Part 1

3687 Words
"Cewek Nangis itu bukan berarti dia lemah. Tapi terkadang, cewek Nangis itu karena dia udah nggak tahu lagi harus berbuat apa, saat melawanpun percuma"   ~Sunarti~   ___________________________________________________________________________   ***   Pagi ini, hujan dengan begitu derasnya turun mengguyur ibu kota. Terlihat sebuah taksi berhenti di sisi jalan. Entah apa yang dilakukan pemilik taksi itu ditengah derasnya hujan seperti ini.   Barra, yang sedang mengendarai motornya seketika menghentikan laju motornya mencari tempat berteduh agar seragam sekolah yang dipakainya tidak terlalu basah ketika tiba disekolah nanti, meskipun ia sendiri sudah memakai jaket.   Entah apa yang dipikirkan Barra. Tapi Lagi, taksi itu menarik perhatiannya, usahanya yang sejak tadi mencoba mengabaikan keberadaan taksi disisi jalan itu tidak berhasil. Dengan rasa sedikit penasaran, ia mulai memperhatikan  taksi itu. Pandangan matanya samar menangkap gerakan kecil dari mobil yang bergoyang. Ia juga mendengar samar teriakan dari dalam taksi.   Barra mulai tidak nyaman, dengan menggunakan jaket yang dipakainya, ia menutupi kepalanya setelah tadi melepas jaket itu dari tubuhnya. Sedikit berlari, Barra menghampiri taksi itu dan semakin lama suara teriakan yang didengarnya tadi semakin jelas.   Dengan kasar, Barra menggedor pintu kaca taksi.   "Buka!!!" Teriaknya. Tapi tak dihiraukan oleh seseorang yang berada di dalam sana.   "Toloooongg!!!" Teriakan dari dalam Taksi semakin membuat Barra geram. Ia melirik kesekitarnya, mencari apapun yang bisa ia gunakan untuk membuka pintu taksi.   Barra berlari kesisi jalan yang lain, mengambil sebuah batu yang cukup besar di genggaman tangannya dan dengan menggunakan batu itu Barra lalu memukul pintu kaca dengan keras.   BRAAAKKKK...   Kaca mobil itu pecah, dengan cepat Barra membuka pintu taksi. Ia lalu menarik sopir taksi itu keluar.   BUG.. BUG.. BUG..   Pukulan demi pukulan dilayangkan Barra pada sang sopir. Ia sudah tidak perduli lagi dengan seragamnya yang basah.   "Dasar b******k!!!" Teriak Barra. "Orang kayak lo tuh nggak pantas buat hidup.  Lo bahkan lebih hina dari binatang tau nggak!" Lagi, Barra berteriak marah, sedangkan sopir taksi itu sudah tersungkur di aspal dengan luka lebam diwajahnya.   Dari dulu Barra paling tidak suka dengan laki-laki yang melecehkan wanita. Baginya, laki-laki yang berani melecehkan wanita sama saja dengan binatang.   Barra memang nakal. Ia mengakui itu, tapi senakal-nakalnya Barra, ia tidak pernah nakal pada wanita, dan itulah prinsipnya.   Barra melirik gadis yang berada di dalam taksi. Penampilan gadis itu cukup berantakan. Seragam sekolah yang dikenakannya juga sedikit robek di bagian lengan. Entah apa yang dilakukan sopir taksi itu pada gadis yang berada didalam taksi, tapi Barra berharap gadis itu baik-baik saja dan sopir taksi itu belum melakukan apapun padanya.   "Hei… Rumah lo dimana?" Tanya Barra. Ia mendekat mencoba meraih gadis itu, tapi gadis itu justru bergeser kesamping dengan tubuh yang bergetar dan rambut  yang acak-acakan. Barra sadar, gadis itu pasti trauma dengan apa yang baru saja dialaminya.   "Biar gue anter  pulang." kata Barra lagi. Tapi gadis yang ada di dalam taksi itu hanya menunduk, ia bahkan mulai menangis.   "Kalau lo nggak mau dianter sama gue, ya udah nggak apa-apa. Tapi lo bisakan ngasih gue nomor telfon keluarga lo? biar gue bisa ngasih tahu mereka tentang keadaan lo."   "Jangan" Tolak gadis itu cepat. Ia menggeleng kuat.   Barra menaikkan sebelah alisnya. "kenapa? Mereka perlu tahu!"   Gadis itu menengadahkan wajahnya. Menatap Barra dengan wajah sendu dan air mata yang berurai. "Aku nggak mau bunda sama Kak Azka khawatir.” Katanya lirih, lalu kembali menunduk. “Aku udah terlalu banyak nyusahin mereka." Lirihnya.   Barra menghela napas, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran gadis yang ada dihadapannya.   "Terus sekarang lo mau kemana? karena gue yakin, lo nggak mungkin ke sekolah dengan keadaan seperti itu kan?" kata Barra.   Gadis itu melirik seragam yang dipakainya. Apa yang dikatakan laki-laki yang ada di hadapnnya  memang benar, tapi jika ia tidak ke sekolah maka ia sendiri pun tidak tahu harus kemana. Karena jujur saja ia tidak mungkin pulang ke rumah dengan keadaan seperti ini terlebih lagi hari ini adalah hari pertamanya sekolah.   Barra mengusap wajahnya yang semakin basah karena hujan yang belum berhenti. Ia lalu mengambil jaketnya yang tergeletak di aspal.   "Lo pake ini dulu, terus keluar dari situ." kata Barra memberikan jaketnya. Ia merogoh saku celananya lalu mengambil ponselnya kemudian menghubungi seseorang.   Barra berjalan menuju motornya diikuti oleh gadis yang tadi ditolongnya. Ia juga sudah menghubungi pihak kepolisian dan melaporkan kejadian yang dialami gadis itu.   Motor yang dikendarai Barra melaju dengan cepat. Hujan sudah berhenti beberapa saat lalu.   "Kita mau kemana?" Kata Gadis itu, tapi Barra hanya diam saja.   Setelah tiba ditempat yang ditujunya, Barra kemudian menghentikan laju motornya lalu turun dari motor itu.   "Ayo!" Kata Barra. Dengan patuh gadis itu berjalan dibelakang Barra.   Saat ini Barra sedang berada di ruang tamu rumah sepupu sahabatnya. Sebelum ia kesini, ia sempat mengabari sepupu sahabatnya itu bahwa ia akan datang kerumahnya untuk meminjam seragam sekolah. Barra memang sudah sedekat itu dengan keluarga sahabatnya.   Jangan heran mengapa Barra bisa meminjam seragam sekolah disini. Reyna yang merupakan sepupu dari sahabatnya itu adalah Alumni dimana gadis yang ditolongnya  bersekolah, itu sebabnya ia datang kesini.   "Bar!!" Panggil Reyna. Ia  sudah memberikan seragam sekolahnya yang memang masih bagus kepada gadis yang datang bersama Barra.   "hmm."   "Pacar Lo?"   Barra menaikkan sebelah alisnya, lalu menggeleng pelan.   "Terus siapa?"   "nggak tahu." kata Barra jujur.   Reyna mengernyit bingung. sebelah alisnya terangkat. "Jangan bohong deh, nggak mungkin lo bawa dia kesini kalau lo nggak kenal dia!"   Barra menghela napas pelan. "Gue nggak sengaja ketemu dia di jalan.”   “Serius?”   “Iya. Udah, nggak usah dibahas lagi." putus Barra akhirnya.   Reyna hanya bisa menghela napas, ia tidak punya hak untuk memaksa Barra. Terlebih, sahabat dari sepupunya itu memang tidak suka dipaksa.   Barra dan reyna menoleh bersamaan saat mendegar langkah sepatu dari arah tangga. Senyum diwajah laki­-laki itu nampak samar saat melihat penampilan gadis yang ditolongnya tadi sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.   "Yaudah gue berangkat sekarang, Ren. Thanks, ya." Kata Barra yang di angguki oleh Reyna. Barra lalu mengambil kunci motor yang berada diatas meja kemudian  melangkah menjauh dari ruang tamu. dan untuk kesekian kalinya gadis yang di tolongnya itu hanya menurut mengikuti langkahnya setelah sebelumnya gadis itu juga berterima kasih pada Reyna karena telah meminjamkan seragamnya.   Motor yang dikendarai Barra memasuki gerbang sekolah. Seperti biasa setiap kali Barra datang ia akan selalu menjadi pusat perhatian. Para siswi akan riuh membicarakan kedatangan Barra. Laki-laki yang selalu berhasil menarik perhatian seisi sekolah.   Tapi pagi ini sedikit berbeda. Karena Melihat Barra yang datang bersama dengan gadis lain, para siswi disekolahnya menjadi tak terkendali, mereka semua sibuk membicarakan gadis yang bersama Barra.   "Tuh cewek siapa sih?" kata salah satu siswi yang melihat kedatangan Barra.   "Jangan bilang kalau cewek itu pacarnya Barra?" lanjutnya lagi   "Songong banget, mana pake acara berangkat bareng sama Barra lagi." timpal temannya yang lain   "Sok cantik banget tuh cewek, anak kelas berapa sih? Baru lihat Gue." lagi, terdengar pertanyaan yang membicarakan tentang gadis yang berangkat bersama dengan Barra itu.   Bukan Barra tidak mendengar bisik-bisik dari teman sekolahnya tapi ia hanya menulikan telinga. Barra sudah terbiasa menjadi perbincangan dikalangan sekolah, entah itu pembicaraan yang baik ataupun buruk tentang dirinya semua itu sudah menjadi makanan sehari-hari untuknya. Dan Barra sudah tidak perduli lagi.   Barra berjalan meninggalkan gadis yang bersamanya tadi. Namun sebelum sempat kakinya melangkah terlalu jauh gadis itu tiba-tiba memanggilnya.   Barra menghentikan langkahnya. Ia lalu berbalik menatap gadis yang tadi bersamanya.   Dipandang seperti itu oleh Barra membuat Gadis itu menjadi salah tingkah. Tapi ia mencoba memberanikan diri membalas tatapan Barra.   "Kamu tahu darimana kalau aku sekolah disini?" Tanya gadis itu.   Barra menaikkan sebelah alisnya tanpa berniat menjawab.   "Maksud aku, kamukan nggak pernah nanya, kok bisa langsung tahu?" Lanjutnya lagi.   Barra menggeleng pelan "Lo bodoh apa b**o? Lo nggak liat seragam kita sama. Mestinya, lo nanyanya dari tadi waktu lo ganti baju, bukan sekarang." Kata Barra dingin lalu berbalik.   "Tunggu dulu!" Seru gadis itu yang berhasil menghentikan langkah Barra. Barra diam tanpa berbalik. Ia menunggu apa yang ingin di sampaikan gadis itu padanya.   "Makasih karena udah nolongin aku!"   Tanpa menjawab Barra lalu melanjutkan langkahnya. Berjalan menjauh meninggalkan gadis yang masih memandang kepergian Barra.   ***   Seperti biasa, kantin di sudut sekolahan selalu saja ramai di jam pelajaran Bahasa Indonesia. Siapa lagi yang membuatnya riuh kalau bukan Barra dan juga ketiga sahabatnya Derry, Yoga dan juga Alam. Keempat laki-laki itu jarang sekali mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia. Disaat temannya sedang bergelut dengan pelajaran, Barra dan sahabatnya justru asik nongkrong atau sekedar bersenandung seraya bermain Gitar di sudut kantin, tempat yang menjadi favorit untuk Barra dan ketiga sahabatnya itu.   "Bar, Tadi cewek yang dateng sama lo siapa?" Tanya Derry yang memang lebih dekat dengan Barra.   Bukan Yoga dan juga Alam tidak dekat dengan Barra hanya saja diantara ketiganya hanya Derry lah yang selalu mendengar dan mengerti tentang Barra sedangkan yang lain, terkadang mereka hanya bisa mendengar tetapi tidak bisa mengerti.   "Nggak tahu, Dia cuman numpang aja." jawab Barra asal.   "Numpang? dan Lo ngijinin?" Selidik Derry. Dahinya berkerut samar.   Mendengar Barra yang memberikan tumpangan pada seorang gadis, terlebih dengan gadis yang baru dikenalnya adalah sesuatu yang aneh menurut Derry karena Barra sangat berbeda dengan yang lain. Jangankan gadis asing, gadis yang sudah lama dikenalnya saja tidak pernah diizinkan untuk duduk dimotornya.   "Gue mau ambil minum, Lo mau pesen apa?" Kata barra seraya berdiri berusaha mengalihkan pembicaraan.   "samain aja." Barra mengangguk. Ia melirik kedua sahabatnya Yoga dan Alam yang masih asik bermain Gitar.   "Lo berdua mau pesen juga?" Tanya Barra pada keduanya. Yoga dan Alam menoleh.   "Maulah Bar, Tapi lo yang bayarin yah, gue lagi kere nih nggak ada duit sama sekali." kata Alam dengan riangnya. Yoga memukul pelan kepala Alam.   "Emang sejak kapan lo nggak Kere heh? Dari dulu juga Barra yang bayarin lo kan? Sok sok'an punya duit lagi." sinis Yoga. Alam terkekeh sedangkan Barra hanya menggeleng pelan.   Barra mengambil beberapa botol minuman. Ia kemudian kembali pada ketiga sahabatnya. Tapi sebelum ia sampai ditempatnya tadi, Barra berbelok kearah lain. Langkah kakinya mengarah kearah ruang ganti pakaian. Ia menempatkan telinganya tepat didaun pintu. Meski samar tapi Barra masih bisa mendengar kegaduhan yang terjadi didalam.   Dengan kasar Barra lalu membuka pintu itu dengan mengabaikan resiko bahwa ia sedang membuka ruang ganti pakaian khusus untuk perempuan.   Barra membuang nafas kasar saat melihat siapa yang ada didalam.   "Lo itu cewek, jangan bersikap kayak preman. Nggak cocok buat lo!" kata Barra.   "Lo jangan ikut campur yah, Bar. Ini itu udah tradisi sekolah kita. Siapapun murid baru yang sekolah disini, dia harus mendapat sambutan dari kita."   "Gue nggak keberatan kalau Lo emang pengen nyambut setiap murid baru yang datang kesini. Tapi cara Lo norak, Sel. Dengan mencoret muka dia pake lipstik, itu bukannya nyambut, tapi justru bikin dia nggak betah disini."   Gadis yang bernama Sela itu hanya membuang muka lalu menatap tidak suka siswi yang saat ini terduduk dengan wajah yang penuh lipstik menyerupai Badut bahkan mungkin lebih parah dari Badut.   Sela berjalan mendekat pada siswi yang terduduk itu, ia berjongkok lalu berbisik tepat ditelinga sang siswi.   "Ini hukuman, karena lo berani dateng sama Barra tadi pagi." bisik Sela. lalu berdiri, kemudian keluar dari ruang ganti. meninggalkan sang siswi yang rupanya gadis yang datang bersama Barra tadi pagi.   Barra menatap diam gadis yang ada dihadapannya. Ia bahkan tidak tahu nama gadis itu tapi hari ini Barra sudah dua kali ikut campur dengan masalahnya.   Barra berjongkok lalu meletakkan sebotol air mineral disamping Gadis itu. Ia terdiam sejenak mengamati gadis yang menunduk di hadapannya. Dengan tangisan lirih yang keluar dari bibirnya.   "Lo itu lemah banget, cuman digituin doang langsung nangis." Kata Barra. Gadis itu mendongak manatap Barra yang sudah berdiri dan berbalik keluar dari ruang ganti.   Hatinya nyeri.  Perkataan dari laki-laki yang sudah dua kali menolongnya itu berhasil membuat rasa sesak di dadanya.   ***   Melihat Barra yang datang dari arah lain membuat sahabatnya bertanya-tanya. Entah dimana Barra membeli minum untuk mereka.   "Lo beli minumannya dimana Bar? Lama amat. Ampe lumutan Gue." Tanya Yoga saat Barra sudah memberikan minuman pesanan ketiganya.   "Tadi Gue ada urusan." Jawabnya. Yoga mengangguk mengerti.   "Terus minum buat lo mana?" Tanya Alam.   "Udah Gue minum tadi." jawab Barra lagi.   "Oh, gue kira lo ngasih minuman lo buat cewek yang bareng lo tadi pagi!" Timpal Derry. Barra menatap Derry yang dengan santainya membuka Botol minumannya.   Tadi, Derry memang sempat mengikuti Barra saat melihat sahabatnya itu justru tidak menuju kearah mereka. dan Derry juga melihat semua yang terjadi di ruang ganti begitupun saat Barra meletakkan air mineral miliknya di samping gadis yang mendapat sambutan dari Sela yang memang terkenal dengan sikapnya yang sedikit Bar-bar, tapi Derry juga yakin Bahwa alasan lain dibalik sikap Sela itu tidak lain karena gadis itu barangkat bersama Barra tadi pagi. kejadian yang memang selalu diimpikan Oleh Sela sejak dulu. Berangkat bersama Barra dan dibonceng Oleh Barra.   "Serius, lo tau darimana, Der?" Tanya Alam penasaran, begitupun dengan Yoga yang sepertinya ikut tertular dengan sifat kepo yang dimiliki Alam.   "Hahaha.. bercanda gue, percaya aja sih lo." kata Derry akhirnya.   "Gue mau ke kelas." kata Barra. Ia lalu berjalan menjauh dari Ketiga sahabatnya   Melihat Barra yang pergi. Derry-pun ikut berdiri kemudian diikuti Oleh Yoga dan juga Alam. Ketiganya menyusul Barra yang sudah pergi terlebih dahulu.   ***   Seluruh siswa dan siswi berhamburan keluar kelas saat semua jam pelajaran telah selesai. Begitupun dengan Barra dan ketiga sahabatnya. Mereka berempat sudah menuju parkiran dimana kendaraan yang mereka pakai terparkir.   Canda dan tawa tak pernah lepas dari keempatnya. Terutama karena sikap Yoga dan Alam yang selalu saja membuat lelucon yang berhasil mengocok perut.   "Tadi kalian liat bu Meta-kan? Sumpah gue geli banget sama tu guru." kata Alam bergidik.   "Gitu-gitu juga dia bu guru lo kali. dia juga kan yang ngasih lo ilmu supaya otak lo itu agak pinter dikit." Ucap Yoga. Alam mendengus.   "Iya dia emang ngasih Ilmu, Ilmu ngeliatin Barra sampe ilernya itu mau keluar." kata Alam sinis.   Sepertinya sejak ia mendapatkan hukuman dari Bbu Meta, Alam menjadi sangat sensitif terhadap guru itu. Apapun yang dilakukan bu Meta selalu saja salah di mata Alam.   "Hahaha…" Tawa Yoga berderai. Ia tidak memungkiri bahwa apa yang dikatakan Alam itu salah karena Yoga-pun melihat bagaimana sikap bu Meta terhadap Barra. Gurunya yang satu itu sepertinya memang menyimpan rasa terhadap Barra.   Bahkan tidak jarang banyak siswa yang menggosipkan bu Meta belum menikah di usia hampir 35 tahun ini karena menunggu Barra menikahinya.   Memang separah itu anak-anak jaman sekarang.   "Sumpah yah, gue juga geli ngeliat ekspresi tu guru. Kitanya lagi serius nulis tapi dia malah serius ngeliatin Barra. Mana mulutnya mangap mulu lagi, untung aja nggak ada lalat yang masuk. coba kalau ada, kan nggak seru kalau ada berita yang tersebar 'Bu Meta nelen lalat karena ngeliatin siswanya sendiri sambil Mangap' Hahaha…" Tawa Yoga lagi-lagi berderai diikuti dengan Alam dan juga Derry yang ikut tertawa sedangkan Barra yang sejak tadi disangkut pautkan dengan kelakuan Gurunya itu hanya diam saja.   "Udah deh, kuping Barra panas tuh denger lo ngoceh mulu." Ucap Derry. Ia kemudian menatap Barra yang sudah bersiap-siap menaiki motornya.   "Bar, jadikan kita ke basecamp?" Tanya Derry. Barra hanya mengangguk.   Mereka berempat keluar dari pekarangan sekolah dengan mengendarai motor masing-masing. Kendaraan yang mereka gunakan melaju kearah sebuah gedung yang berada ditengah-tengah kota. Salah satu ruangan yang ada di gedung itu adalah tempat pribadi milik Barra. Disana ia bisa menghabiskan waktunya bahkan berjam-jam lamanya. Diruangan itu ada berbagai macam jenis alat musik. Karena Barra dan ketiga sahabatnya adalah orang yang senang bermain musik bahkan keempatnya bisa dikatakan mampu memainkan segala jenis alat musik yang biasa dimainkan para pemain Band pada umumnya.   Saat tiba di basecamp miliknya, Barra langsung mengambil stik drum. Diantara semua jenis alat musik, Drum adalah alat musik yang paling disukai oleh Barra. Baginya dengan menggunakan Drum ia bisa mengekspresikan apapun yang ada dalam hatinya. Terutama Ketika ia sedang merasa marah, maka ia bisa memukul Drum itu sepuas hatinya membayangkan bahwa apa yang dipukulnya itu adalah apa yang telah membuat suasana hatinya menjadi buruk.   Derry, Yoga dan juga Alam hanya duduk memperhatikan Barra yang terus saja bermain Drum. Terlihat sekali Bahwa suasana hati Barra sedang tidak baik sekarang. Bahkan wajahnya terlihat memerah disertai dengan keringat yang bercucuran disana. Tapi tetap saja suara dari Drum yang dipukulnya terdengar menarik dan tidak asal-asalan. Seperti biasa Barra memang ahli dalam hal pukul memukul.   "Gara-gara lo nih." kata Derry sambil menyenggol lengan Alam.   "Gue salah apa?" Tanya Alam dengan ekspresi bingungnya.   "Ngapain tadi lo bahas masalah bu Meta, dia jadi marah kan?" Kata Derry lagi.   "kok cuman gue sih yang disalahin? Kan lo juga ikutan ketawa, Yoga juga ikutan. Iya nggak Ga?" Tanya Alam.   "Lah emangnya gue kenapa? Nggak, Gue nggak ikutan. Ini itu salah lo!" Elak Yoga.   Ketiganya kembali berdebat, mempermasalahkan siapa yang sudah membuat suasana hati Barra seburuk sekarang.   "Balik yuk." kata Barra yang baru saja selesai bermain Drum. Entah sudah berapa lama ia berada di tempat ini.   "Lo udah selesai?" Tanya Derry. Barra mengangguk. Ia merapikan rambutnya dengan menggunakan jari, menyisirnya kebelakang lalu kemudian beranjak mengambil tas dan juga kunci motornya.   "Bar, sorry ya soal bu Meta." kata Alam dengan wajah melasnya.   "Iya Bar, Gue juga minta maaf. Ini semua gara-gara Alam nih pake acara ngomongin bu Meta segala." sambung Yoga. Barra menatap kedua sahabatnya dengan alis terangkat kemudian melirik Derry yang terkekeh penuh kepuasan.   "Lo berdua sakit?" Tanya Barra.   "Heh?"   Barra membuang nafas lelah "Santai aja lagi, kayak lo nggak kenal gue aja."   Barra melirik Derry lagi, lalu menatap Yoga dan Alam bergantian "Lagian, Kalian sadar nggak sih, kalau kalian itu dikerjain sama Derry?". Kata Barra sambil menunjuk Derry dengan dagu. Sedangkan Derry melepaskan tawa yang sejak tadi ditahannya. Mengerjai kedua sahabatnya ternyata tidak terlalu sulit.   "s****n Lo!" Teriak Yoga dan Alam bersamaan sambil memukul kepala Derry dengan tas milik mereka.   ***   Ditengah perjalanan pulang, Barra menghentikan laju motornya. Pandangannya menangkap seorang gadis yang sedang duduk di halte.   Dengan kembali menyalakan mesin motornya, Barra lalu mendekat ke halte kemudian menghentikannya tepat di depan gadis itu duduk.   Mendengar suara mesin motor yang berhenti di depannya membuat sang gadis mendongak.   "Naik." Kata Barra.   Gadis itu berdiri dari duduknya lalu mendekat ke Barra.   "Nggak usah kak, makasih." jawab Gadis itu sopan.   Barra melepaskan helmnya. Ia lalu menatap gadis yang ada dihadapannya dengan saksama.   “Soal ucapan gue tadi, gue harap lo nggak masukin kehati?"   "Heh?"   "Gue nggak suka liat cewek nangis." kata Barra lagi, mangabaikan ekspresi bingung yang ditunjukkan Gadis itu.   "Sekarang lo naik, biar Gue anter pulang."   "Nggak usah kak, bentar lagi jemputan aku dateng kok." Tolak Gadis itu halus. Barra terdiam sejenak.   "Terserah lo." Barra memakai kembali helmnya. Lalu melajukan motornya menjauh dari halte.   Melihat kepergian Barra membuat gadis itu sedikit kecewa karena sejujurnya sebagian dari hatinya berharap bahwa Barra akan berusaha untuk mengantarnya pulang meskipun ia menolak.   Ah.. kenapa dengan dirinya, Bukankah itu berarti bahwa dia munafik, pura-pura menolak tapi sebenarnya dia mau   Hari sudah semakin sore, dan langitpun semakin terlihat gelap. Tapi sampai detik ini sejak kepergian Barra di depan halte beberapa jam yang lalu, jemputan yang sejak tadi ditunggu oleh gadis yang ada dihalte itu masih belum datang juga. Beberapa kali ia sudah mencoba menghubungi kakaknya agar segera datang menjemputnya, tapi sampai detik ini kakaknya itu belum datang juga. sepertinya hari ini nasib gadis itu memang sedang tidak baik atau bisa di katakana hari ini bukanlah hari keberuntungannya.   "Yaudah deh jalan kaki aja." putus gadis itu akhirnya.   Walaupun sebenarnya ia bisa memesan taksi online ataupun kendaraan online lainnyan tapi entahlah, kejadian pagi ini, sedikit meninggalkan ketakutan dihati gadis itu. Ia tidak ingin memesan taksi sembarangan.   Dengan perlahan tapi pasti kaki mungilnya mulai melangkah menjauh dari halte. Ia berharap di depan sana ia bisa menemukan kendaraan atau angkutan umum untuk mengantarnya pulang.   Suara mesin motor yang berhenti tepat disamping gadis itu, membuat langkahnya terhenti. Ia menatap sang pemilik motor.   "Kamu!!!" kata Gadis itu pelan.   "Naik."   “Bentar, kamu kok bisa ada disini lagi? Bukannya tadi kamu udah pulang?” kata gadis itu. Rupanya, pemilik motor yang ada di sampingnya saat ini tidak lain dan tidak bukan adalah Barra.   "Lo mau naik apa nggak? karena gue nggak akan nawarin lagi. Jadi, kalau lo nggak mau naik, gue pergi sekarang." Kata Barra mantap. Tapi Gadis itu hanya diam.   Merasa tidak diperdulikan, Barra akhirnya menyalakan mesin motornya ia sudah bersiap untuk melajukan motornya sebelum akhirnya gadis itu mencegahnya.   "Eh tunggu!”   Barra menatap gadis itu, menunggu apa yang akan di ucapkannya. “Aku ikut." Kata Gadis itu malu, ia mendekat ke Barra kemudian naik keatas motornya.   Barra melajukan motornya ke alamat yang disebutkan oleh gadis yang sudah duduk dibelakangnya itu. Ia mengarah kesebuah rumah sederhana dengan pekarangan yang cukup luas yang terletak tidak jauh dari pusat kota.   Setelah tiba di rumah gadis itu, Barra membiarkan gadis itu turun, ia sudah bersiap untuk melajukan kembali motornya sebelum panggilan gadis itu membuatnya berhenti sejenak.   "Tunggu kak!" Barra menoleh. Ia melepaskan helmnya lalu menatap gadis yang kini menunduk dihadapannya.   "Makasih karena udah nganterin aku pulang," kata Gadis itu namun kembali terdiam.   Melihat gadis itu yang sepertinya sudah tidak ingin mengatakan apapun membuat Barra bersiap memakai kembali helmnya. Tapi lagi-lagi ia mengurungkan niatnya saat mendengar gadis yang ada dihadapannya kembali bersuara.   "Makasih juga untuk air mineralnya dan untuk pertolongan kakak di ruang ganti sekolah."   Barra hanya mengangguk.   "Mengenai ucapan kakak di sekolah tadi, aku nggak marah kok, karena dengan kakak bilang gitu, aku jadi nggak nangis lagi. Aku nggak mau dibilangin lemah. Dan satu hal yang perlu kakak tahu, cewek nangis itu bukan berarti dia lemah, tapi terkadang cewek nangis itu karena dia udah nggak tahu lagi harus berbuat apa, saat kita melawanpun, percuma."   Barra terdiam. ia menatap punggung gadis itu yang sudah berbalik dan berjalan menjauh darinya. Barra, lalu bergegas turun dari motornya. ia meraih pergelangan tangan gadis itu, hingga gadis itu berbalik menatapnya.   Barra melepaskan genggaman tangannya kemudian menatap gadis yang ada dihadapannya.   "Gue minta maaf soal ucapan gue tadi." Kata Barra. Gadis itu menatap balik Barra. ia kemudian menggeleng.   "Nggak apa-apa."   “Barra.”   “Heh?!” Gadis itu menaikkan sebelah alisnya. Bingung dengan apa yang di ucapkan laki-laki yang ada di hadapannya.   Barra tersenyum tipis lalu mengulurkan tangannya. "Nama gue, Barra. Barra Diaz Hanggono."   Gadis itu menatap tangan Barra dan wajah Barra bergantian, lalu perlahan tangannya terulur menyambut tangan Barra.   "Starla. Starla Afriani."   Keduanya saling berjabat tangan. saling memandang satu sama lain. Membiarkan telapak tangan mereka bersentuhan cukup lama. Entah apa maksud Tuhan dengan perkenalan mereka hari ini. tapi yang pasti, setelah hari ini, akan banyak yang berubah. Kehidupan keduanya tidak akan pernah sama lagi.   TBC..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD