Satu

1759 Words
Keluaaaar kau dari kamarku, siapa yang menyuruhmu,  tidak ada yang lancang masuk kamar ini tanpa ijinku," mata Edwin menyiratkan kemarahan yang amat sangat. Meisya kaget mendengar suara yang tiba-tiba menggelegar di belakangnya. Seketika ia menunduk ketakutan. "Ibu Minda yang menyuruh saya meletakkan baju kakak ke kamar ini,  sayaa,  sayaaa...," Meisya sangat ketakutan. "Ada apa Edwiiiin teriakanmu sampai terdengar keras ke bawah," tiba-tiba mama muncul di kamar Edwin. "Siapa dia ma,  berani-beraninya masuk ke kamarku?" tanya Edwin tak suka. Mamanya menghela napas. "Kalo mama salah,  mama minta maaf,  mama yang nyuruh  Meisya meletakkan baju-bajumu,  bik Sum sedang sakit, sudah selesai marahnya, ayo Meisya ikut ibu, heh gitu aja sampek bikin mama jantungan," mama menyeret Meisya ke luar dari kamar Edwin. Meisya mengekor Ibu Minda. Turun ke ruang makan. Edwin memegang dadanya perlahan, menyandarkan kepalanya ke dinding kamar. Melangkah pelan ke lemari kecil mengambil foto dan mendesis pelan. "Mengapa setelah lima tahun kamu muncul lagi, kau mau menyiksaku?" desis Edwin perlahan. Matanya berkaca-kaca meletakkan foto itu dalam lipatan buku yang sudah lusuh. Perlahan Edwin membuka jasnya, kemejanya dan tidur terlentang. Dia tidak salah,  tidak salah,  yang salah mengapa dia punya wajah yang mirip, aku benci jika ada yang mirip dengan Freya,  pikiran Edwin berjalan tak tentu arah. "Edwiiin,  turunlah,  kita makan sayang,  sudahan dong ngambeknya,"suara mama terdengar memohon. "Ya bentar,"suara berat Edwin menjawab panggilan mama. Kaki Edwin mendadak kaku saat di meja makan,  ikut duduk perempuan yang tadi masuk secara tidak sopan ke kamarnya. Ia mendengus perlahan. Dengan kaku dan wajah dingin Edwin mengabaikan perempuan itu. "Nih makanlah soto kesukaanmu," ujar mama menyodorkan piring pada Edwin. Sejenak raut wajah Edwin berubah,  ia cicipi perlahan dan mengangguk pelan. "Enak ma,  beli ya,  kok nggak kayak masakan bik Sum?" tanya Edwin makan dengan lahap. "Hmmm mama yang masak dong," ujar mama bangga dan Edwin menggeleng dengan keras. "Nggak mungkin,  mama lebih pandai nyicipi dari pada masak," ujar Edwin menyudahi makannya dan tanpa menoleh dia berjalan menuju kamarnya lagi. "Sisakan untuk besok ma,  aku ingin sarapan soto itu lagi," pinta Edwin "Ibuuu saya takut,  saya balik ke kosan saya saja ya,  kak Edwin mengerikan," suara Meisya terdengar mencicit. "Nggak kamu tetap di sini,  sudah ibu siapkan kamar dekat taman belakang, besok ibu minta susun jadwal untuk ibu, terutama untuk butik,  salon dan spa, nggak usah mikir Edwin,  ngerti,"  Bu Minda berkata penuh penekanan. Dan Meisya hanya bisa mengangguk pasrah,  ia hanya sekretaris baru di butik Bu Minda. Meisya duduk menghadap taman saat malam semakin larut. Ia hanya berpikir mengapa ia menerima tawaran Bu Minda untuk tinggal di sini,  di rumahnya, jika ternyata ada monster sakit jiwa juga ada di sini. Tak lama ia mendengar langkah,  cepat-cepat Meisya masuk ke kamarnya dan mengunci dengan cepat. Dari balik tirai ia melihat Edwin yang ternyata akan berenang,  malam-malam, bener-bener nggak waras nih orang pikir Meisya. Tapi ia segera menelan ludahnya saat melihat badan tegap Edwin dengan badannya yang liat,  banyak roti sobek di badannya,  dan aih matanya mendadak juling saat melihat Edwin membuka handuk dan hanya menggunakan celana dalam. Wak wau apaan tuh gundukan segitunye. Cepat-cepat ia getok kepalanya dengan keras agar otak warasnya kembali bertengger. Dan byuuurr..... Edwin mulai berenang dengan lihai. Meisya menutup tirai dengan rapat agar tidak ada keinginan melihat lagi Edwin yang sedang berenang. Cepat-cepat Meisya masuk ke dalam selimut dan bergelung di dalamnya. Oh mama papa yang ada di surga,  lindungilah tatapan mataku dari godaan roti sobek Edwin yang sedang berenang,  pinta Meisya sebelum tidur karena otak tak warasnya tetap menyuruhnya mengintip Edwin yang masih terdengar berenang. *** Pagi mereka bertemu lagi di ruang makan,  hanya berdua dan tanpa bicara. Setelah selesai Edwin segera mencari mama ke kamar dan mencium pipi mama. Terdengar mobil Edwin yang keluar dari halaman. "Meisya, hari ini ibu minta siapkan jadwal ibu ya,  dan ikut ke mana saja ibu pergi," ucap Bu Minda yang masih menggunakan baju tidur. Meisya menangguk patuh. "Hmmmm tadi kamu sarapan sama Edwin?" tanya Bu Minda. Meisya menangguk. "Dia ngomong apa saja?" tanyanya lagi,  dan Meisya menggeleng. "Dia memang begitu,  kalo belum kenal,  dia sangat irit bicara,  dia anak baik kok Meisya," Ibu Minda menghibur Meisya. *** Malam hari Edwin mendatangi kamar mamanya,  mengetuk pelan dan ada sahutan dari dalam. "Tumben sayang,  ada apa?" tanya mama. "Kenapa mama membawa perempuan itu ke sini?" tanya Edwin hati-hati. "Apa mama salah jika membawa skretaris mama yang kebetulan yatim piatu.ke rumah ini?" mama balik bertanya. "Tidak salah mama,  tapi mama secara tidak sadar telah menyakitiku,  mama lihat wajahnya mirip Freya kan?" Edwin berusaha meyakinkan mamanya. "Menyakitimu,  kamu yamg menyakiti diri sendiri,  kematian Freya adalah cara terindah Tuhan untuk membebaskan dia dari kanker otak,  apa kamu tidak melihat bagaimana dia kesakitan, dan saat operasi tidak berhasil,  itu cara Tuhan agar dia terbebas dari rasa sakit,  kamu mama sekolahkan sampai ke luar negeri agar bijak dan luas pengetahuanmu dalam memandang masalah,  lalu apakah Meisya salah jika punya wajah mirip Freya dan tinggal di sini,  kalo kamu tidak suka,  acuhkan saja, Meisya tidak minta wajah yang sama dengan Freya pada Tuhan,  jadi jangan salahkan Meisya atau bahkan Tuhan, jika kamu merasa tersakiti," ujar mama panjang lebar. Edwin melangkah ke kamarnya dengan langkah lebar,  ia benar-benar kesal,  mamanya telah menohok dadanya. Edwin sadar jika Meisya tidak salah,  tapi kehadirannya di rumah ini sangat mengganggunya. Edwin berusaha memejamkan matanya, namun tidak bisa, ia bangun dan melangkahkan kakinya ke dapur mencari makanan di kulkas. Di dapur ia hampir berpapasan dengan Meisya yang menyeduh s**u hangat,  seketika Meisya mundur dan mencari jalan lain agar tidak berpapasan. Edwin menghembuskan napas dengan kasar,  ah mengapa mereka sama-sama menyukai minum s**u hangat sebelum tidur. Edwin benci dengan keadaan ini. Lima tahun Freya,  mengapa setelah lima tahun seperti ini,  pikir Edwin lagi. *** Huuhhhffff ... Meisya  menghembuskan napasnya. Mengapa monters itu ganteng ya Tuhan. Seandainya dia ramah, mau rasanya bermanja-manja di dadanya yang bidang dan mencium rahangnya yang kokoh. Pikiran Meisya ke mana-mana dan kembali ia getok kepalanya,  mengembalikan otaknya yang makin miring. *** Pagi-pagi Edwin seperti orang bingung saat akan sarapan. Meisya memahami bahwa Edwin akan sarapan, ditatanya makanan dan piring disodorkan pada Edwin. Edwin menyendokkan nasi dan mengambil kuah yang mirip soto, ia menyendokkan ke piringnya. Menyuapi mulutnya dan ia merasa panas di mulutnya, Edwin memegang dadanya, sesak dan tersungkur di meja. Terdengar jeritan Meisya. "Kaaak kak Edwin...Ibu Mindaaa kenapa kak Edwin," Meisya panik dan Bu Minda tergopoh-gopoh. "Kenapa Edwin, Meisya kenapa?" tanya Bu Minda. "Nggak tau ibu tadi dia makan sop yang saya masak ternyata dia seperti orang sesak dan jatuh tersungkur,"Meisya jadi takut dan panik. "Kamu masak apa Meisya?" tanya Bu Minda. "Sop merah yang pedas ibu," jawab Meisya. "Ayo bantu ibu ngangkat badan Edwin ke kamar ibu,  bentar lagi akan ibu telpon dokter Zaki," Bu Minda dan Meisya agak sulit membawa badan Edwin yang tinggi. "Dia nggak bisa makan pedas Meisya,  dia kayak alergi gitu,  jadi sesak kalo makan makanan pedas," Bu Minda menjelaskan saat saat Edwin sudah di kamar Bu Minda. Dokter Zaki datang dan memeriksa Edwin. Ia menulis resep dan memberikan pada Bu Minda. Meisya segera berlalu untuk membeli obat. "Bentar lagi juga sadar kok Mei,  nggak usah kawatir, Edwin mesti begini reaksi badannya jika kena masakan yang sangat pedas," ujar Bu Minda sambil mengelus kepala Edwin,  begitu Meisya datang dari apotek. *** Malam, saat Meisya akan memberikan catatan penting pada Bu Minda, tiba-tiba pintu kamarnya ada yang mengetuk. Dengan cepat Meisya membuka dan menemukan wajah dingin menjulang. "Kau mau membunuhku?" tanyanya tanpa senyum. Sumpah dalam hati Meisya ingin menggigit bibir manusia sakit jiwa didepannya. Meisya mengerti maksud Edwin. "Kalo aku memang mau membunuhmu,  akan aku lakukan sejak hari pertama aku di sini," ucap Meisya tak kalah dingin,  ia sampai mendongakkan kepalanya karena badan Edwin yang menjulang. "Pergilah dari rumahku,  aku akan memberi uang berapapun kamu mau," ucapan Edwin terdengar seperti tamparan di pipi Meisya. "Seandainya aku tidak menghormati mamamu,  aku akan ke luar dari rumah ini malam ini juga,  tapi aku bukan orang yang tidak tahu balas budi,  akan aku kembalikan dulu semua biaya yang telah mamamu keluarkan untukku baru aku akan ke luar dari sini,  tanpa kamu minta, dan penawaranmu tentang uang heh,  terima kasih,  aku tidak biasa menjual diriku,  demi segepok uang,  meski aku miskin, permisi,  aku ada urusan dengan Bu Minda," ujar Meisya memalingkan wajahnya dari Edwin. Edwin terpaku di tempatnya berdiri,  dan kebenciannya pada gadis itu semakin menjadi. *** Saat sarapan,  Edwin jadi berhati-hati. "Tidak ada racun lagi kan ma?" tanya Edwin pada mamanya. Bu Minda tertawa sedang Meisya melirik judes pada Edwin. "Mana soto yang enak kapan hari itu ma?" tanya Edwin lagi. "Suruh Meisya bikin,  kan dia yang masak," ujar mama. Edwin jadi serba salah,  ia merasa menyesal telah mengatakan soto yang enak. "Sudahlah,  makanlah rawon itu, enak kok sayang," mama mengupaskan telur asin dan memberikan kerupuk pada Edwin. Edwin mengangguk puas. "Hmmm lumayan ma, kapan belinya nih rawon?" tanya Edwin pada mama. "Semalam Meisya bikin,  mama yang nyuruh," ucap mama dan membuat Edwin terbatuk. "Emang bi Sum kemana ma, apa brenti permanen?" tanya Edwin. "Nggak taulah,  katanya akan diganti anaknya,  si Sholeh untuk bersih-bersih tapi kan mama bingung siapa yang masakin, untung Meisya pinter masak," puji mama pada Meisya. "Besok masak soto ya Mei," pinta bu Minda. "Baik bu," sahut Meisya patuh. *** Malam hari terlihat Meisya mulai masak soto untuk dimakan besok,  harum bumbu soto tercium dari kamar Edwin. Edwin semakin benci pada Meisya karena ternyata ia bisa memasak makanan kesukaannya dan Edwin tidak mau Meisya melihat itu. *** Malam hati Edwin terbangun, ia menuju dapur dan melihat panci yang terutup rapat,  dibukanya dan aroma soto menguar ke segala arah membuat perut Edwin keroncongan,  jadilah ia makan soto malam-malam saat semuanya tidur. Namun Edwin tidak menyadari sosok Meisya yang berjalan berjinjit balik ke kamarnya saat ia akan mengambil air minum di kulkas. Meisya tersenyum mengetahui Edwin bangun malam-malam sambil makan soto. *** Meisya akhirnya akan menunggu Edwin kembali ke kamarnya,  baru akan ke dapur. Edwin merasa badannya berkeringat setelah makan soto sampai nambah dua kali,  ia membuka kaosnya dan melangkah menuju kamarnya,  namun dibelokan dapur tiba-tiba bruuuukkkk.. Meisya hampir terpelanting seandainya tangan Edwin tidak memegangi tangan Mei dan cepat dilepaskan oleh Edwin yang memandangnya dengan dingin. "Sengaja ya?" bentak Edwin pada Meisya. Mei terbelalak. "Gila apa sengaja nabrak orang keringeten,  kecut tahu, heh nuduh aja bisanya," Meisya balas membentak dan berlalu dari hadapan Edwin. Saat Meisya membuka kulkas,  ah pikirannya melayang membayangkan tubuh Edwin yang tadi ia tubruk bertelanjang d**a. Ya Tuhan pingin banget aku gigit-gigit tuh perut kotak-kotak seandainya ia bukan monster dari kutub, pikir Meisya yang kemudian tangannya memukul kepalanya agak keras. Lalu menggeleng perlahan dan masuk ke kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD