Prolog : Ketika kehidupan menjadi begitu berarti.

1435 Words
Pagi itu, Seperti orang gila aku berlari secepat mungkin ke kamar ICU tempat kakakku dirawat. Seseorang dari rumah sakit mengabarkan padaku kalau kakakku baru saja melahirkan tapi tak ada seorangpun yang mendampinginya. Dia dalam keadaan kritis dan aku ditelpon atas persetujuan kakak untuk menjadi walinya. Bagaimana mungkin ada orang yang akan mendampinginya disana sedangkan tak seorangpun tau kalau dia sedang hamil. Apa dia sudah gila? Sejak kapan dia hamil? Apa karna kehamilanya itu dia pindah dari kontrakan yang kami tempati bersama dan memilih hidup sendiri dikontrakanya dengan alasan dekat dengan tempat bekerja? Lalu anak siapa yang dia kandung? Kemana ayahnya? Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam kepalaku.Ingin sekali aku memarahi dan memukulnya yang dengan begitu bodoh hamil dari orang yang bahkan sama sekali tidak kuketahui. Dan sekarang kakak yang begitu ingin kumaki-maki itu menatapku dengan senyuman yang begitu lembut dan tatapan mata yang semakin sayu jadi bagaimana mungkin aku bisa marah padanya? Dokter bilang kakak mungkin tak bisa diselamatkan. Terlalu banyak penyakit yang menyertai kehamilanya. Beruntung kakak masih bisa membawa bayi laki2 mungil itu kedunia ini dengan selamat tanpa cacat sedikitpun. Jika sudah diketahui lebih awal, maka dokter pasti sudah menyarankan kakak untuk tidak hamil karna kehamilan kakak bisa memperparah penyakitnya. Tak kutanya lebih jauh penyakit apa yang diderita kakak karna aku terlalu syok melihat keadaan kakak yang sangat memprihatinkan. Kenyataan itu membuatku gemetar dan kehilangan kata2. Kugenggam tangan kakak yang terasa lebih kurus dari beberapa bulan yang lalu. Melihat kondisinya yang sangat lemah, air mataku tak henti-hentinya mengalir. Kata makian dan segunung pertanyaan yang memusingkan kepalaku entah sudah pergi menguap kemana, yang ku rasa saat ini hanyalah perasaan iba. "Nola Tolonglah tolong aku, tolong jagalah Aleo anakku, sayangi dia seperti anakmu sendiri" Air mata kak Hilda sudah membasahi pipinya saat dia mengatakan permohonan itu padaku. Tak henti-hentinya aku menggeleng. Semakin kupererat genggaman tanganku pada tangan kak Hilda. "Tidak kak, aku tidak mau. Kakak sendiri yang akan menjaganya sampai dia besar. Kakak sendiri yang harus menyaksikan pertumbuhanya. Untuk itu kakak harus kuat, kakak tidak boleh menyerah dan putus asa" Aku terisak menyadari genggaman tangan kak Hilda yang semakin melemah. "Dengarkan kakak baik2 Nola" Kak Hilda mempererat genggamanya yang tadi sudah melemah saat mengatakan kata itu padaku. "Carilah orang ini hanya disaat bayiku Aleo butuh pertolongan Nola. Jangan pernah hubungi dia jika tidak dalam keadaan terdesak. Kumohon padamu" Kakak menyerahkan secarik kertas bertuliskan nomor ponsel seseorang padaku sebelum akhirnya terkulai lemas dan menutup matanya. Aku menangis sesunggukan sambil mencium tanganya. "Kakak mengapa semua ini terjadi padamu? Mengapa begitu malang nasip yang menimpa kita?" Aku terus menangis dan tak peduli pada apapun. Kesadaranku kembali saat perawat rumah sakit mulai melepas semua alat bantu yang melekat ditubuh kakak. Apa yang harus kulakukan kak? *** Aku menelpon ibu panti asuhan tempat dulu kakak dibesarkan tepat setelah kakak sudah siap untuk dimakamkan. Aku sengaja, Aku tak ingin mereka tau yang sebenarnya tentang penyebab meninggalnya kakak. Biarlah mereka hanya tau kalau meninggalnya kakak karna dia sakit parah. Ibu panti sangat terkejut mendengar berita yang kusampaikan padanya. Kudengar diseberang telpon sana beberapa orang menangis begitu ibu panti menjelaskan kalau kak hilda sudah meninggal. Kak Hilda pastilah orang yang begitu mereka kasihi. Karna hari sudah terlalu sore, mereka merelakan kak Hilda dikebumikan tanpa kehadiran mereka. Besok pagi2 sekali mereka akan melayat ke makam kak Hilda, seperti itulah yang kudengar dari ibu panti. Ibu panti hanya berpesan untuk mengabadikan saat2 terakhir kak Hilda sebelum di kebumikan, karna beliau ingin melihat kak Hilda untuk yang terakhir kalinya. Tak ada orang yang perlu kuhubungi lagi sebelum kulanjutkan proses pemakaman kak Hilda. Kupandangi nomor ponsel yang sejak tadi sudah kusimpan di ponselku dengan nama papa Aleo. Aku yakin dia pastilah ayah dari bayi itu. Apa aku harus menghubunginya? Tapi kakak hanya mengizinkanku menghubungi orang itu jika terjadi sesuatu pada bayi Aleo, jika tidak maka aku tak boleh menghubunginya. Sebaiknya aku tak menghubunginya, bisa saja orang itu adalah orang yang tidak menginginkan kehadiran Aleo. Pemakaman kakak berlangsung dengan khidmat meskipun hanya dibantu oleh para tetangga dan beberapa sukarelawan dari pusantren terdekat. Aku sudah tak bisa lagi menangis saat kucium batu nisan kakak sebelum akhirnya kembali kerumah sakit. Sesampainya dirumah sakit, pihak rumah sakit menyerahkan barang2 yang dibawa kakak saat dia datang ke rumah sakit. Tak banyak, hanya sebuah dompet yang berisi kunci kontrakan, beberapa uang tunai, serta selembar kertas bertuliskan Aleo Atha Alexandro dan sebuah kartu ATM dengan pin yang sudah tertulis di dekat nama Aleo. Pihak rumah sakit segera menyerahkan tagihan rumah sakit kakak padaku. Aku sedikit terkejut melihat jumlah yang tertera di struk pembayaran, dari mana aku bisa menemukan uang sebanyak itu? Dengan ragu2 Aku segera menyerahkan ATM milik kakak pada mereka. Aku tak tau apakah uang yang ada di ATM itu akan cukup untuk menutupi biaya administrasinya. Ternyata uang kakak lebih dari cukup untuk membayar biaya rumah sakit tersebut. Aku bisa bernafas lega, tapi lagi2 aku kebingungan dari mana kakak mendapatkan uang sebanyak itu? Kemana aku harus mencari tau? Karna pembayaran sudah selesai dilakukan, mereka menyerahkan bayi Aleo padaku. Dia sangat lucu dan tampan sekali. Anehnya Aleo sama sekali tidak terlihat seperti kak Hilda. Pastilah Aleo mendapatkan wajah yang begitu rupawan itu dari ayahnya yang entah siapa. Lalu apa yang harus kulakukan dengan bayi ini? Bagaimana caraku merawatnya? Aku kan juga harus kuliah dan bekerja paruh waktu? Mana mungkin aku bisa menyewa pengasuh sedangkan aku saja harus berjuang keras setiap harinya untuk sekedar makan dan bayar kontrakan. Kutatap bayi Aleo yang masih tertidur dengan lelapnya dalam dekapanku, hidupku pasti akan berubah 100% sejak adanya dia. Tapi janji adalah janji, dan aku juga berhutang budi pada ibunya. *** Aku bertemu kak Hilda 5 tahun yang lalu saat kak Hilda tanpa sengaja menabrakku dengan sepeda motornya. Saat itu aku baru tiba di jakarta dan tak tau harus kemana. Kak Hilda yang menabrakku segera membawaku kerumah sakit, dia juga yang bertanggung jawab penuh terhadap pembiayaanya. Padahal jujur saja aku juga salah dalam kejadian itu, aku terlalu lelah dan tak begitu memperhatikan jalan disekitarku sampai tak sadar sebuah sepeda motor dengan telak menabrakku. Begitulah aku mengenal sosok kak Hilda. Dia yang begitu baik dan lembut. Dia menawarkan padaku untuk tinggal bersamanya sampai aku bisa menentukan langkahku sampai aku yakin pada apa yang akan ku lakukan di jakarta. Tanpa menaruh curiga dan berburuk sangka, kak Hilda merawatku dengan baik. Aku begitu terharu dengan kebaikanya, dia yang dibesarkan di panti asuhan tumbuh menjadi pribadi yang penolong dan belas kasih. Sampai saat ini aku masih tinggal di kontrakan yang kak Hilda sewa saat pertama kali bertemu denganku. Sedangkan kak Hilda sendiri sudah pindah sejak 7 bulan yang lalu ke kontrakan barunya. Saat itu dia berkata kalau dia pindah kontrakan untuk lebih dekat dengan tempat kerjanya. Memang sih kontrakan kak Hilda dan tempat kerjanya bahkan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Aku sama sekali tak menaruh curiga padanya walaupun sebenarnya aku menyadari kak Hilda sering muntah2 dan tidak nafsu makan. Kupikir mungkin dia hanya sekedar masuk angin. Beberapa bulan terakhir kak Hilda jadi sulit dihubungi dan tak bisa ditemui. Saat kutelpon dia selalu mengatakan kalau dia menjadi lebih sibuk akhir2 ini. Bahkan saat aku main kekontrakanya, kak Hilda masih belum pulang juga meskipun hari sudah semakin malam. Karna takut kemalaman saat pulang, aku jadi memutuskan untuk pulang tanpa bertemu denganya. Kak Hilda yang seperti itu ternyata sedang berusaha menutupi kehamilanya dariku. Aku merasa benar2 bodoh karna selama ini tak begitu peduli dengan perubahan sikapnya yang tidak wajar. Tapi dalam hati aku bersyukur. Setidaknya kak Hilda melahirkan bayi Aleo dengan sepantasnya. Tidak sedikit kasus bayi yang dibuang karna tidak diinginkan orang tuanya, tapi kak Hilda bertanggung jawab penuh terhadap bayi yang hanya bisa dilihatnya beberapa menit tersebut. Sepeninggal kak Hilda, aku mendatangi kontrakanya guna mengambil barang2nya yang masih tersisa. Besok barang2 milik kak Hilda akan kuserahkan pada ibu panti. Saat tiba dikontrakanya, aku sedikit terkejut karna barang2 kak Hilda sudah tertata rapi didalam koper. Seolah-olah dia akan pergi jauh atau mungkin dia sudah menyadari kalau dia tak bisa lagi kembali. Ibu kost yang datang padaku menjelaskan kalau perlengkapan dapur dan sebagainya sudah kak Hilda sumbangkan ke panti asuhan terdekat. Beberapa barang lain yang dianggap tidak lagi berguna sudah dia bakar seminggu sebelum kepergiannya. Sepertinya kak Hilda memang akan pergi jauh. Hanya saja aku tidak mengerti, mau kemana dia dalam kondisi hamil tua seperti itu? Apa dia mau kembali ke panti? Tak ada sedikitpun petunjuk yang bisa menjelaskan siapa ayah sang bayi. Mungkin kak Hilda sengaja membakarnya agar tak ada seorangpun yang mengetahui kebenaranya. Rasanya aku ingin segera menelpon orang itu dan meminta pertanggung jawaban darinya. Tapi wajah kak Hilda saat memohon padaku membuatku tak jadi melakukanya. Kakak apa yang sebaiknya kulakukan? To be continue. . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD