Sean Rafisal

1047 Words
“Sean Rafisal! Keluar kamu!” teriak wanita berseragam guru itu, tubuh besarnya seakan ingin menimpa Sean yang belum mengumpulkan nyawanya. Beberapa anak menyembunyikan tawanya dibalik saputangan sedangkan beberapa lainnya menunjukkan wajah serius, namun tidak bisa dipungkiri akhirnya mereka menyembunyikan tawanya dibalik buku. “Jangan ada yang tertawa atau kalian akan saya hukum juga? Mau?” tanya Bu Esma dengan mata yang hampir saja melompat keluar. “Tidak Bu,” jawab murid kelas XII IPS 1 serempak. Tidak ada yang berani melawan guru killer tersebut karena benar-benar sangat beresiko jika berurusan dengannya, semua murid sekolah itu berusaha sebisa mungkin agar tidak berurusan dengan Bu Esma. “Ada apa, Bu?” tanya Sean yang baru saja sadar dari tidurnya, beberapa temannya memberi kode agar Sean cepat sadar apa yang telah terjadi padanya, namun Sean yang terkenal cuek dan masa bodoan pun tidak menangkap maksud teman-temannya. “Kamu masih nanya kenapa? Apa kau sudah tak waras, Sean? Beraninya kamu tidur di jam pelajaran saya. Kamu jangan masuk 3 minggu berturut-turut di jam pelajaran saya atau nilai ujian kamu saya kosongkan!” ancam Bu Esma dengan mata yang setia membulat bila menatap orang yang membuatnya emosi. “Baik Bu,” ucap Sean hanya menurut saja dengan perkataan Bu Esma, ia pun hendak beranjak keluar, namun Bu Esma melarangnya agar tak keluar kelas. “Duduk!” perintah Bu Esma dengan mata bulatnya itu menatap Sean yang tampak serba salah. Sean yang baru saja berdiri hanya bisa menurut lagi untuk segera duduk. “Tadi ibu suruh saya keluarkan? Lalu kenapa saya disuruh duduk lagi?” tanya Sean bingung sambil melihat ke arah teman-temannya meminta pembelaan, siapa tahu saja mereka bisa memberikan tanggapannya tentang hal itu pada Bu Esma. “Jam ibu sudah berakhir!” kata Bu Esma kemudian berbalik menuju depan kelas dan mengambil setumpuk buku sejarah yang akan ia nilai. Beberapa anak yang cari muka pun cepat-cepat berlari ke arah depan kelas untuk membantu membawakan tumpukan buku tersebut ke kantor guru. “Lo ketiduran lagi pasti gara-gara main game kan battle ama si Fendi anak XII IPS 2? Jadi, siapa yang menang?” tanya Brandon yang penasaran dengan battle game tersebut. “Lo yakin nanya kayak gitu? Ya pasti gue menanglah, masa iya si anak bau kencur itu?” kata Sean dengan bangga, ia memang seorang gamer sejati hampir apapun yang ia mainkan pasti dapat memenangkannya dalam waktu singkat, beberapa kali ia juga mengikuti turnamen game di Jakarta dan berhasil menyabet juara pertama mewakili Kalimantan. Hari ini Sean memutuskan untuk masuk setengah hari dari pada harus kena ocehan guru lagi, pasalnya beberapa guru mata pelajaran hari ini sangat mengerikan, ia bisa kena sanksi lagi bila mengulangi tertidur di jam pelajaran. “Gue cabut ya, ngantuk banget asli,” ujar Sean dengan wajah yang kurang tidur. Brandon yang merupakan teman sebangku Sean hanya bisa mengiyakan saja hal tersebut, toh percuma juga Sean di sekolah jika hanya tidur. “Hati-hati, Bro!” kata Brandon yang masih asik dengan game diponselnya. Sean pun beranjak dari kelasnya meninggalkan sekolah diam-diam tanpa surat izin, setidaknya itulah kebiasaan Sean akhir-akhir ini kabur dari sekolah tanpa izin dan pulang ke rumah. Sean tahu bahwa jam segitu, mama dan papanya belum pulang dia akan bebas beristirahat di rumah. Butuh beberapa menit untuk Sean sampai ke rumahnya mengendarai motor ninja hadiah ulang tahunnya, dua tahun lalu saat dirinya baru masuk sekolah menengah atas. Namun seketika wajahnya pucat saat baru sampai di depan rumahnya itu. Beberapa orang pria berpakaian lusuh tampak sedang mengangkat komputer dan peralatannya ke gerobak kayu yang berada tepat di depan rumah Sean. “Ini ada apaan nih?” tanya Sean yang buru-buru turun dari motornya. “Saya disuruh Bu Anjani untuk mengangkat semua komputer dan peralatan game di rumah ini, Dek. Katanya gratis buat saya dan keluarga,” ujar Pak Tomo, pemulung keliling yang setiap hari lewat di depan rumah Sean. Mendengar itu membuat Sean kalap dan lari ke dalam rumah untuk menemui Anjani. “Ma! Mama!” teriak Sean dengan suara lantang, ia mencari dimana keberadaan Anjani . Anjani yang sedang repot mengeluarkan alat game Sean pun menaruhnya dilantai kemudian menatap Sean dengan santai ia menyodorkan tangan kanannya agar Sean dapat salim seperti biasa. “Eh anak mama udah pulang, kok jam segini udah pulang?” tanya Anjani dengan bingung, mungkinkah jam yang melingkar ditangan kanan Anjani salah? Sean tidak memperdulikan pertanyaan ibunya itu karena ia sedang panik dengan barang-barangnya yang diangkut oleh para pria berpakaian lusuh itu. “Ma, komputer dan alat-alat game Sean mau diapain itu kok diangkut sama Pak Tomo?” tanya Sean yang semakin panik karena sedikit lagi Pak Tomo akan meninggalkan rumah itu. Anjani berubah menatap Sean dengan datar, ia sebal sekali dengan putra tunggalnya itu yang membuat para guru bergantian menelepon atau memanggilnya ke sekolah akibat ulat Sean yang suka tertidur di kelas dan nilai yang semakin menurun. “Itu karena ulahmu yang membuat mama malu, setiap minggu ada aja surat panggilan dari sekolah. Bahkan mama ditegur oleh ibu-ibu komite sekolah bahwa kamu tidak layak menjadi anak seorang konglomerat!” kata Anjani tegas, ia benar-benar sudah muak dengan anaknya itu. “Tapi, Ma. Sean janji akan belajar dengan giat, jangan buang semua peralatan Sean, nanti Sean gimana mau ikut turnamen bulan besok?” tanya Sean mengiba, ia bahkan mengemis-ngemis pada Anjani agar mengubah pikirannya. “Ga ada tapi-tapian! Atau mama akan masukin kamu ke asrama kalau sampai kamu ngotot ingin mempertahankan barang itu dan mengulang tahun-tahun SMA!” ancam Anjani yang memelototi Sean. Remaja itu terdiam mendengar kata asrama dan mengulang masa SMA, sudah pasti ia akan menjadi tua di asrama tersebut, Sean menggeleng cepat. “Baik kalau itu keinginan mama, Sean akan memperlihatkan bahwa game tidak selamanya berdampak buruk! Sean akan buktikan dengan ujian nasional yang bagus dan lolos tes perguruan tinggi. Sean akan mengejar apa cita-cita Sean!” kata Sean dengan tegas kemudian meninggalkan Anjani sendirian di ruang tamu. Sekarang ia harus terbiasa hidup tanpa komputer dan alat pendukung gamenya, ia harus hidup tanpa itu semua setidaknya sampai ujian nasional berakhir dan ia lolos tes perguruan tinggi. Tekad Sean sudah tinggi tidak bisa diganggu gugat. Anjani hanya tersenyum miring, membuat Sean belajar giat memanglah mudah. Wanita paruh baya itu hanya perlu membuang semua barang kesayangan Sean dan mengancamnya walaupun Anjani tahu bahwa tidak pernah baik dalam sebuah ancaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD