Prolog

424 Words
Alunan denting piano yang merdu, dalam simponi maha karya Beethoven-Fur Elise, menggema di rumah besar itu. Telah membuat langkah seorang gadis berumur 12 tahun, terhenti. Wajahnya yang berkeringat karena habis berlari-lari, untuk menemui Ruth, mamanya. Yang biasa membersihkan rumah yang sedang ditujunya. Dengan rasa kepenasarannya yang tinggi, gadis yang bernama Mavis ini, segera melanjutkan langkahnya. Membuka pintu samping yang langsung menuju ruang dapur, seperti biasa Ruth lakukan bila sedang bersih-bersih. Mavis mencari keberadaan Ruth, tetapi tidak ada. Tadinya ia mau bertanya dulu, siapa orang yang ada di dalam. Karena selama yang ia tahu, rumah ini kosong tanpa ada penghuninya. Ia melanjutkan langkahnya menuju ruang tengah, di mana ia tahu letak piano itu berada. Mata bundarnya membulat, saat dilihatnya ada sesosok laki-laki dewasa, sedang duduk memainkan pianonya dengan menawan. Mavis tertarik dengan gerakan jari-jarinya yang lincah, nampak terampil menekan tuts-tuts pianonya. Selama ini, ia memang sangat tertarik dengan wujud besar alat musik berwarna hitam itu. Sayangnya, ia hanya bisa menekan-nekan tutsnya tanpa arah. Sementara Ruth yang selalu sibuk merapihkan rumah, lebih banyak memarahinya, karena takut pianonya jadi rusak. Sekarang dihadapannya, ada seseorang yang dengan mahir memainkan alat musik besar itu. Ada kegembiraan di hatinya, membuat matanya bersinar sangat cerah. Sepertinya lelaki itu merasakan ada yang sedang memperhatikannya, hingga dia memutar kepalanya kebelakang. Dia terkejut, saat melihat ada gadis berambut panjang, dengan mata bundar sedang menatapnya. Untuk sesaat ia merasa terpesona dengan kejernihan matanya, sangat cantik! Batinnya. Ia memutar kembali kepalanya, tanpa senyum. Melanjutkan permainan pianonya, seolah penampakan gadis itu tak berpengaruh sama sekali. Mavis bergerak mendekati, kini ada di sampingnya. "Kakak, siapa?" "Pemilik rumah ini. Kamu siapa?" jawabnya, tanpa menghentikan pergerakan jari-jarinya untuk terus menekan tuts-tuts pianonya. "Aku Mavis, anaknya mama Ruth." tangannya dengan berani menekan beberapa tuts piano, hingga nadanya jadi tidak beraturan. "Mama selalu marah bila aku sentuh piano ini." Ada sorot mata terganggu saat menatap kembali pada gadis belia itu, tangannya berhenti bermain. "Tentu saja mamamu akan marah, bila kamu sembarang menekan-nekan tuts piano ini." ucapnya tidak ramah. "Kalau begitu, ajarin aku, Kak." tatapnya sangat berharap. "Aku tidak punya bakat untuk mengajari orang." katanya dengan ketus. Kemudian beranjak dari tempat duduknya dan pergi, masuk ke kamar utama. Mavis termangu. Mengapa laki-laki yang belum diketahui namanya itu, begitu sobong sikapnya? Sampai beberapa hari kemudian, Mavis tidak pernah berhasil membuat pemuda itu mau mengajarinya bermain piano. Ia tahu namanya Hezra. Ruth yang memberitahukannya, karena ia terus bertanya. Ruth juga yang mewanti-wantinya untuk tidak mengganggunya lagi, karena Mavis terus merengek minta diajari. Sampai Mavis menyadari kalau laki-laki itu tak pernah terlihat lagi, sampai usia dewasanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD