1. 10 tahun yang lalu

2086 Words
Waktu itu, gue masih duduk di bangku TK. Rambut kucir kuda dengan pipi tembem dan gigi ompong bagian depan. Ceritanya, di jaman TK ini gue selalu dijajah. Apa pun yang gue bawa, selalu direbut mereka. Cowok-cowok ingusan yang salah satu di antaranya cowok paling gue…taksir. “Si Ompong datang, hahahaha!” Hinaan itu selalu menyertai ke mana pun kaki gue melangkah. Ibarat doa, mereka selalu ngucapin itu setiap ngeliat keompongan gue. “Si ompong, jelek, bau, hitam hiiiiiii!” Hinaan yang bikin gue… terasingkan. Gue selalu pulang dengan air mata, selalu ngadu ke orang tua kalo gue dikatai ompong, jelek, bau, hitam! Tapi, bokap nyokap cuma bisa bilang. “Yaudah jangan nangis, nanti kalo udah besar kamu pasti jadi anak yang cantik.” Bohong  banget. Kecil aja udah hancur begini, apalagi nanti? “Si ompong datang huahaha!” cowok ganteng itu selalu menghina gue.  Tapi, ntah kenapa gue nggak pernah bisa marah. Gue cuma bisa nunduk dan diam. Nggak membalas. “Si ompong pipis di celanaaaa iiihh nggak maluuu!” Emang memalukan, gue nggak bisa nahan pipis jadinya gue pipis dicelana. Besoknya nama belakang gue bertambah buruk. “Si ompong tukang pipis di celana!!!" Masa TK gue, emang benar-benar buruk. Belum lagi, di rumah gue selalu dapat ejekan dari cowok ganteng itu. Ternyata dia itu tetangga baru gue. Dan hinaan itu selalu menyertai setiap gue dan dia bertatap muka. Baik itu dari jendela kamar yang berhadapan, balkon yang bersebelahan dan kamar mandi yang juga bersebelahan. “Ih giginya ompong yaaaaa hahahahah!” “Maaaaa, lupin dikatain ompooong!” teriak gue ke Mama yang lagi jemur pakaian di halaman belakang. Cowok itu langsung kabur dan akhirnya gue selalu manggilin mama kalo dia ngejekin gue. “Dasar pengadu, tukang pipis di celana,  hahaha!” teriaknya dari jendela kamarnya yang berjarak satu meter. Gue nggak membalas dan malahan gue tersenyum ke arahnya menunjukkan gigi ompong gue. Gue lihat dia langsung kabur dan teriakin mamanya. “Maaaa, ada setan ompoong!” Kurang ajar. Sejak dia bilang gue setan ompong, gue nggak pernah lagi mau senyum di hadapan dia.Gue cuma mau senyum di depan cermin. Mematut diri hari demi hari sampe sepasang gigi putih bersih muncul. Gue bersorak senang. Cowok itu pasti nggak akan takut lagi sama gue. Atau yang lebih baik dia nggak akan bilang gue ompong lagi. Hari memamerkan gigi itu tiba, dia membuka jendela kamarnya. Gue tiba-tiba nongol dari balik jendela dan unjuk gigi. Dia menatap sebentar lalu kabur. “Maaa ada setan boneeeeeng!!!” Kurang ajar, hiks. Gue ngaca lagi dan ternyata gigi gue emang maju ke depan. s****n! Besoknya gue janji nggak akan mau ngisap jempol lagi. *** Menginjak SD, gue masih tetap jadi cewek yang jelek. Rambut kucir kuda, gigi boneng, dan kulit hitam dekil. Dan cowok itu, makin ganteng dengan rambut hitam tebalnya. Waktu di kelas, setiap murid wajib memperkenalkan diri. Saat gue maju, semua murid cekikikan dan berbisik kalo gue cewek paling jelek di kelas. “Nama saya…Lupin Kannia, saya_” “Tukang pipis di celanakaaan? Huahahahah!” suara itu, jelas milik si ganteng. Tapi, gue cuma bisa nunduk lalu kembali duduk. Mencoba nggak mendengar suara tawa dari seisi kelas untuk gue. Masa SD gue yang masih pagi nggak akan pernah cerah! *** “Pagi boneeeeng!” pagi ini cowok itu memamerkan gigi putihnya ke gue. Bikin gue iri. “Coba kalo kamu sering senyum, kamu pasti cantik!” katanya lalu pergi menyandang tasnya masuk ke dalam mobil sedan putih milik keluarganya. Di halaman rumah, gue tertegun lama. Mungkin dia benar? Setelah itu, gue mulai senyum dari mulai masuk mobil,keluar dari mobil, sampe ke sekolah. Apa yang terjadi? “Iiihhh giginya boneeeeng!” “Iiiiihhh jadi ini yang namanya setan boneng???” “Ih jelek banget senyumnyaaa!” “Iiiih,takuuuut!” Hinaan itu meluncur tepat disaat gue memasuki kelas. Gue melihat sekeliling dan disana, ada si ganteng, menonton gue dengan seringai iblisnya. Gue tau, gue udah termakan jebakannya. Ternyata dia ingin mempermalukan gue. s**l. Menginjak usia 10 tahun. Ntah apa yang terjadi, gue makin gendut dan menjadi anak terpendek dan terbesar di kelas. Dan beruntungnya gue nggak sekelas dengan si ganteng. Kalo gue sekelas dengannya, gue pasti bakalan malu karna terus-terusan di buli oleh teman-teman sekelas gue. Setiap pulang sekolah, cewek-cewek gila itu akan membawa gue ke tengah lapangan lalu menyiramkan kodok ke sekujur tubuh gue sampe seragam sekolah gue kotor penuh lumpur. Bisik-bisik tetangga, gue baru tau kalo dalang dibalik semua itu, si ganteng. Madielo Iskand. Dilo, cowok yang gue taksir dari TK-SD-Sekarang. Nggak tau kenapa, apapun perlakuannya nggak bisa bikin gue marah dan benci. “Hahahaha!” Dilo tertawa puas melihat baju gue yang penuh lumpur juga kodok yang berlompatan di sekitar gue. Kejam tapi gue nggak bisa marah! “Kamu kok jahat banget sih?” gue dengar suara seseorang yang tiba-tiba menunjuk-nunjuk Dilo. Cewek berambut ikal pendek dengan baju kusam. “Siapa kamu?” tanya Dilo heran. “Aku Gita. Anak baru di kelas 6, kamu kok jahat banget sih sama dia? Kalau berani ayo berantem ama aku aja! Biar ku potong burungmu!” katanya yang langsung bikin Dilo bungkam. Dilo mengernyit lalu tiba-tiba lari ntah kemana. “Kamu nggak apa-apa? Ih bau banget sih?” katanya sambil menutup hidung. “Hmmm…huhuhuh.” Gue cuma bisa nangis sampe ingusan. Akhirnya, Gita nganterin gue pulang karna katanya rumah gue dan dia satu arah. “Ini rumah kamu?” tanyanya setelah sampai di depan pagar rumah gue. “Iya, rumah kamu dimana?” tanya gue. “Ini rumahku, wah…ternyata rumah kita sebelahan!” teriaknya surprise. Gue mendongak dan melihat rumah di sebelah gue. Oh iya, rumah itu udah lama nggak di tempati. Jadi, dia penghuni barunya. “EH, KAMU! NGAPAIN KAMU DISINI?” teriak seseorang dari belakang gue dan Gita. Dilo berdiri menantang di depan pagar rumahnya. Dengan tangan diatas d**a dia menatap kami berdua dengan tatapan singa yang siap menerkam. “Dia siapa sih?” bisik Gita ke gue. “Itu Dilo, itu rumahnya.” Kata gue sambil nunjuk rumah di sebelah gue. “Ooooh.” Angguknya pelan. “BERANINYA DI KANDANG DOANG. SINI, KALO BERANI! BIAR KU POTONG BURUNGMU!” Gita menarik gunting rumput yang tersangkut diantara pohon bongsai halaman rumahnya dan bersiap mengejar Dilo. Sedetik kemudian, Dilo sudah menghilang dari depan rumahnya sambil teriak-teriak ketakutan. “Hahahah, baru gitu aja udah takut wkwkwkwk!” kata Gita cekikikan lalu masuk ke rumahnya. Hari-hari gue agak berubah jadi lebih baik sejak kedatangan Gita. Dia selalu ngebela gue setiap Dilo melakukan penindasan terhadap gue yang lemah ini. Beberapa bulan kemudian, Dilo nggak lagi gangguin gue. Ntah karna takut burungnya dipotong Gita ntah karna dia udah tobat. Tapi, ntah kenapa gue merasa kehilangannya… Kangen dengan suaranya yang selalu menghina gue… Kangen dengan tawanya yang iblis tapi imut bagi gue… Akhirnya, terciptalah surat cinta ini… Dear Dilo… Kau bintang di hatiku… Sinari setiap hariku… Kau matahariku… Maukah kau jadi pangeran kuda putihku? Seminggu, gue menunggu balasan itu tapi tak kunjung terbalas. Sampe akhirnya, gue sadar kalo gue jatuh cinta sendiri. *** Hari ulang tahun gue tiba. Gue mengundang semua warga di g**g rumah gue. Juga seluruh murid di sekolah. Ulang tahun ke 10 yang dalam bayangan gue akan benar-benar sempurna. “Udah cantik kok. Nggak usah ngaca lagi,” Kata Dilo dari jendela kamarnya lalu pergi. Gue menatap cermin dan ada rona merah dipipi gue. Ih Dilo muji gue? Satu demi satu teman-teman datang mengucapkan selamat ulang tahun ke gue. Sampe akhirnya Dilo datang menyodorkan sebungkus kado ke gue. “Selamat ulang tahun. Kadonya buka sekarang aja,” kata Dilo sambil tersenyum manis. Gue mengangguk nafsu lalu membuka kado itu. Taraaa~ sebuah boneka kelinci imut tersenyum ke gue. HUWAAAA, DILO KASIH BONEKA! Gue nyegir lebar ke arahnya. Dilo langsung dikelilingi teman-teman cowoknya dan mereka bertanya-tanya kenapa sekarang dia baik ke gue. Dilo Cuma balas dengan senyuman. “Pencet perutnya,” kata Dilo. “Huh?” “Coba tekan perutnya,”ulangnya. Suasana mendadak hening “Tekan! Tekan! Tekan!” teriak seluruh tamu. Gue mengangguk pelan lalu menekan perut boneka kelinci itu hingga terdengar bunyi “Kikuk…”  Gue tersenyum kecil dan tiba-tiba suara lain muncul…             “Dasar boneng, gendut, jelek, bau lagi!” Hening.             “Surat cinta kamu udah aku koyak-koyak!”             Aku nggak mungkin mau punya putri sejelek kamu!             Aku nggak akan pernah mau jadi pacar kamu!            Aku nggak suka sama kamu, gendut!            Aku nggak akan pernah jatuh cinta sama kamu! HAHAHAHA!            HAHAHAHA           HAHAHAHA           HAHAHAHA Suara itu, mengisi penuh ruang pesta. Perlahan, air mata gue turun. “HAHAHAHA!” bahkan suara tawa dari semua teman-teman yang datang terdengar samar di kuping gue. Kado yang tadinya gue pikir kado yang terindah, ternyata malah jadi bom yang menghancurkan semua harapan gue. Malam itu juga,  gue duduk mematut di depan cermin. Melihat orang paling jelek sedunia. GUE! Seperti apa katanya, jelek, hitam, boneng, gendut, dan bau! Gue mencoba tersenyum manis dan hasilnya gue nyaris pingsan karna nggak tahan liat muka sendiri. Gue emang jelek banget! Tapi, dia nggak harus mempermalukan gue kayak tadi di pesta gue! Dia nggak punya hak menghancurkan semuanyaaaaaaa! Dilooooooooooooo brengseeeeeeeeek kamuuuuuuu! “DILO! KELUAR KAMU!” teriak gue sambil menggedor-gedor jendela kamarnya. Krieek Saat jendela itu terbuka, gue langsung melempar boneka kelinci itu kesana dengan sekuat tenaga. BUUUKH “Aduh!” …… "RASAIN KAMU!" teriak gue sebal. Eit. Kok bukan Dilo? Di seberang sana, berdiri seorang cowok yang seumuran Dilo menatap sebal ke gue. Ah, dia siapa sih? Huhu. Salah orang hiks. “Kamu siapa? Dilo mana?” tanya gue heran. “….” Cowok berambut pirang itu menatap gue heran. “Kamu siapa?” “Aku Danola, sepupunya. Dilo nggak ada,” jawabnya. “Ke mana?” “Nggak tau.” “Bilang ya sama dia, aku balikin bonekanya dan bilang kalo aku_” “APA?” tiba-tiba kepala Dilo muncul dari balik jendela. Ekh? Sejak kapan juga tuh anak disana. “Aku…benci sama kamu. Lihat aja, sepuluh tahun lagi, kamu akan bertekuk lutut di hadapanku. Kamu akan jatuh cinta sama aku. Dan kalo waktu itu tiba, aku pastikan aku nggak mau terima kamu jadi pacarku!” kataku menggebu-gebu. “Oh, sepuluh tahun lagi kamu akan jadi cewek paling jelek sedunia. Gigi kamu makin boneng, dan kamu pasti akan tambah hitam dan gendut. Gimana bisa aku jatuh cinta sama cewek kayak gitu?” kata Dilo dan membuat puncak kepala gue berasap. “Lihat aja, kalo aku udah besar nanti. Kamu akan tergila-gila sama aku!” kata gue lalu berbalik sombong. “Eh tunggu!” panggilnya. “AP_” BUUKKH. Belum selesai bicara, p****t boneka kelinci sudah mendarat dimuka gue. “Itu ambil. Semoga bisa jadi motivasi. Hahahaha!” teriaknya lalu pergi. Gue menunduk dengan sudut mata yang mulai berair. Ini benar-benar berakhir. Kenapa harus seperti ini? Dilo dan gue berakhir dengan permusuhan. Salah, maksud gue, dari awal dia selalu menganggap gue musuh. Dia, orang yang paling gue puja-puja, malah menghancurkan hati gue berkeping-keping. “Jangan nangis.” Suara lembut itu membuat gue kaget. s****n, gue nangis di hadapan cowok yang baru aja gue kenal. “10 tahun lagi, dia akan bertekuk lutut di hadapan kamu. Kita nggak tau apa yang akan terjadi besok, seminggu, sebulan, atau sepuluh tahun lagi.” Katanya sambil tersenyum manis. 10 tahun lagi? Mungkinkah…gue bisa menakhlukannya? *********** Pagi yang cerah. Beda dengan hati gue yang mendung. Disana,dihalaman rumahnya, Dilo asik bermain basket dengan Danola. Cowok bule yang ntah sejak kapan ada dirumahnya. Katanya sih sepupunya dari Jerman. Danola punya senyum yang hangat. Kalo udah besar nanti, dia pasti ganteng banget. “Dilo sayang, yuk kita pergi!” suara Mamanya Dilo membuat lari kecil Danola berhenti. Pergi? Dilo mau pergi? Ke mana? “Pin, Pin, Pin! Anak yang mau aku potong burungnya itu mau pergi loh ke Jerman!” teriak Gita mengangetkan. “Hah? Ke Jerman?” “Iyaaaa! Bagus kan? Biar nggak ada lagi yang gangguin kamuuuu! Hahhaa!” Gita nampak senang. Gue kembali memusatkan perhatian gue ke Dilo. Di sana, Dilo buru-buru masuk ke rumah lalu keluar dengan membawa tas sandang juga koper kecil. Dilo beneran mau pergi ke Jerman? Jalan-jalan aja? Atau…? “Eh, Pin kamu mau ke mana?” teriak Gita ikut turun mengejar gue yang berlari menuju halaman rumah Dilo. “HEI, KAMU!” teriak gue ke Dilo. Dilo menoleh malas-malasan. Huh, kenapa sih dia itu? “Ada apa cewek boneng?” serunya nggak minat. Bisa nggak sih dia sopan sedikit? “Kamu, mau…ke mana?” tanya gue pura-pura nggak perduli. Terus, kenapa gue tanya ya? “Ke Jerman,” jawabnya jutek. “Oh. Berapa lama?” tanya gue lagi. Dia mengangkat satu alisnya. “Selamanya. Kenapa?” jawabnya. Dan detik itu juga gue ngerasa…hampa. Gue seolah jatuh ke dalam jurang yang tak berujung. Dilo mau pindah ke Jerman, selamanya? Selamanya? Selamanya? “Oh. Baguslah!” kata gue sambil melipat tangan diatas d**a. Gue juga nggak liat ke arahnya. Gue takut, takut nangis. Guekan suka dia! Apapun yang terjadi malam tadi, gue nggak pernah merasa membencinya. Nggak pernah. Tin tin tiiin. Bahkan sampai suara klakson mobil berbunyi, suara pintu mobil ditutup dan sampai suara mobil itu terdengar menjauh, gue nggak melihat kesana. Gue membuang muka ke arah bunga matahari yang ada diseberang jalan. Lalu, ntah kenapa, disaat suasana hening, gue berpaling mencari-cari sosok Dilo. Dia udah nggak ada. Dia udah pergi. Dia pergi dan nggak akan pernah kembali. Gue merengut sebal dengan air mata yang turun dari sudut mata gue. Sampe akhirnya, Gita menepuk pundak gue. “Kamu…beneran suka ya sama dia?” tanyanya. ….. “Lupin! Kamu nggak boleh suka sama dia! Dia udah jahat banget tau sama kamu!” kata Gita sambil mengguncang-guncang tubuh gue. “Yaudah, dia juga udah pergi kok. Untuk selamanya.” Kata gue tersenyum samar. “Dia pasti pulang kok. Dia bilang, sepuluh tahun lagi dia akan pulang kesini.” Suara Danola membuat gue tersentak. “Apa?” tanya gue. “Jangan nangis. Sepuluh tahun lagi. Itu nggak lama kok.” Kata Danola lalu masuk ke rumah sambil menimang bola basketnya. “10 tahun itu lama dan kamu nggak mungkin nunggu cowok yang udah nolak kamu mentah-mentahkan???” tanya Gita sambil bertolak pinggang. “Aku akan nunggu dia!” kata gue. “Kamu gila ya?” “Aku akan nunggu dia bertekuk lutut di hadapanku! Sepuluh tahun lagi, kamu akan mati ditanganku Madielo Iskand! Kamu harus terima balasan atas apa yang udah kamu lakuin ke aku di hari ulang tahunku! Liat aja!” kata gue menggebu-gebu. Iya, hari itu, gue janji, gue akan nunggu dia pulang. Pulang untuk bertekuk lutut dihadapan gue. Dia akan mengemis-ngemis meminta gue untuk jadi Puterinya. Lihat aja nanti!                                                                 ★★★
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD