. Sesuatu yang biasa dilakukannya pada kebanyakan binatang yang datang ke kliniknya. “Sepertinya dia baik baik saja. Mungkin dia tahu kalau majikannya akan pulang terlambat hari ini karena harus membersihkan sampah satu kampus setelah pulang.” sindir Mike ke arah anaknya yang makin cemberut. “Duh jangan diungkit lagi masalah itu, Dad” jawab Katia sewot mengingat hukuman yang di terimanya karena memukul Karen. Selain peringatan tertulis, dirinya diwajibkan untuk mengosongkan semua tempat sampah di seluruh kampus setelah kelasnya berakhir selama seminggu. Hal yang menurut pimpinan kampusnya, Mr Dudley termasuk ringan mengingat “parahnya” luka di hidung Karen. Sesuatu yang pasti dibuat buat oleh Mr Dudley yang tidak lain adalah paman Karen.   Katia setengah tersenyum membayangkan hidung Karen yang sedikit bengkok karena  hantaman pukulannya. Siapa juga yang naksir pacarnya sih, pikir Katia dalam hati. Seperti cerita remaja klise, pacar Karen, Brandon tentu saja adalah ketua tim Basket. Berwajah ganteng dan merupakan pemuda paling populer di kampusnya. Hanya saja muka putih dan rambut hitam cepaknya  bukanlah tipe Katia. Selain wataknya yang angkuh dan narsis, pemuda itu hanya berteman dengan orang orang tertentu dan sering menganggap remeh orang lain. Jujur saja, Katia malah menganggap Brandon dan Karen adalah pasangan yang serasi dimana mereka berdua sama sama mempunyai kepribadian yang menyebalkan. “Sudah sana cepat mandi. Dad siapkan sarapan dulu. Kamu berangkat bareng Donna?” Tanya Mike kembali membuyarkan lamunannya. Katia mengangguk. Donna yang adalah salah satu teman baiknya sedari kecil, tinggal hanya terpisah 3 rumah darinya. Temannya itu periang dan ceplas ceplos berbanding terbalik dengan sifatnya yang pendiam lebih suka memendam sesuatu. Mungkin hal itulah juga yang membuat pertemanan mereka berjalan selama itu. Katia berjalan masuk ke kamar mandi merasakan siraman air dingin mengguyur tubuhnya. Membuat  rasa llah dan kantuknya langsung sirna. Usai mandi diraihnya handuk yang tergantung di dinding dan melilitkannya ke tubuhnya, sebelum kemudian melangkah keluar menuju kamar. Lime menit, gadis itu berdiri di depan lemari bajunya. Memikirkan baju apa yang pantas untuk di pakai di hari senin yang akan menjadi hari yang sangat panjang ini. Pilihannya jatuh ke kaos putih yang agak ketat membingkai tubuh mungilnya dan celana jeans robek favoritenya. Sejenak Katia menatap bayangan badannya di cermin. Gadis itu mengangkat tangan kirinya menutupi separuh wajahnya yang cacat. Kini yang menatap balik dari cermin bukan lagi wajah yang berbekas luka, tapi separo wajah putih mungil bermata lebar dan berpipi merona. Bibirnya yang bersemu jambu, walaupun tanpa polesan lipstick, sementara rambut merahnya yang masih basah dibiarkannya terurai. Rembesan airnya membasahi sebagian dari kaos putih yang dipakainya. Perlahan gadis itu menurunkan tangan yg menutupi sisi kiri wajahnya. Guratan bekas luka yang lebar langsung terlihat, melintang dari pelipisnya hingga memotong alis kirinya.Membuat kecantikan wajahnya terganggu. Hhhhh.., hela Katia mengelus tiga goresan di wajahnya. Dipalingkannya wajahnya dari cermin. Tidak salah Karen sering mengejeknya, bahkan dirinya pun tidak sanggup menatap wajah cacat itu lebih dari beberapa menit tanpa bergidik ngeri. Diruang makan Mike sudah menaruh semangkuk sereal dan jus jeruk di meja untuk anaknya. Katia langsung meraih sarapannya dan melahapnya dengan buru buru. Terlalu lama merenung di depan cermin, membuatnya tidak sadar bahwa jam sudah menunjukkan pukul 7:20, dan Donna pasti akan segera datang menjemputnya. Dinnn dinnn.. Benar saja, bunyi klakson mobil Donna terdengar dari luar rumah. Katia segera menenggak jus jeruknya dan menumpuk gelasnya  di tempat cuci piring bersama mangkuk bekas sarapannya. “Bye Dad, pergi dulu yah. Semoga harimu menyenangkan” ujar Katia sambil mencium kening Mike yang tersenyum. “Kamu Juga ya. Sampai ketemu malam nanti. Eh tunggu, jangan lupa bekal makan siangmu” Mike mengulurkan kantong kertas berisi sandwhich kearah anak gadisnya yang langsung menyambar kantong itu dan memasukkannya ke dalam tas jinjing. “Thanks, Dad,” jerit Katia sambil berlari keluar dari rumahnya menghampiri Donna yang sedang duduk di dalam mobil dengan kepala mengangguk angguk mengikuti irama lagu. Kulitnya yang gelap terliaht berkilau memantulkan sinar matahari, sementara rambut ikalnya tertata rapi dihiasi dengan bando di atas kepala. Katia membuka pintu mobil dan menghempaskan badannya ke kursi membuat Donna menoleh.  “Wow.. kamu terlihat seperti panda dengan kantong matamu, Kat.”  “Max ribut, membuatku susah tidur. Sudah kubawa ke taman karena kukira dia mau kencing. Ehh waktu balik kekamar, dia gelisah lagi.”  “Anjing itu sudah tua bukan? Mungkin dia sakit?” tanya Donna tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. “Entahlah, Dad sudah memeriksa dan katanya dia baik baik saja” Katia menoleh kearah jendela mobil tidak berniat membahas lebih lanjut. Kepalanya yang kembali berdenyut karena kurang tidur membuatnya malas ngobrol. “Kurahap anjing tua itu baik baik saja.” Kata Donna yang tampak tidak sadar dengan perasaan galau teman baiknya dan mulai bernyanyi kecil mengiringi radio yang terpasang di mobil. Meninggalkan temannya menikmati jejeran pepohonan di sepanjang jalan yang berseling diantara rumah-rumah dan peternakan. Tinggal di pedesaan memang bisa terasa membosankan. Apalagi bagi anak seumurnya, tapi Katia yang memang tidak suka keramaian menikmati kesepian kota kecilnya itu. Donna membelokkan mobil kearah parkiran satu-satunya kampus yang ada di Oakwood Valley. Katia melirik jam di dashboard mobil Donna, jam 8 kurang 15 menit. Pantas saja kalau tempat parkir sudah mulai terlihat penuh. Perasaan galau di d**a Katia makin bertambah saat dirinya membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Seolah ia bisa merasakan akan adanya sesuatu yang terjadi padanya hari itu.  Semacam indra keenam. Diingatnya terakhir kali dirinya merasa seperti ini adalah ketika ia berumur 16 tahun dan tertabrak mobil ketika pulang dari sekolah. Mematahkan kakinya dan tangannya, membuatnya harus istirahat beberapa bulan di rumah. Dijinjingnya tas sekolah di bahunya sementara dilapnya tangannya yang mulai berkeringat ke celana jeans nya. Baru dua jangkah dilewatinya ketika kepalanya kembali berdenyut membuatnya terhuyung. Kakinya mendadak terasa lemas dan tidak bertenaga. Sempoyongan, Katia bisa merasakan badannya tersungkur ke depan. Direntangkan tangannya ke depan bersiap siap untuk melindungi kepalanya terantuk aspal tempat parkir saat terjatuh. Tepat sebelum tangannya menyentuh jalan yang keras,  dirasakannya sepasang tangan kuat yang menarik siku kirinya dan dengan menopang badannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD