PART-1

2802 Words
PART-1. Aku baik-baik saja meski entah sudah berapa tahun aku tidak menangis. Aku mencoba menangis tapi tetap tidak bisa. Aku berhenti menangis sejak usiaku sembilan tahun-Gadis.   Sepuluh menit lagi waktunya pulang. Ahh, rasanya aku sudah tidak sabar bertemu pacarku-Tian. Bastian Ferdiansyah. Pacarku satu-satunya tentunya. Sebenarnya, aku sedikit heran kenapa hari ini dia sama sekali tidak menghubungiku? Ada apa dengannya? Dia hanya menghubungiku tadi pagi, saat aku sudah siap untuk berangkat kerja. Dia bilang, 'hari ini kau bawa motor sendiri ya ke kantor. Aku tidak bisa menjemput dan mengantarmu pulang’. Padahal bisasanya, dia selalu menjemputku saat berangkat dan mengantarku pulang saat waktunya pulang kerja. Jarang sekali dia membiarkanku pergi sendirian. Sejak pertama kali bertemu, sampai sekarang Tian memang sedikit possesive terhadapku. Yah, menurutku itu wajar. Kami pacaran sejak kuliah semester pertama hingga detik ini. Aku baru tiga bulan bekerja di perusahaan yang terbilang maju ini. Salah satu perusahaan terbaik di Asia. Kurasa, aku memang beruntung bisa bekerja di sini. Tiga hari setelah wisuda, aku diterima di perusahaan ini. Orang-orang bilang, aku beruntung bisa bekerja di perusahaan sebesar ini. Kuakui, mereka memang benar. Tian baru satu bulan bekerja di sini. Jangan berpikir aku yang memintanya. Tidak, aku tidak pernah memintanya untuk bekerja di satu perusahaan dengan tempatku bekerja. Tian bekerja di sini atas rekomendasi teman satu kelasnya saat SMP. Dan kalian tahu ternyata teman Tian itu adalah pewaris tahta perusahaan ini. Yap! Perusahaan di mana aku dan Tian bekerja. Dia adalah bos besar di sini. Awalnya aku bekerja pada seorang lelaki paruh baya yang masih terlihat tampan dan tentu saja berbibawa. Ya, mungkin karena dia seoraang bos besar di sini. Jadi dia terlihat berwibawa. Aku menjadi sekertaris pribadi bos besar itu. Namanya Bapak Herlambang. Sekertaris pribadinya yang dulu resign karena katanya dia sudah bosan bekerja bertahun-tahun di perusahaan ini. Aku pernah bertemu sekertaris pribadinya itu selama lebih dari sepuluh kali. Dia ramah dan sangat cantik. Aku menyukainya. Dia sendiri yang mentraining aku saat pertama kali masuk perusahaan ini. Dia mengajariku banyak hal. Dan dia sangat cerdas. Pantas saja bos menyukai kinerjanya. Saat dia rasa aku mulai mahir, dia melepasku untuk bekerja sendiri. Sedangkan dia pergi ke sebuah pulau yang dibelinya. Di sana dia ingin membuat villa dan tinggal bersama suaminya. Mempunyai peternakan yang luas dengan berbagai macam ternak. Dan tak lupa menanam berbagai macam sayuran dan buah untuk dikonsumsi sendiri. Aku bekerja dengan Pak Herlambang hanya satu bulan. Karena dia harus menyusul istrinya merantau ke pulau yang ia beli dengan istrinya. Tebakan kalian benar, sekertaris Pak Herlambang adalah istrinya sendiri. Saat ini mereka sedang menikmati hari hari mereka di sebuah pulau impian mereka. Ahh, dasar orang kaya. Aku saja tidak berani membayangkan hidup seperti itu. Walau rasanya ingin sekali. Mungkin salah satu syurga dunia adalah memiliki banyak uang dan membeli apa pun yang kita mau. Semoga kelak aku menjadi orang sukses, Ayah-Bunda. Doakan anakmu ini, ya. Sekarang aku bekerja sebagai sekertaris pewaris tunggal perusahaan ini. Awalnya, aku mengeluh bahkan sering kali aku berpikir untuk resign. Tapi setelah kupikir-pikir aku butuh banyak uang untuk membangun masa depanku sendiri. Jadi, aku harus kuat menjalani pekerjaanku. Dia adalah bos yang sangat menyebalkan. Bos yang sangat perfectionis dan sifatnya itu bisa membuatku gila. Uang, uang dan uang. Kalau bukan karena uang, mungkin di hari pertama aku bekerja dengan dia aku sudah resign. Dan dia adalah teman satu kelas Tian-pacarku. Ohhh, tidak! Dua menit lagi waktunya pulang. Aku harus segera ke toilet dan membereskan semua pekerjaanku. Atau Tian akan marah kalau menungguku terlalu lama. Bukannya dia pemarah ya, tapi siapa pun pasti akan merasa bosan kalau disuruh menunggu terlalu lama. Aku berjalan menuju kantin kantor dengan tergesa-gesa. Aku sudah sangat merindukan Tian. Sehari saja tanpamu aku hampa, Tian. "Gadis!" Seseorang memanggilku saat aku sedang asyik berjalan. Aku kenal suara itu. Ya! Dia bosku yang aku ceritakan tadi. "Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" "Kenapa kau lari-lari?" Tanya bosku itu. Ahhh, kenapa dia kepo sekali? "Saya mau bertemu kekasih saya-Tian. Di kantin kantor. Takut kalau dia menunggu terlalu lama. Jadi saya berjalan cepat agar lekas sampai." "Jangan lari-lari! Nanti kalau kau jatuh siapa yang akan bertanggung jawab?' "Emmmbbb, iya. Permisi, Pak." Dasar Dewa! Mengganggu saja! Sesampainya di kantin aku melihat Tian sedang duduk di salah satu meja di pojokan. Kelihatannya dia marah. Tapi marah kenapa? Aku merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. "Hay!" Aku menyapa Tian sambil menampilkan senyuman terbaikku. "Duduk!" katanya ketus. "Ada apa? Kenapa kau tidak menjemputku tadi pagi?" "Kau pernah pergi dengan Dewa?" Tunggu! Tunggu! Apa-apaan ini? Apa yang barusan Tian katakan? Dewa? Apa dia GILA! Ohh, ayolah, Tian. Bukankah selama ini kau selalu mengantarku kemana-mana? "Kenapa diam? Apa jawabannya adalah IYA???" Aku masih berbicara dalam hati. Tentu saja berbicara dengan diriku sendiri. Aku menghembuskan napas berat. Ya Tuhan! Apalagi ini? "Apa yang sedang kau bicaraka, Sayang?" "Semua orang tahu kalau kau dan Dewa sering pergi bersama. Banyak yang mengatakan hal itu." "Dan kau percaya?" Aku mulai kesal. Netraku melihat seseorang duduk membelakangi Tian. Dia memakai jeans hitam, jaket dan topi baseball dari merk  yang begitu terkenal. Aku tak peduli siapa dia. Pikiranku kacau. "Iya." Tian melihatku dengan tatapan tajam. Jelas sekali dia sedang marah. Padahal,, saat dia marah dia terlihat lebih sexy dan mempesona. Apa yang kau pikirkan, Gadis! Ini bukan waktu yang tepat untuk mengaguminya. "Siapa yang bilang?" "Banyak! Dan aku percaya. Aku tidak menyangka kau bisa serendah ini! Kau selingkuh di belakangku. Aku tahu kau bekerja demi mencari uang. Mencari masa depan yang lebih baik. Tapi aku tidak menyangka kalau kau menjual dirimu demi U.A.N.G!" Tian menekannya setiap huruf saat menyebut kata uang. "Yang aku dengar, kau juga tidur dengan Dewa! Selama empat tahun pacaran aku belum pernah sekali pun menyentuhmu! Bahkan untuk sekedar menciummu, kau tidak mengijinkanku! Tapi, sekarang kau malah tidur dengan Dewa! Bos kita! Demi UANG!" Tian benar benar marah sekarang. Mungkin dia sudah menyimpan amarahnya selama sebulan terakhir. Mungkin selama sebulan terakhir dia dihasut orang-orang disekitarnya. Aku sih maklum. Aku sering menghadapi kasus seperti ini. Aku tersenyum melihat Tian. Dan amarahnya sedikir mereda setelah ia mengeluarkan unek-uneknya. Sepertinya dia bingung kenapa aku malah tersenyum. "Kau percaya dengan mereka? Oke, aku tahu itu. Aku pacarmu dan kau malah lebih percaya pada orang lain di banding aku. Itu bagus. Aku juga tidak menuntutmu untuk percaya padaku. Berapa tahun kita pacaran?" "Empat tahun." Tian mulai bingung dengan sikapku. Aku masih tenang menghadapi dia meskipun hatiku sakit. "Terima kasih karena kau masih mengingatnya. Empat tahun ini aku selalu percaya padamu. Karena hubungan yang dibina atas dasar kepercayaan itulah yang akan bertahan seumur hidup." "Awalnya aku percaya padamu. Tapi..." aku sengaja memotong perkataan Tian karena aku sudah malas berhadapan dengan dia. "Tapi karena mereka kau akhirnya tidak lagi percaya padaku? Tidak apa, aku paham. Aku tidak pernah mau ciuman denganmu karena aku berkomitmen akan memberi bibirku pada suamiku kelak. Dan kau tahu itu. Aku juga sudah berjanji padamu, kalau kita menikah nanti, aku dulu yang akan menciummu. Empat tahun saja tidak akan cukup untuk kita saling percaya satu sama lain?" "Sayang, aku minta maaf." Tian mulai menangis. Sepertinya dia mulai paham apa maksudku. Kantin kantor mulai sepi. Menyisakan aku, Tian, dan seorang pria yang duduk membelakangi Tian serta beberapa pegawai kantin. "Apa mungkin aku memberikan tubuhku untuk orang yang tidak aku kenal? T.I.A.N aku memang sangat menyukai uang. Tapi bukan berarti aku tergila-gila dengan benda itu. Bukan berarti aku menjual tubuhku untuk orang yang belum aku kenal. Bukan berarti aku menjual harga diriku aku demi U.A.N.G.!" Aku sudah berbicara sangat panjang. Dan lihatlah Tian mulai terisak. Aku heran, apa dia tidak malu menangis di depan umum? Dasar cengeng! "Aku benar-benar minta maaf, Gadis. Maafkan aku, please!" Ohh, ayolah. Masih pantaskah dia bersamaku? Setelah kalimat menyakitkan yang dia ucapkan barusan? Jawabannya, tentu saja tidak. Tian menggenggam kedua tanganku. Aku spontan menariknya. Ahh, bahkan tanganku saja menolak disentuh olehnya. "Ohh, ayolah, Tian aku sudah memaafkanmu sebelum kau memintanya. Kau pasti sudah tahu itu, kan?" Aku tersenyum sangat manis di depan Tian. Bisa jadi ini senyuman terakhir dariku untuk dia. Dan Tian kali ini benar-benar paham dengan senyumanku barusan. "Kau tahu, ‘kan? Kalau kau adalah pacar pertama sekaligus cinta pertamaku. Aku ingin mengucapkan terima kasih karena selama ini sudah menemani, menjaga atau bahkan mencintai aku. Aku akan mengembalikan semua yang sudah kau berikan padaku. Aku tidak mau merasa hutang budi padamu. 24 jam dari sekarang, akan aku kembalikan apa yang dulu pernah kau berikan padaku." Aku menjeda ucapanku. "Kecuali satu hal. Dulu kau pernah mencium pipiku, aku tidak akan mengembalikan yang satu itu!" Aku berdiri dari kursi dan Tian mencekal tanganku. Spontan kutarik tanganku dan melepaskan cekalannya. Aku berjalan cepat menuju parkiran motor dan kudengar seperti ada seseorang yang jatuh. Kurasa itu Tian. Karena aku mendengar suara Tian mengaduh kesakitakan. Beruntung aku tidak melihat Tian saat keluar dari gedung kantor. Kulajukan motorku dengan kecepatan tinggi. Jalanan masih lumayan padat meski sekarang waktu sudah pukul 18.00 Wib. Enam puluh menit berbicara panjang lebar dengan Tian membuatku kelaparan. Aku berhenti di sebuah cafe yang lumayan dekat dengan kostku. Cafe itu memang minim pencahayaan. Sepertinya cafe ini memang di desain untuk muda-mudi yang sedang kasmaran. Aku duduk di meja kosong di pojokan cafe. Waiters datang dengan daftar menu yang ia dekap di dadanya. Setelah menulis beberapa menu yang kupesan tadi, waiters itu pergi meninggalkanku sendiri. Dadaku masih terasa sangat sesak mengingat apa yang dikatakan Tian tadi. Aku ingin sekali menangis tapi air mataku tidak bisa keluar. Napasku terengah-tengah seakan aku baru saja lari dari jarak satu kilometer. Lelah sekali rasanya. Aku meghembuskan napas berat. Waiters datang membawa pesananku. Kumulai makan malamku dengan meminum sekidit jus alpukat terlebih dahulu. Kemudian aku memakan nasi dan kepiting ukuran besar dengan lahap. Karena perutku memang sangat lapar. Setelah nasi dan kepitingku tandas kulanjutkan aksi makanku dengan menyantap sepuluh buah kue moachi yang sengaja aku pesan. Lalu lanjut dengan black forest, waffle dan ice cream. Yang terakhir adalah tentu saja aku meminum jus apukatku hingga tandas. Perutku benar-benar terisi penuh. Bahkan aku sekarang kekenyangan. Butuh waktu sekitar 150 menit untuk menghabiskan semua makanan yang ku pesan tadi. Sekarang sudah hampir jam sembilan malam. Aku memanggil waiters untuk menanyakan berapa tagihanku. Pasti banyak sekali. Ahh, biarlah aku tak peduli berapa tagihanku karena sekarang aku benar-benar sedang pusing memikirkan perkataan Tian tadi. "Berapa, Mbak?" Aku bertanya pada waiters cantik di hadanpanku. "Delapan ratus ribu, Mbak." Kata waiters cantik itu. Tepat sesuai dugaanku. "Tapi, sudah dibayar, Mbak sama orang yang mengaku sebagai pemuja rahasia anda. Yang pasti bukan BASTIAN atau Tian mantan pacar anda." Aku sedikit kaget mendengar apa yang barusan dikatakan oleh waiters itu. Siapa juga yang ngefans sama perempuan miskin seperti aku? Tidak mungkin ada yang sudi melakukannya. Aku tidak mau memikirkan hal itu sekarang. "Oke, mbak waiters yang cantik, Terima kasih banyak. Kalau orang yang mengaku sebagai pemuja rahasia itu datang lagi, tolong sampaikan terima kasih saya pada orang itu. Kalau begitu saya permisi dulu, Mbak." Aku pergi meninggalkan waiters cantik itu menuju tempat di mana aku memarkirkan motorku. Aku sengaja berlama-lama di cafe karena aku tahu Tian pasti menyusulku ke kost. Dan ini hampir jam sembilan malam. Pasti Tian sudah diusir oleh ibu kost. Sesampainya di kamar kost, aku langsung melepas seluruh pakaianku. Menuju kamar mandi yang memang berada di dalam kamar kostku. Kamarku seperti rumah kontrakan minimalis. Satu kamar dengan fasilitas dapur, ruang tamu,kamar mandi dan kamar tidur. Setelah selesai mandi, aku berganti piyama berwana ungu muda dengan taburan bunga mawar diseluruh bagian piyamaku. Tanganku terulur mengambil beberapa kardus bekas di dekat dapur miniku. Aku mulai menata dengan rapi semua barang yang pernah Tian berikan padaku. Total ada tujuh kardus berukuran besar berisi barang-barang dari Tian. Aku tidak menyangka punya kardus bekas sebanyak ini. Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat aku selesai menata semua barang pemberian Tian. Setelah semuanya beres, aku membuka catatan lamaku. Catatan itu berisi agenda saat aku jalan dengan Tian. Dan yang paling penting dari catatan itu adalah jumlah rupiah yang dikeluarkan Tian selama empat tahun bersamaku. Mataku sampai perih menahan kantuk. Tapi ini harus selesai malam ini juga. Akhirnya aku selesai menghitung total rupiah yang Tian keluarkan selama ini. Dan totalnya adalah lima belas juta. Uangku tidak akan cukup untuk membayar semua tagihan ini. Aku cuma punya uang sepuluh juta saja. Aku berpikir keras. Dari mana aku bisa mendapatkan uang lima juta dalam waktu semalam? Aku mengirim pesan singkat kepada seorang teman lamaku. Aku memintanya untuk mentransfer uang sebesar lima juta dan kalau bisa malam ini juga. Tiga menit berlalu. Aku menerima balasan dari temanku. Isinya adalah struk resi transfer yang telah berhasil. Ohh, God! Syukurlah akhirnya aku bisa dapat uang juga walau statusnya adalah hutang. ** Aku bangun jam lima pagi, maasih terlalu pagi sebenarnya. Aku memesan taxi online untuk datang ke rumah kostku. Tiga puluh menit berlalu. Aku sudah siap dengan pakaian kerjaku. Rapi dan menawan. Lekuk tubuhku memang indah. Seindah gitar Spanyol. Siapa pun pasti tertarik dengan tubuhku ini. Tapi, aku justru minder dengan ukuran dadaku yang bisa dibilang besar. Saat aku keluar dari kamar kostku. Supir taxi online sudah menunggu di depan kostku. Aku meminta bantuan supir untuk memasukkan kardus-kardus itu kedalam mobil. Perjalanan menuju kantor tidak butuh waktu lama karena ini memang masih pagi dan jalanan masih lengang. Sesampainya di depan kantor, hanya ada security dan... Tunggu! Bukankah itu Pak Dewa? Ya! Dewa pemilik perusahaan ini. Apa yang dia lakukan sepagi ini di kantor? Sudahlah. Bukan urusanku juga. Aku meminta supir untuk mengeluarkan kardus-kardus itu. Kemudian membayar jasa taxi online kepada pak supir yang ramah itu. Tiba-tiba.. "Gadis, apa yang kau lakukan di sini? Ini masih terlalu pagi." Pak Dewa mulai kepo. "Tidak apa-apa, Pak. Saya jelaskan nanti. Sekarang saya sedang sibuk." Aku mulai mengangkat satu kardus yang ukurannya memang besar. Sial! Aku kuwalahan mengangkatnya sendiri. Ini benar-benar berat. Kuletakkan lagi kardus berat itu. Pak Dewa mendesah. "Kau yakin akan mengangkat kardus-kardus ini sendiri? Sayangnya, saya tidak yakin. Tunggu di sini. Saya akan membawanya." Pak Dewa mengangkat kardus yang kubawa. Dia meletakkannya lagi di lantai. "Tidak usah repot-repot, Pak. Saya bisa sendiri." "Mau kau kemanakan semua kardus ini? Ke ruanganmu?" "Tidak, Pak. Mau saya bawa ke ruangan Bastian. Lantai dua puluh lima." Pak Dewa tidak merespon kata-kataku. Dia malah berjalan mendekati security dan entahlah apa yang mereka bicarakan. Aku mulai mengangkatnya lagi. Pak Dewa datang bersama dua security. "Mereka yang akan bawa kardus-kardus ini ke ruangan Bastian. Saya pastikan semuanya aman. Sekarang kau bisa ke ruanganmu." "Terima kasih, Pak. Maaf merepotkan." Setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Dewa dan dua security yang membantu mengangkat kardus-kardus itu aku berjalan menuju lift. Lagi-lagi aku harus berhadapan dengan pak Dewa. Satu lift bersama bos sendiri membuatku tidak nyaman. Tapi apa boleh buat. Justru aku bisa meminta bantuannya lagi sekarang. "Pak, saya boleh minta tolong lagi ?" Aku memberanikan diri bicara dengan atasanku itu. "Minta tolong apa, Gadis?" Aku membuka tasku dan mengekuarkan amplop berisi uang lima belas juta beserta catatan di dalamnya. "Tolong berikan ini kepada Bastian. Bapak teman Bastian waktu SMP 'kan?" Aku menyodorkan amplop itu kepada pak Dewa dan dia menerimanya. "Ini apa, Gadis?" Ohh, Tuhan dia kepo lagi. "Itu uang lima belas juta, Pak. Dan ada catatan di dalamnya." Pak Dewa baru akan bertanya lagi tapi urung karena aku sudah berbicara dengan seseorang ditelepon. "Pagi, Gadis. Hoaaam!!!! Aku masih sangat mengantuk!" Kayla berbicara dengan suara serak khas bangun tidur. Sepertinya, dia masih di atas kasur. "Iya, pagi, Kay. Ada apa pagi-pagi menelepon?" "Nanti sore hangout, yuk." "Hangout? Maaf, aku tidak bisa." "Kenapa?" "Aku......" lidahku kelu. "Aku tidak punya uang, Kay." "Semalam kau meminjam uang lima juta pada Rizal? Untuk apa?" "Apa Rizal mengadu?" "Iya." "Aku memutuskan hubunganku dengan Bastian," untuk beberapa alasan, aku memang harus mengatakan semuanya pada Kayla. "Aku ingin mengembalikan semua barang yang pernah dia berikan padaku. Termasuk uang yang dia keluarkan untuk membayar makan, tiket nonton atau apa pun. Semuanya sudah aku total semalam. Selama empat tahun totalnya lima belas juta. Aku hanya punya uang sepuluh juta. Dan sisanya, aku meminjam dari Rizal." "Apa kau serius?" "Kenapa aku harus berbohong? Katakan padaku apa untungnya aku berbohong padamu? Kau tahu, Kay” Aku menjeda ucpanku. “aku selalu mencatat berapa banyak uang yang Tian keluarkan. Aku tidak mau berhutang apap un padanya." "Iya, aku tahu. Pertanyaannya, apa sekarang kau masih punya uang?" "Ada kok, Kay. Aku lapar, nanti kuhubungi kau lagi." "Nanti aku ke kantormu." "Oke! Kau mau ke sini jam berapa? Aku akan meminta ijin pada atasanku untuk menemuimu. Oh, satu lagi. Hati-hati di jalan. Aku tidak mau kau kenapa-napa!" "Iya-iya, ibu Guru. Hahaha." Kayla tertawa renyah. Tut...tut....tut.... Aku membuka tasku kemudian memassukkan ponselku ke dalam tas. Aku melirik dompetku dan membukanya. Ahh, inggal seratus ribu saja. Gajian masih lama. Tiba-tiba aku merasa sangat sedih. Uang tabunganku habis dalam hitungan menit. Ya Tuhan, mau makan apa aku dalam sebulan nanti? Jangan biarkan aku mati kelaparan, Tuhan. Kumohon!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD