Chapter 1

1836 Words
"Hidup itu penuh perjuangan. Jika Hidup bukan untuk berjuang lantas untuk apa hidup?" -Rayya Farasya -   Banyak orang yang bilang hidup itu enak ketika kita kaya. Bukankah begitu? Dan banyak yang bilang hidup itu bisa kita nikmati ketika kita bisa mendapatkan semua yang kita mau. Terkadang semua pikiran itu hanyalah fikiran yang tak masuk akal dalam benakku. Terlebih ketika kita mau mendapatkan banyak hal tanpa adanya sebuah usaha, lantas untuk apa hidup? Jika usaha kita saja nol? Ya, itulah prinsip yang ku bangun sejak aku hidup sebatang kara. Berjuang di sela sisa waktuku tuk bekerja dan bekerja. Hingga ku lupa tuk belajar di sekolah. Semua tak ku pedulikan kecuali impianku yang menjadi seorang aktris bintang film. Aku terus berjalan kesana kemari dari teater satu ke teater lainnya. Berusaha mendapatkan peran di sebuah pertunjukan pentas drama. Hingga semua terbuka pada waktu yang tepat. Ya, Jalan kesuksesanku terbuka ketika ku bertemu dengan seorang sutradara hebat di sebuah event pentas drama yang ku ikuti.  Dan di saat itu juga aku bertemu dia. Dia yang menjadi semangat pertamaku dalam meraih karirku. Dan kini aku percaya dengan segala hal perkataan bundaku tentang keajaiban waktu yang membawaku pada jalan kesuksesanku. Kesuksesan akan datang di waktu yang tepat. Di waktu dimana kamu beriringan dengan usahamu yang tak mengkhianati hasilmu. Dan yakinlah bahwa segala usaha memiliki titik temu dalam setiap langkah manusia. Bukankah begitu? Perkenalkan namaku adalah Rayya Farasya. Seorang bintang yang tengah bersinar di jalan karirnya. Menikmati setiap peran yang dimainkan. Menguras emosi setiap penonton. Membuat mereka terbuai dengan aktingku. Lamunanku terputus saat seseorang menyodorkan cup coffe. Ia duduk di sebelahku. Dia Jonathan, kekasih hatiku. Seorang yang menjadi penyemangatku, mood booster ku. Dia menemaniku sampai sejauh ini. Menggenggam setiap langkah yang ku tuju. Tersenyum penuh kharisma saat aku mengeluh padanya. "Minumlah, kau sudah bekerja terlalu keras," ucapnya lirih. Ia mengusap pelan rambutku lalu mulai fokus mendalami naskah. Ah, selalu saja seperti ini. Dia memang terlalu cuek untuk ukuran seorang aktor, tapi perhatiannya membuat hatiku meleleh. Tindakannya terkadang tak dimengerti namun inilah tantangannya. Membuatku semakin penasaran akan sosoknya. "Kenapa liatin aku terus? Aku ganteng ya? Emang, hehe," katanya narsis. Ia nyengir, menunjukkan gigi putih yang berderet dengan rapi. "Enggak, siapa juga yang liatin? Kamu kali yang kepedean," elakku. Cepat aku menenggelamkan wajahku di lembaran naskah sinetron yang tengah ku mainkan ini. Tak main-main, episodenya sampai beratus-ratu. Mengalahkan series novel kesukaanku yang penulisnya amat terkenal itu. Entah apakah akan mencetak rekor atau tidak, yang pasti ini akan menghabiskan waktu bermusim-musim. Jonathan menangkupkan tangannya di pipiku, menatap wajahku yang sepertinya sudah merah sempurna. Persis layaknya tomat yang sudah matang. "Kamu itu kalau mau liatin aku ya gak usah malu-malu gitu, liat tuh wajah kamu udah merah." Bibirku mengerucut, "siapa juga yang liatin? Kamunya aja yang kegeeran." Jonathan tertawa, ia menggelengkan kepalanya lalu mengusap pipiku pelan. "Kamu itu gengsian ya ternyata." Aku mengambil naskahku, pura-pura sibuk menekuninya padahal tengah menentramkan hati yang sudah seperti marching band sekolah saja. Mengabaikan Jonathan sepenuhnya. Ingatanku melayang menuju malam pertemuan kami dulu. Di tengah guntur yang menghambat jalan kami pulang setelah teater "Perempuan Bertudung Merah"dipentaskan tadi. Kebetulan ia adalah lawan mainku. "Kamu tahu, aku benci hujan." ujarnya saat itu. Aku menoleh, menatapnya bingung. Ia menegadah, melihat butiran air yang jatuh dengan sendu. "Mengapa kamu benci hujan? Padahal bulirnya begitu indah, suasananya bahkan begitu syahdu." Jonathan mengalihkan pandangannya pada genangan air di jalanan sana, "Karena hujan itu layaknya kenangan. Ia tak akan pergi meski kita meminta. Ia akan terus begitu sampai berhenti dengan sendirinya." "Bukankah kita bisa menikmatinya? Kenangan itu ada bukan untuk di buang. Mau bagaimana pun juga, kenangan itu akan tetap ada. Menetap di sudut-sudut hati. Meski kamu berusaha mengusirnya, melupakannya, atau bahkan mengabaikannya, ia akan tetap ada disana." Jonathan terdiam, "Aku mungkin egois, tapi aku ingin bisa melupakannya, seandainya waktu tak mempertemukanku dengan dia." Aku menepuk pundaknya, "Yang perlu kamu lakukan hanyalah berdamai dengan semua itu. Kamu tak bisa menyalahkan siapapun. Semangat, suatu hari nanti kamu pasti bisa menerimanya." Kakiku mulai melangkah, hujan sudah mulai reda. Ya meski agak gerimis, tak apalah, aku ingin segera pulang. Jika diingat lagi, sebelumnya kami bahkan tak pernah bertegur sapa, kecuali saat latihan. Itu pun sekadarnya. Ini adalah percakapan terpanjang kami, untuk saat ini.  Percakapan ini ternyata berkesan di hatinya. Sejak saat itu, ia mulai gencar mendekatiku. Awalnya hanya seputar sharing mengenai apapun. Tentang pandangan kami mengenai dunia. Tentang cita-cita dan impian kami. Entah bagaimana caranya, semesta menuntun kami menjadi dekat. Yang aku sadari, dia adalah laki-laki pertama yang membuat aku nyaman akan kehadirannya di sampingku. Biasanya aku risih jika dekat dengan laki-laki. Ini berbeda, ada getaran aneh yang muncul setelah sekian lama kita bersama. Tepatnya, sebagai teman biasa. Tidak kurang dan juga tidak lebih. Tapi itu dulu. Hubungan kami sudah merambah ke ranah selanjutnya. Sebagai sepasang kekasih. Menapaki jalan karir kami bersama-sama. Awalnya dari satu teater ke teater lain. Lalu ikut casting ftv, lolos dan tak disangka malah berujung pada banyaknya tawaran job. Membuat karir kami melesat dengan cepat. "Come on Rayya. Semua akan dimulai dalam 5 menit." oceh mbak Nia. Mengagetkanku saja. Aku bangun dari dudukku. Siap menjalani aktifitas syuting yang cukup melelahkan. Apalagi harus menghapal teks dialog dengan amat sempurna. Belum lagi mengenai riasan wajah dan pakaian. Memang cukup rumit, tapi ini semua aku nikmati. Bukankah ini yang aku inginkan? Bukankah ini mimpiku dari dulu? Bagian dari janjiku pada bunda. Menjadi seorang aktris film. Semua ini amat menyenangkan apabila dinikmati. Belum lagi, kalau bertemu fans. Bayangkan saja, dulu aku hanya bisa berkhayal tentang semua ini. Tapi sekarang, ini menjadi nyata. Aku bisa bertemu dengan para penggemar, menyaksikan mereka begitu antusias bertemu denganku. Terkadang aku merasa menjadi orang yang teramat penting. Padahal aku hanyalah seorang pemeran saja di tiap film bahkan sinetron. Serasa menjadi pejabat, hehe. Terkadang ada saja yang mengirimkan hadiah untukku. Terharu pastinya, ya ampun, ini amat mengagumkan. "Cut," suara teriakkan sutradara menggema. Menandakan proses syuting kali ini telah selesai. Aku memperhatikan sekitar, para staff sibukembereskan peralatan. Ada pula para penggemar —penonton setia sinetron "Dunia Virtual" — yang tengah berkumpul di pimggir. Aku menggelengkan kepalaku pelan, lucu melihat timgkah mereka yang terlampau antusias. Terlihat sekali kalau mereka amat bahagia. Jam sudah menunjukkan pukul 20.15, ini sudah malam rupanya. Hari yang melelahkan. Pelan aku melangkah menuju mobil, sudah tak sabar membaringkan tubuh di ranjang. Beristirahat. Namun langkahku terhenti, seseorang menghadangku. Rupanya ini Jonathan. "Ada apa, hmm?" tanyaku sambil memperhatikan mukanya yang terlihat penat. "Sehabis ini, istirahat yang cukup ya. Jangan bergadang dan jangan lupa mimpiin aku," Jonathan mengusap kepalaku lalu mencium keningku pelan. Bisa ku dengar teriakkan histeris dari para penggemar yang berkumpul di belakang kami. Cukup, ini tidak bisa dibiarkan lagi. Pipiku sudah kepalang merah, sudah seperti kepiting rebus saja. Tanganku mengusap pelan pipi Jonathan lalu melangkah masuk ke mobil, "Sampai jumpa," Jonathan melambaikan tangannya, mengamati pergerakkan mobilku sampai menghilang di ujung belokkan.  Bisa ku lihat ia tengah dikerubuti oleh wartawan dan penggemar tentu saja. Sekilas aku merasa kasihan, ia pasti lelah ditambah kondisi ini membuatnya pusing. Semoga ia bisa mengatasinya. [^=^] Rutinitas harian ibu kota sudah dimulai sejak satu jam yang lalu. Sepagi itu jalanan sudah ricuh dengan suara klakson yang saling bersahutan. Berlomba mencapai tempat tujuan berpacu dengan waktu. Riuh oleh teriakkan pedagang yang menjajakan dagangannya. Ruwet, menambah pikiran para pekerja kantoran yang di buru deadline. Lalu lalang terus mengalir tanpa kenal henti barang sejenak. Terus saja seperti itu sampai hari menggelap. Seiring beribu larik cahaya matahari yang menerobos sela jendela kamar. Jatuh menimpa lantai dengan begitu syahdunya. Lembut, menampilkan bayang-bayang yang amat mempesona. Menyapa kuncup bebungaan yang sedang bersiap untuk mekar. Menyeka sisa embun yang telah bersua rindu dengan dedaunan. Berbisik, bercerita tentang indahnya hari. "Baik, jadwal hari ini adalah fan meet lalu pemotretan endorse. Sekarang bersiaplah, acara akan dimulai dalam waktu 45 menit." Mbak Nia membaca agenda di tangannya. Hari ini sedang tidak ada jadwal syuting karena para pemain menghadiri fan meet. Rating sinetron ini melesat dengan cepat, membuat kami sedikit kewalahan. Tawaran endorse semakin menggunung, pemotretan, bahkan undangan acara formal sekalipun. Jadwal ku menjadi semakin padat saja. Tapi ini menyenangkan. Acara dipandu oleh Rasyi Ahmed—host ternama kebanggaan Indonesia—yang dikenal sebagai raja Taktuk. Cukup mengesankan, pembawaannya membuatku terpana. "Rayya Farasya, oke, nama kamu mirip banget sama nama aku, jangan-jangan kita jodoh lagi." dia mengedipkan matanya padaku. Bergurau. "Ah, jangan bilang kalau orang tua kita janjian." Rasyi menggangguk, "Lalu dimaksudkan untuk perjodohan kita. Maukah kau jadi imamku?" "Salah oy, harusnya maukah kau jadi makmumku, bukan maukah kau jadi imamku?" tukasku geli. "Oh, of course. Aku mau menjadi imammu." Studio langsung heboh. Sial, aku terkena jebakan batman. Rasyi mengerlingkan matanya, menggodaku. Sorak penonton amat ricuh. Ku lirik sekilas Jonathan. Raut mukanya amat aneh. Apa dia cemburu? But, it's imposible. Ini hanya gurauan ssmata. Lagipula Rasyi sudah memiliki ekor baru satu, kemungkinan akan bertambah lagi. "Sekarang giliranku." celetuk Jonathan tiba-tiba. Semua mengalihkan perhatian pada Jonathan. Ia menatapku dengan amat intens. Membuat pipiku memanas, aku tak yakin perona pipiku mampu menyembunyikan semburat merah yang timbul. Apa yang salah dengan Jonathan? "Aku ingin kamu menerjemahkan setiap kata yang aku ucapkan ke dalam bahasa Inggris, siap?" Aku mengangguk pelan. Baiklah, mari kita ikuti permainannya. "Bahasa inggrisnya kucing?" "Cat." "Kalau pohon?" "Eum, tree." "Kalau dasi?" "Tie." "Bayi?" "Baby." "Iya sayang, kenapa manggil? Kangen ya?" Wow, ini jebakan lagi. "Well, sungguh tidak terduga jawaban yang disuguhkan oleh Jonathan." Tepuk tangan bergema, suasana begitu heboh. Banyak rekan kami yang menggoda. Memang sudah menjadi rahasia umum jika kami adalah sepasang kekasih. Inilah resiko menjadi aktris, terbukanya privasi. Entah itu baik atau buruk, publik pasti mengetahuinya. Respon mereka urusan belakangan, kalau sudah genting baru turun tangan. Ya, meski banyak yang menyangka kalau kami ini settingan tapi tak apa. Mereka hanya bisa menjudge tanpa tahu kenyataan sebenarnya. "Sekarang aku akan mengundang seorang  penggemar untuk maju ke depan. Silahkan cek bagian bawah bangku kalian, kalau ada  kartu emas silahkan maju ke depan." Refleks aku jongkok, meneliti bagian bawah tempat dudukku. Kosong, tidak ada apa-apa. Hanya ada lantai yang bersih sampai-sampai aku bisa bercermin di atasnya. "Rayya, apa yang kamu lakukan?" tanya Rasyi saat memergoki tingkahku. "Memeriksa bawah bangku. Kosong, tidak ada kartu emas." Rasyi dan yang lainnya menepuk dahi mereka. Aku memiringkan kepalaku, bingung dengan tingkah mereka. Apa aku melakukan hal yang salah? "Ini ditujukan untuk penggemar Rayya, bukan buat kamu." jelas Raja dengan penekanan yang teramat jelas. Aku terdiam, mangut-mangut. Bilang dong dari tadi, tau gini aku gak usah repot jongkok, mana pegel lagi. Huhhh. "Siapa yang dapet? Ayo maju ke depan." ucap Rasyi kembali fokus pada penggemar. Riuh, seorang mbok-mbok maju ke depan. Ia melangkah dengan riangnya. Raut wajahnya sumringah, menampilkan kulit keriputnya yang agak bergoyang. Tersenyum penuh keceriaan. "Siapa namanya nek?" tanya Rasyi sejurus kemudian. "Panggil aja mbok Ijah."  ucapnya. "Mbok Ijah kesini pengen ketemu sama siapa?" "Mbok pengen ketemu sareng neng Rayya." Aku tersenyum. Rupanya ini salah satu penggemar ku. Ini fantastis. Tak menyangka ada juga yang mengagumi seni peranku dari kalangan lansia. Aku menatap mbok Ijah dengan antusias yang menyala. Tak menyadari bahwa pertemuan kali ini membawaku pada suatu hal di luar nalar yang mampu mengubah sejarah hidupku. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD