01. Penghianatan

713 Words
Voment please..... Happy reading..... Seorang wanita keluar dari taksi dengan kaca mata hitam yang bertengger di atas kepalanya. Sudut bibir wanita itu tertarik tatkala menghirup udara Jakarta yang memang tidak sebersih saat Ia tinggal dulu, semua yang ada di sini Ia rindukan. Matanya menatap sebuah rumah besar yang menjadi tempat Ia pulang ke dua selama ini karena Dia adalah gadis yatim piatu sejak Dia duduk di bangku SMA awal. "Ada apa di rumah ini?" gumamnya, dengan langkah pasti Dia masuk ke pekarangan rumah yang luas itu. Banyak orang yang menatapnya kagum, pasalnya gadis dengan surai pirang alami itu memakai pakaian casual sederhana namun tetap anggun. Sakira Alora, gadis itu menaikkan satu alisnya saat pendengarannya menangkap suara yang menyebut nama kekasihnya. "Arlan Ramos, apakah kau menerima dan mencintai Vanesa Zavani sebagai isterimu? Baik suka maupun duka? Susah maupun senang hingga maut memisahkan kalian?". "Saya Arlan Ramos menerima Vanesa Zavani sebagai isteri saya baik suka maupun duka, susah maupun senang hingga maut memisahkan kita." Sakira memegang dadanya yang terasa nyeri dan sakit namun sama sekali tidak berdarah. Sakira, gadis itu menatap kosong ke arah seorang lelaki bertuxedo yang sama sekali tidak berat mengucapkan janji suci. Satu air mata lolos saat sang wanita selesai mengucapkan janji sucinya. Suara tepuk tangan para orang yang menyaksikan acara sakral itu bahkan seolah lenyap dari pendengaran Sakira. Dan mata hitam itu akhirnya menyadari ke hadiran Sakira, sialnya air mata tidak bisa berhenti meski berulang kali Sakira menghapusnya dengan kasar. Sakira mengepalkan tangannya. "Sakira!" teriak Arlan sang mempelai pria. Sakira menjadi pusat perhatian. Sakira memutuskan untuk pergi dari acara yang menyesakkan itu bagi Sakira. Dengan langkah lebar Arlan mengejar Sakira yang sudah membuka pintu taksi. "Sa, Sakira dengarkan Aku dulu. Sa please!" Arlan menggedor kaca taksi. "Pak jalan!" pintanya pada supir taksi dan dengan itu taksi berjalan. Tidak hiraukan Arlan yang mengejar taksinya, Sakira akhirnya bisa menangis. Bahkan Sakira dapat melihat Arlan yang bersimpuh di jalan dan memukul-mukulkan tangannya pada kerasnya aspal jalan. "Nona kita mau ke mana?" tanya supir taksi setelah 30 menit mereka berkeliling. Sakira tersenyum. "Maafkan saya Pak." sang supir taksi tersenyum maklum. "Tidak apa Nona." setelah Sakira menunjukkan alamat apartementnya yang baru, Sakira dapat tenang. **** Sakira menghempaskan tubuh ke ranjang apartementnya yang cukup luas. Beberapa kali Sakira menghembuskan nafas kasar namun dadanya masih terasa nyeri. "Jam 5 sore." ucapnya. Sakira terbilang wanita tegar karena setelah ke jadian itu Dia masih sanggup tersenyum setidaknya sedikit. Sakira memutuskan datang ke sebuah tempat yang sama sekali tidak pernah Ia datangi seumur hidup, Club malam. Sakira masuk ke dalam kamar VIP yang Ia pesan untuk waktunya menyendiri. Dia duduk di sisi ranjang dengan kepala tertunduk malam ini. Penampilannya yang simple memperlihatkan bahwa Dia gadis biasa yang tidak pernah ke tempat itu. Tapi bukan itu yang ada di pikiran Sakira, pelampiasan ke kesalannya saat ini. Sakira menatap minuman yang terlihat menggiurkan itu. "Sekali saja, agar sakitku hilang." ucapnya seolah meminta persetujuan. Sakira menegak minuman itu yang terasa aneh di dalam mulutnya, tapi Dia mau lagi. "Sekali lagi deh ya?" ucapnya. Pipi Sakira merona menandakan segelas saja dapat mempengaruhi tubuh Sakira. Satu gelas lagi kandas, hingga entahlah hampir satu botol sudah Sakira habiskan. Kepalanya mulai pening dan ocehan serta gerutuan ke luar dari bibir tipis itu. 'Ceklek' Pintu kamar Sakira terbuka dan tertutup kembali. Mata Sakira menyipit. "Kau siapa?" "Astaga!" pekik suara seorang pria. "Hey Nona ke napa Kau ada di sini?" tanyanya. Sakira tersenyum. "Kau salah kamar Tuan!" ucapnya masih sadar, meski kepalanya mulai hilang kendali dari rasa pusing yang menjalar. "Sepertinya, baiklah lanjutkan acara minummu!" pria itu hendak melangkah. Namun secepat kilat Sakira mencegah. "Temani Aku hiks hiks!" pria itu menaikkan satu alisnya mendengar permintaan Sakira. "Aku bukan pria hidung belang." ucapnya penuh penekanan. Sakira yang tertunduk mendongak, menatap iris mata bercampur biru dan hijau itu meski lampu kamar hanya berpenerangan satu lampu nakas. "Aku tahu dan Aku juga bukan wanita penggoda." pria itu terkekeh. "Sepertinya Kau patah hati eh?" tanyanya. "Bukan urusanmu!" lagi pria itu terkekeh. "Kau tidak buruk." pria itu akhirnya terduduk persis di samping Sakira. "Kau bukan peminum yang baik." Sakira mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kau bisa ajari Aku minum jika Kau peminum yang baik." tantang Sakira. "Tidak! Aku ke sini bukan untuk itu." jawabnya datar menatap ke arah wajah Sakira yang memerah karena alkohol. "Ah Kau banyak alasan, coba ini." Sakira menyodorkan gelas berisi minuman pada pria itu. "Tidak Nona!" "Bagaimana Aku bisa percaya jika Kau hebat dalam hal minum? Jika Kau tidak mau." Sakira tertawa meremehkan dengan cegukan yang terus mendominasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD