Monday Sucks

1996 Words
"David, nanti kamu ikut arisan ya sama Nenek." David yang baru saja menjatuhkan b****g pada salah satu sofa di ruang keluarga mengernyit kaget begitu mendengar ucapan Neneknya. Yang benar saja. Dari dulu David kesal sekali kalau diajak ke acara yang sekedar haha hihi untuk sang Nenek, David bosan melihatnya. "Lagi?" Amru tidak peduli dengan reaksi David,  perpaduan terkejut dan tidak habis pikir. Perempuan tua itu masih asik membuka berkas-berkas yang berisi setumpukan laporan akhir bulan para anak buahnya. Sial! David mendesis dalam hati. Selalu saja seperti itu, Neneknya akan dengan mudah menyuruh David ini-itu dan tentu saja David tidak bisa melakukan apapun selain mengiyakan. "Tapi, Nek, David udah ada janji mau main futsal sama anak sekolah." "Emang itu penting? Enggak 'kan? Kamu ikut aja sama Nenek, Nenek gak akan suruh kamu macem-macem, kok. Cuman duduk aja, liat suasana gimana jadi pemimpin perusahaan. Inget, Papa kamu udah gak ada dan Nenek udah tua. Cepat atau lambat, perusahaan kamu yang megang sebagai keturunan tertua." David paling malas jika sudah bersangkutan dengan perusahaan dan segala macam yang mengikutinya. Baginya, dirinya masih sangat muda dan belum pantas memikirkan hak waris yang selalu dibicarakan Neneknya itu. Tapi apa daya, Neneknya telah jauh berperan dalam hidupnya dan itu membuat kepribadian lain terbentuk di diri David. Remaja itu menjadi kaku. Sulit mengeluarkan ekspresinya. "Terserah apa mau Nenek lah," sahut David berusaha menahan nada bicaranya agar tetap terdengar sopan. Neneknya hanya tersenyum puas seraya mengganti saluran televisinya, David yang duduk di sebelahnya pun berkali-kali menghela napas sabar menghadapi Neneknya yang selalu memaksanya tanpa jeda. "Bu Amru, jadwal bertemu klien hari ini dipercepat, klien Ibu sudah menunggu di Kantor." Wanita yang dipanggil dengan sebutan Amru itu langsung mengangguk seraya membetulkan sanggul sederhananya. "Iya, saya akan berangkat sekarang," sahut Amru seadanya dan membiarkan sekeretarisnya itu pergi. Pandangannya beralih pada David yang masih duduk bermalas-malasan, tampak kentara kalau David belum mau bangkit dari posisinya. “David?” “Hm?” “Kamu dengar ‘kan tadi apa kata sekretaris Nenek?” “Dengar.” "So, what are you waiting for? Buruan ganti baju.” David mendengus pelan seraya bangkit dari tempat duduknya tanpa menjawab sepatah kata pun perintah dari Amru tersebut. Tanpa niat, sepasang kaki jenjang milik remaja itu membawa tubuh jangkungnya naik ke lantai dua di mana kamarnya berada. David tidak terkejut begitu sampai di lantai dua sudah ada pegawai rumahnya yang memberikan jas semi formal berwarna hitam untuk dipakainya, tandanya Amru sudah menyiapkan kalau hari ini David harus benar-benar pergi. Bagaimana pun, Amru sudah terlalu jauh masuk ke dalam kehidupan David. Knock knock. David memutar sepasang bola matanya, kepalanya menoleh ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup. “Can you just wait? Don’t make a fuss in front of my room!” "Is that how you talk to me?” David yang sedang memakai sepatunya hanya bisa menahan napasnya sebentar sebelum akhirnya bergerak menuju pintu kamarnya ketika dirasa dirinya sudah siap. “Maaf, aku kira—“ Amru hanya mengangkat tangannya, tanda dia tidak mau mendengarkan penjelasan David. “Lain kali bergerak lebih cepat, jangan buat klien menunggu lama.” Tangannya bergerak menyentuh jambul David yang sebenarnya sudah bisa dibilang cukup rapi. “Rambut kamu kurang rapi ini.” David ikut menyentuh rambutnya, tidak mau Amru merubah seluruh tatanan rambutnya. “Sudah rapi, Nek.” Amru menggelengkan kepalanya pelan lalu menyangkutkan tangannya di lengan milik David, beriringan dengan cucunya menuruni anak tangga yang membawa mereka ke lantai dasar kediaman mewah Amru.                                                                                                                                                    o0o "Alana, jangan diambilin terus!" Tangan Alana yang sedang memegang tempe gembus itu kontan saja terlepas dan membuat tempe yang masih panas itu terjatuh dari tangannya akibat tepukan telak dari Mamanya. "Aduh, Mama, apa-apaan sih? Sakit tau dipukul." "Ya lagian, orang masih masak diganggu mulu. Bukannya bantuin juga." Alana tidak ambil pusing dengan kata-kata Mamanya barusan. Tangannya terjulur santai mengambil tempe yang terjatuh tadi, membersihkannya sekilas lalu langsung melahapnya tanpa banyak pertimbangan. "Oh my God,” desis Kalila yang melihat tingkah anak bungsunya itu. Lagi-lagi Alana tidak ambil pusing, gadis itu berjalan menuju meja makan dan duduk dengan bermalas-malasan pada kursi yang tersedia di sana. “Kenapa lagi coba kamu?” "Bang Ke sama Bang De lama banget sih, Ma.” Kalila hampir tersedak mendengar kata-kata Alana. “Apa? Kamu bilang apa tadi?” Alana terkekeh kecil kemudian berdeham. "Bang Kevin sama Bang Dean kok belum pulang, Ma?" "Kan masih di Lombok, paling besok sudah sampai rumah. Kenapa? Kangen?” Ya, bukan rahasia umum lagi kalau Kevin dan Dean suka mendaki, entah itu keturunan dari siapa. Karena, baik Ayah maupun Ibunya, tidak ada satupun dari mereka yang melakukan hobi ekstrem tersebut. "Ya… kangen, rumah sepi banget kalau nggak ada mereka, Ma.” Kalila tertawa kecil. “Ada Abang kamu juga kamu ribut mulu, Dek.” Alana tidak menyahut. Gadis remaja itu hanya mengerucutkan bibirnya dan langsung menjatuhkan kepala di meja makannya. Bibirnya bergerak-gerak kesal karena kebosanan. Ayahnya sibuk, Mamanya mageran, dan Abangnya pun sibuk sendiri— dalam kata lain, Alana butuh teman untuk mengisi kekosongannya hari ini. "Minggir, Dek.” Alana mengangkat kepalanya saat Kalila hendak meletakkan menu makan malam mereka di meja makan. “Papa mana lagi? Kok belum datang ya, Dek?” "Mana aku tau, aku ‘kan Alana, bukan Papa— Aw! Kenapa disentil sih ah?” "Lagian, Mama nya nanya serius juga, Dek.” Alana semakin mengerucutkan bibirnya seraya meraba-raba dahinya yang barusan menjadi sasaran empuk Kalila. "Mama apa nggak mau jalan bareng aku?" "Sudah jam lima sore, mau jalan ke mana coba?” "Ya, ke mana git—“ "Assalamualaikum." Alana dengan segera menegakkan tulang punggungnya begitu mendengar suara Papanya yang baru saja mengucap salam, tidak mempedulikan Kalila yang masih sibuk menata makanan, Alana langsung berlari cepat menuju ruang tengah rumahnya dan menemukan Papanya  – Althaf, sedang melepas jas kerjanya. “Waalaikumsalam, Papa!” "Kenapa, Dek? Tumben girang banget liat Papa?” tanya Althaf seraya menggiring Alana untuk duduk di sofa. "Alana bosen, dari tadi Mama sibuk di dapur, diajakin keluar jawabannya mager mulu." Althaf terkekeh kecil, kemudian pandangannya teralih pada Kalila yang baru saja keluar dari dapur seraya membetulkan letak hijab sederhananya. Perempuan itu bergerak menuju Althaf dan langsung mencium punggung tangan Suaminya. "Tumben, Pa, hari Minggu lama banget di Kantor?" "Iya, tadi ada ketemu sama calon customer sebentar.” "Wah? Ada proyek lagi?" Dan pembicaraan berlanjut meliputi pekerjaan Althaf dan hal-hal kecil yang mengikutinya. Alana yang duduk di antara manusia berkepala empat itu hanya bisa terdiam dengan bibir gatal ingin menyela obrolan orangtuanya namun tidak enak. "Ini lho, Alana bosen katanya nggak ada Abangnya." Pendengaran Alana spontan kembali bekerja setelah mendengar Kalila menyebut namanya barusan. Matanya menatap Kalila dan Althaf penuh harap, berharap kalau dirinya akan diajak hangout di Minggu malam ini. "Yaudah, nanti malem kita makan di luar." "Yess--" "Loh? Tapi aku sudah masak, Pa." "Yah, gimana dong?" ujar Althaf seraya menatap wajah anak bungsunya yang kembali pias. “Gimana, Dek?” "Masakan Mama kan bisa buat sarapan besok," gerutu Alana seraya menatap Kalila. Kalila dengan wajah sedihnya menatap Althaf, mendadak membuat Althaf kebingungan bagaimana cara menengahi kedua sosok perempuan yang sama-sama berarti di dalam hidupnya. "Gini deh," Althaf membuka suara mencoba member keputusan adil bagi keduanya. “Kita ke toko buku sebentar aja gimana? Kebetulan ada yang mau Papa cari juga, oke?” “Kalau gitu aku mau beli novel sama komik, sepakat?” “Sepakat, dong! Sudah, mandi dulu sana, Dek, biar nggak keburu malam nanti.” Alana girang setengah mati, setelah seharian bersemedi di dalam rumah akhirnya ia akan menhirup udara segar juga hari ini. Padahal sebenarnya jika Alana mau, ia bisa saja pergi dengan teman-teman perempuannya. Tapi, Alana merupakan tipe anak-anak bungu yang sayang keluarga. Kalau bukan keluar bersama keluarganya sendiri, ia tidak akan betah. o0o “Mampus, aku kayaknya telat deh, Pa,” gumam Alana begitu ia melihat gerbang sekolahnya hanya terbuka sedikit. Althaf ikut melihat ke gerbang sekolah Anaknya, sekolah yang dulu sempat menjadi tempat Althaf mengenyam ilmu juga. “Apa aku pulang aja kali, ya? Nggak usah masuk, Pa.” “Baca novel mulu sih sanpai larut. Turun, harus sekolah,” sahut Althaf tegas, tidak ingin dibantah. Melihat Alana yang belum bergerak dari tempat duduknya berhasil membuat Althaf gemas sendiri. “Adek? Turun.” Alana manyun, tangannya meraih tangan Althaf untuk dikecup punggung tangannya. “Jangan manyun ah, mau sekolah ini.” “Nanti kalau aku dihukum gimana?” “Daripada bolos? Papa nggak suka.” Alana semakin manyun seraya turun dari mobil Papanya. “Aku masuk ya. Bye, Pa!” “Waalaikumsalam.” “Oh iya, assalamualaikum.” Althaf yang hanya berdiam di dalam mobil hanya tertawa kecil. “Waalaikumsalam.” Tanpa menunggu mobil Althaf pergi dari depan sekolah, Alana memilih segera masuk ke dalam kawasan sekolah, untungnya Senin ini bukan jadwalnya untuk Upacara Bendera jadi kondisi lapangan saat ini aman terkendali. Dengan jantung berdebar Alana berjalan di koridor sekolahnya yang sama sepinya, tidak ada guru piket yang berjaga.  Alana berusaha semaksimal mungkin meminimalisir suara derap langkah kakinya. Namun, semua usahanya berakhir sia-sia karena deru mesin motor terdengar begitu memekakkan telinga dari arah parkiran. Beberapa guru piket langsung keluar dari kantor guru dan Alana pun mati langkah. Kakinya seolah tertancap di lantai koridor dan tentu saja hal itu memudahkan guru piket untuk menemukan Alana yang kebetulan juga datang terlambat. "Loh, telat?" tanya guru itu santai. Tidak tahu saja, kalau jantung Alana semakin berdetak keras ketika melihatnya. Demi apa saja yang ada di muka bumi, Alana ingin tahu siapa pemilik motor itu. Bibir Alana rasanya gatal sekali ingin memaki siapa saja pemilik motor sialan itu. "Yuk, ikut Ibu ke depan." Denga perasaan kesal, akhirnya Alana mengikuti langkah guru kesiswaannya menuju halaman sekolah. Terlihat di sana seorang lelaki berseragam putih abu-abu sudah ditahan oleh guru kesiswaan yang lain. Oh, anak orang kaya itu, batin Alana saat menemukan bahwa David lah penyebab ia ketahuan pagi ini. "Alana, sini kamu, terlambat enak aja asal masuk." Alana nyaris saja mendengus mendengar kata-kata itu. Alana diperintah untuk berdiri berjejer di sebelah David, baru kali ini dirinya berdiri sedekat ini dengan laki-laki yang cukup disegani di sekolah— ternyata benar, wanginya David itu bisa membuat siapapun mabuk. Alana menggelengkan kepalanya samar saat sadar pikirannya sudah bergerak liar ke sana ke mari. "Alana, kamu piket di Perpustakaan sekarang. Kalau David, boleh langsung masuk ke kelas.” “Ha? Kenapa cuman saya yang dihukum, Bu?” "David punya hukumannya sendiri di kelas.” Alana hendak melayangkan protes sebenarnya, namun ia kalah cepat dengan Guru Kesiswaaan yang sudah menunjuk koridor yang mengarah langsung pada perpustakaan sekolah yang terletak di bagian samping gedung sekolah. “Alana, saya nggak perlu ngulang dua kali kata-kata saya ‘kan?” Alana menahan napas yang hendak dihembuskannya dengan keras, matanya melirik ke arah David dan kebetulan David juga sedang meliriknya kecil, Alana spontan mendelik kea rah laki-laki itu dan berhasil membuat David memandangnya keheranan. “Alana Putri Azarine?” “Iya, iya, Bu. Astaga.” “Ayo cepat, jam ketiga kamu harus kembali ke kelasmu.” Sebelum pergi, Alana masih sempat menanyakan kepastian soal hukuman yang akan diberikan untuk David. “Tapi, beneran ‘kan, Bu? Anak ini juga—“ “Siapa yang lo bilang anak ini?” David menangkap jari telunjuk Alana yang menunjuknya seenak jidat. “Nggak sopan nunjuk-nunjuk orang.” Alana menggerutu pelan seraya mengelus jari telunjuknya yang tadi diremas oleh David. “Galak banget, sih.” “Iya, Alana, semua yang terlambat pasti ada hukumannya. Atau, hukuman kamu mau diganti aja? Lari ngelilingin lapangan, ya?” Alana melotot kaget. “Enggak, enggak, Bu. Ampun, saya ke perpustaakaan aja. Permisi.” Tanpa menoleh ke arah David, Alana langsung bergerak cepat menuju perpustakaan sekolah. David memandang bagaimana Alana berlari menjauh darinya. “Anak kelas mana, Bu?” “Alana?” David dengan Guru Kesiswaan tersebut berjalan beriringan masuk ke gedung sekolah. Laki-laki itu mengangguk samar mengiyakan pertanyaan dari gurunya tersebut. “Anak XIIS-1. Kamu XIIS-3 ‘kan?” Dan, obrolan mereka berlanjut sampai keduanya berpisah di depan ruang guru dan David terbebas dari hukuman yang tadi dijanjikan di depan Alana. To be continued...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD