Dermaga Bitung

3242 Words
Bryan Dyrell Langie (dibaca : Brayen Dayrel Langi), sebuah nama yang ke-barat-baratan, nama khas orang bule itu ternyata dimiliki oleh seorang pria remaja dengan tinggi tubuh sekitar 180 cm dan berat 70 kg, warga asli dari sebuah daerah di pelosok wilayah propinsi Sulawesi Utara, bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta. Sosok tegap seorang pria remaja berusia sekitar 18 tahunan, Reli begitulah nama yang menjadi akrab di telinga teman-teman bermainnya. Terlihat Reli menaiki anak tangga kapal Pelni, sambil menundukan kepalanya dalam-dalam, sesekali kepalanya terangkat dan menoleh ke bawah sekeliling dermaga, kakinya tetap melangkah menuju ke geladak kapal laut dengan rute Bitung-Jakarta. Hanya membawa tas ransel berbahan kanvas menggantung di pundaknya, tak ada lagi bawaan yang dia bawa, tak ada juga sanak family yang terlihat mengantar kepergiannya dari tanah kelahirannya tersebut. Berbeda jauh dengan sebagian para penumpang lainnya masih berada di bawah, di atas beton dermaga pelabuhan Bitung, ada yang masih berbincang-bincang, berpelukan, bahkan ada yang berurai air mata melepas orang-orang yang mereka cintai. Reli tidak pernah memperhatikan hal-hal sepele seperti itu. Baginya, kapal laut itu harus segera angkat jangkar dan pergi meninggalkan dermaga.Ya ..., dia harus secepatnya pergi meninggalkan kampung halamannya.sebuah peristiwa besar telah terjadi, menjadi triger atau pemicu bagi Reli untuk mengambil keputusan yang cukup nekat. Beberapa orang yang berpapasan dengannya dan sempat memperhatikan raut wajahnya, akan mendapati wajah pucat di wajahnya. Dengan bola mata yang selalu bergerak ke kiri dan ke kanan. Mencirikan sebuah kewaspadaan dan kecurigaan besar terhadap semua orang yang terlihat seperti menghampirinya. Reli harus meninggalkan orang-orang yang dicintai dan mencintainya, bahkan kepergiannya tanpa sepengetahuan mereka. Kedua orang tua dan dua orang adiknya yang masih duduk dibangku SMP dan SD. Bergegas Reli mencari tempat yang menurutnya strategis untuk mengawasi ke segala penjuru, sebuah posisi di sebelah pojok ruangan menjadi tempat yang pas baginya. Dia lalu meletakkan tas ransel yang seharian menggelayuti pundaknya pada sebuah dipan tempat tidur yang beralaskan selembar busa terbalut seperti kain jok kendaraan bermotor. Reli menghempaskan pinggulnya ke dipan itu lalu menarik kedua kakinya ke atas dipan tersebut. Dengan mata yang selalu waspada penuh curiga, mengawasi setiap orang yang memasuki ruangan kelas penumpang ekonomi kapal Pelni tersebut. “Maaf dik.., tempat di sebelah itu masih kosong kan?” Reli terhenyak dari lamunannya, dia tidak menyadari jika di dekatnya telah berdiri seorang wanita dewasa, berusia sekitar 30 tahunan menyapa dirinya. Reli tidak segera menjawab, karena ia terkejut dengan kondisi dirinya. Dari tadi dia mengawasi setiap orang yang masuk ke ruangan tersebut. Namun ternyata dia malah terbawa dan larut dengan rencana-rencana, yang sebenarnya masih kacau-balau dan berputar-putar di benaknya. Perlu dimaklumi, kepergiannya ini diluar rencana, bahkan mungkin memang tidak ada rencana seperti ini sebelumnya. “Aa...,, mmm..., ya kosong..., ya itu kosong...” jawab Reli kemudian dengan setengah gugup dan agak terperangah. “Permisi ya dik, saya mau ambil tempat itu...,” Kata wanita itu, sambil melangkah maju menghampiri dipan di sebelah Reli, lalu man semua tas bawaannya di tempat itu. “Pak .! Sebelah sini, Pak!” kata wanita itu setengah berteriak kepada seorang laki-laki paruh baya, yang bertubuh kecil tapi dilengkapi otot-otot tangannya tersembul, menandakan seorang pria yang kuat dan lincah. Laki-laki yang diteriaki wanita itu menoleh, dengan gesitnya dia melewati beberapa orang sambil membawa beberapa tas dan dus merk rokok nasional yang bertengger di atas kepalanya. Sambil menghampiri wanita tersebut. “Nah, ini semua barang ibu. coba ibu lihat dan hitung lagi jumlah semua barang bawaan ibu.” kata laki-laki kecil berotot itu pada wanita di sebelah Reli. “Sebentar ya pak..., eeemmm...., ya pak sudah semua ,” jawab wanita itu kepada lelaki tersebut sambil menyerahkan beberapa lembar uang 20 ribuan. Reli yang melihat percakapan di antara mereka, dengan tanggap dia ikut membantu merapihkan barang bawaan wanitu itu yang dia lihat cukup banyak. Sudah menjadi sikap Reli di kampungnya, kalau dia selalu siap dan tanggap terhadap orang-orang di sekitarnya yang sekiranya membutuhkan pertolongan dirinya, tanpa diminta. Wanita itu pun dengan cepat menyusun semua barang bawaannya sambil tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih atas bantuan Reli kepadanya. Setelah merasa cukup membantu wanita disebelahnya, Reli kembali mengambil posisi seperti semula, duduk di dipan dengan menaikan kedua kakinya yang masih bersepatu dengan melipat kedua tangannya di depan d**a. Wajahnya sesekali berputar mengelilingi seluruh ruangan penumpang ekonomi itu dengan mata yang terpasang waspada. Masih terbayang di benaknya, sebuah kejadian yang dia alami, sampai akhirnya dia membuat keputusan untuk pergi seperti sekarang ini. Semakin larut mengingat kejadian tersebut, semakin rumit jalan pikiran di otaknya. Beberapa kali dia menghela napas panjang yang disertai dengan keluhan-keluhan tidak terucapkan. Hatinya bergejolak, dipenuhi dengan dugaan-dugaan yang tidak pasti. “Buooooooong..., buoooooong....,buoooooooong.....!!!!” Terdengar peluit kapal Pelni, bagai lolong serigala yang memanggil kawanannya, dan itu cukup membangunkan pikiran Reli dari suara hati berkecamuk tidak menentu. “Para Penumpang yang terhormat, .......” terdengar suara dari beberapa speaker kecil yang menempel pada langit-langit kabin penumpang, yang menjelaskan bahwa kapal segera akan segera berangkat. Bertolak dari Dermaga Bitung menuju beberapa pelabuhan tujuan kapal, yang akan berakhir di pelabuhan Tanjung Priok – Jakarta. “Dik, ayo kita antri makanan,” Reli sedikit terkejut mendengar suara itu. Sedari tadi pikiran dan jiwanya terganggu oleh peristiwa yang dia alami. Baru dia tersadar bahwa ada tetangga sebelahnya yang sebelumnya dia bantu membereskan barang-barang bawaannya. “oh ya, Tanta...” jawab Reli, wanita itu sedikit tersipu, ketika Reli menyebut t-a-n-t-e kepadanya. “Apakah aku terlalu tua dihadapannya” Pikir wanita tersebut. Sementara Reli bersiap-siap untuk ikut antrian pengambilan makanan dengan melepaskan jaketnya yang sedari tadi dipakainya. Saat Reli beranjak, tiba-tiba langkahnya berhenti, lalu dia membalikan badannya kepada wanita tersebut sambil berkata “Tan..., tunggu ne, biar kita yang ba ambe makanan for torang samua, tanta bajaga akang tu tampa deng barang-barang samua ini.” (Tante, tunggu di sini, biarkan saya yang mengambil makanan untuk kita berdua, tante menjaga tempat ini dan semua barang-barang bawaan kita). Wanita itu pun berhenti melangkah, sambil berusaha mencerna apa yang dimaksud oleh kata-kata yang diucapkan Reli secara cepat kepadanya, tidak lama kemudian, dia anggukan kepalanya kepada Reli, sambil tersenyum, tanda menyetujui usul Reli. Reli lalu melangkah menghampiri barisan orang-orang yang mengantri untuk ambil makanan. Di kapal itu akan disediakan makanan dari sarapan, makan siang, hingga makan malam, karena perjalanan itu akan ditempuh sekitar 5 hari untuk rute Kota Bitung-Jakarta. Dian, itulah wanita usia 30 tahunan yang sekarang ini berada di sebelah Reli. Dian Setyorini sebenarnya telah berusia 34 tahun saat itu, dia memiliki usaha yang cukup lumayan di Kota Bitung- Sulawesi Utara. Dengan usaha kuliner yang telah dia tangani selama 10 tahun ini, sebetulnya, dia sangat berkecukupan secara materi. Usaha yang dia rintis bersama mendiang suaminya berkembang dengan baik. Mungkin dapat disebutkan yang dulunya hanya sekedar warung nasi telah berkembang menjadi sebuah Restauran yang terkenal di sekitar kota Bitung. Dia malah telah merambah usaha yang lain, agro bisnis di sekitar Kabupaten Minahasa Utara. Nama ‘Mba Dian’ sudah banyak di kenal oleh para bandar dan tengkulak dikalangan Agro Bisnis seputaran Propinsi Sulawesi Utara. Kalau hanya tiket pesawat untuk pulang ke kampung halamannya dia mampu membayarnya. Tujuannnya saat ini adalah Kota Gresik Jawa-Timur. Suaminya meninggal 2 tahun lalu, dalam beberapa bulan terakhir, Dian merasakan letupan-letupan yang mengarahkan dirinya untuk melakukan sesuatu. Ada dorongan yang semakin hari semakin kuat memaksanya untuk segera dilakukan. Dian tidak kuasa menghentikan dorongan tersebut, semakin ditahan semakin besar tenaga dorongan itu. Seperti halnya membebaskan dirinya dari segala keterikatan, bebas berpetualang. Mungkin pula dapat dipahami, ketika dia menikah masih belia pada usia 17 tahunan. Warno sang suami melepaskan dahaga seksualnya saat Dian mau naik ke kelas 3 SMA. Sebetulnya hubungan mereka ditentang oleh masing-masing keluarga. Masing-masing pihak keluarga tidak berkeinginan mereka menikah muda. Mereka masih terlalu muda untuk membentuk keluarga, namun bagi Warno dan Dian hal itu mereka anggap sebagai penghalang terbesar dalam menikmati masa muda mereka, menikmati derasnya aliran-aliran darah muda mereka. Sehingga keduanya pun mengambil keputusan yang berani, lari meninggalkan kota kelahiran mereka dengan berbekal tabungan uang jajan yang berhasil mereka simpan selama ini. Karena memang keduanya dilahirkan dari keluarga-keluarga yang berlebihan secara materi. Dian dan Warno ingin membuktikan bahwa anggapan keluarga besar mereka masing-masing adalah salah. Mereka pun memulai hidup mandiri, dengan keringat dan darah sendiri. Saat ini sengaja Dian memilih perjalanan kapal laut, dengan berbagai alasan tentunya. Pertama; Dengan demikian dia dapat membawa barang-barang yang cukup banyak, agar dapat dibagikan kepada sanak famili di kota kelahirannya. Kedua; Dian mengikuti keinginan hatinya, berpetualang, namun sayang, Warno tidak lagi mendampinginya, tidak mengapa, dia bebas melangkah kemanapun yang dia sukai. Kelas ekonomi sengaja dipilihnya, walaupun dia mampu membayar tiket VVIP di kapal itu. Tetapi demi mengikuti desakan dalam dirinya semenjak kematian Warno, suaminya akibat kecelakaan maut, yang menghabiskan satu dari tiga kendaraan roda 4 miliknya itu. Ada hasrat dalam dirinya untuk mengenal dunia yang lain, dunia yang selama ini masih asing namun menggoda untuk digelutinya. Penampilan Dian mungkin bukan penampilan gadis remaja, tapi Dian selalu memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Terbukti dengan usaha yang dia jalani selama ini yang membawa kesuksesan secara materi. Banyaknya para pelanggan yang menjadi langganannya dan merasa beruntung jika ‘mba Dian’ menjalin hubungan bisnis dengan salah satu di antara mereka. Wajah Dian masih mulus dan terawat, dengan kulit tubuh kekuningan, hidung mancung dengan bukit hidung sedikit terangkat ke atas, rambut tergerai lurus sebahu, dengan tinggi tubuh 160 cm dan berat 58 kg. Dengan bentuk tubuh yang masih indah, pinggang ramping, pinggul membusung ke belakang dengan belahan yang sangat menggoda, membulat penuh pesona. Apalagi saat Dian melangkahkan kakinya, bagi sebagian lelaki yang kurang teguh imannya cukup membuat mata mendelik. Belum ditambah lagi bentuk d**a yang masih membusung padat mengangkat ke atas. Dian memang selalu merawat kondisi fisiknya, melalui pengetahuan ramuan-ramuan tradisional yang dulu pernah dia tahu dari sang bunda. Warisan keluarganya yang asli orang Jawa, yang konon memiliki pengetahuan perawatan yang lebih lengkap tentang perawatan tubuh manusia, terutama mempertahankan kesehatan kulit agar tetap lentur, kuat, sehat dan terawat. Cukup Lama juga Dian menunggu kedatangan Reli, karena memang antriannya cukup panjang, walau itu sudah dipecah- pecah beberapa jalur antrian menuju tempat pembagian ransum makanan. Akhirnya Reli pun datang juga menghampirinya, Dian menatap lurus ke depan , menatap lekat ke sekujur tubuh Reli tanpa diketahui oleh pemiliknya. “Anak muda yang gagah dan ganteng, namun masih polos dan lugu” bisik hatinya tentang Reli. Dian sudah terbiasa menghadapi banyak orang, sesuai dengan kondisi bisnis yang digelutinya. Dia sudah terbiasa menilai dan menganalisa tiap-tiap orang yang akan dihadapinya, ‘Amati, Analisa lalu Ambil untung’ (A3). Menjadi motto dalam hidupnya selama ini. Sementara Reli, seperti kebanyakan anak-anak remaja di daerahnya, melihat seorang wanita dewasa yang kelihatannya sudah menikah akan selalu di panggil Tante, dan pria menikah akan dipanggil dengan sebutan Om di belakang namanya. Itulah sebabnya, Reli langsung memanggil tante terhadap Dian, karena baginya, Dian terlihat sudah dewasa dan matang. Sekalipun demikian, Reli baru menyadari bahwa wanita di hadapannya selain dewasa dan matang, wajahnya termasuk cantik dan menarik. Busana yang membungkus tubuh wanita itu sedap dipandang mata. Blouse berbahan katun yang lembut berwarna merah muda dengan potongan agak rendah di bagian lehernya sehingga dua organ seksual di d**a wanita itu membentuk bulatan yang fantastis, melengkung sempurna yang berpadu dengan sepotong blazer berlengan tiga per empat berwarna hitam tanpa kancing depan, sangat kontras dengan warna kulit lengannya yang sebagian ditumbuhi bulu-bulu halus. Rok sebatas lutut dengan warna yang sama dengan blazer yang dikenakannya. Dengan sepasang sepatu sneaker dua warna paduan putih dan merah muda menghiasi bagian kakinya . Reli sekilas melihat mulusnya kaki Dian, saat kaki itu mengangkat ke atas dipan busa, Dian memberi jalan untuk Reli. Dian tahu kakinya sedikit menghalangi lorong yang akan dilalui oleh Reli ke arah dipan tempat tidurnya. Reli merasa sedikit lega, karena kapal telah meninggalkan dermaga, artinya, setelah melalui pengawasan dan pengamatannya, disekeliling ruangan itu tidak ada satu orang pun yang dia kenali dari kampungnya, semuanya terlihat orang-orang asing dan mereka pun tidak mengenal , siapa pemuda remaja dalam kabin penumpang itu. Reli menarik napas panjang, “Kenapa dik?” tanya Dian, “Oh..., nyanda apa-apa Tan”(tidak apa-apa tante) Jawab Reli, “Husss, kenapa panggil saya tante?” kata Dian kembali sambil memalingkan wajahnya ke arah lain, “Oh, keapa dang?” (Oh, kenapa?) jawab Reli sedikit gugup. Dian hanya diam sambil matanya menatap makanan yang tadi diberikan Reli kepadanya. Ada raut kecewa di wajahnya ketika dia melihat menu makanan yang ada di tangannya. “Makanannya seperti ini?, huh lebih baik aku ambil makanan bekalku saja.” Gerutu Dian dalam hatinya, sambil dia menurunkan kedua kakinya. Dian bermaksud mencari tas yang memang telah dipersiapkannya berisi macam-macam makanan kesukaannya, dari restauran miliknya. Tanpa dia sadari rok yang dia kenakan sedikit bergeser, menyingkap sebagian paha mulusnya dan celana Short pant berwarna putih saat dia ber-ingsut. Walau sekilas, peristiwa itu tanpa sengaja terlihat oleh Reli. Reli sempat menghentikan kunyahan makanan dalam mulutnya, baginya baru kali ini dia melihat hal seperti itu. Bukan berarti dia tidak pernah melihat paha perempuan sebelumnya, tetapi wanita yang dihadapannya itu sangat menarik hatinya. Logika Reli belum mengetahui alasan lainnya, kenapa bentuk paha Dian seperti barang yang istimewa, seperti sesuatu yang lain dari biasanya. Sebuah peristiwa besar telah terjadi dan mengguncang jiwanya, Reli membuat keputusan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Sebelumnya, Reli hanya tahu dan menuruti apa yang diperintahkan kedua orang tuanya demi membantu meringankan beban pekerjaan keluarga mereka. Masa remajanya jauh dari pergaulan yang mengarah ke hal-hal yang berbau erotis, walau banyak gadis-gadis remaja di kampungnya yang berusaha menarik-narik perhatiannya. Baginya hanya kepentingan kedua orang tuanya dan kedua adiknya-lah yang menjadi perhatian utamanya. Reli sebenarnya memiliki bakat yang luar biasa, selain kepatuhannya terhadap orang tuanya, dia memiliki ketajaman ingatan yang sangat kuat. Terbukti dengan nilai ujian sekolahnya yang baru saja dia selesaikan di tingkat SMA itu dengan nilai yang memuaskan. Sekali dia mempelajari sebuah ilmu atau teori, maka semua itu akan tertanam kuat di otaknya. Namun karena konsentrasi belajarnya selalu dia bagi untuk tugas-tugas yang lainnya, seperti tugas-tugas yang dibutuhkan oleh kedua orang tuanya, maka keistimewaan otaknya belum nampak. Kembali Reli menatap makanan dihadapannya. Tadinya dia mau menanyakan kepada Dian, mengapa Dian sepertinya agak ketus terhadapnya, padahal dia sudah mengambilkan makanan buat Dian. Namun matanya malah menangkap kilatan benda indah yang penuh goda, ada desiran yang mengalir dalam tubuhnya dan mempengaruhi isi kepalanya. Yang sebelumnya berisi dengan kekhawatiran dan kecemasan dalam sekejap berubah menjadi perasaan asing yang menggelegak dan melekat. Kilatan paha Dian sangat membekas di otak Reli, menggangu selera makannya. Padahal sebelumnya dia sudah sangat lapar. Semenjak dia lari dari kampungnya, dari kemarin siang sampai se-sore ini belum masuk sebutir makanan, karena rasa cemas dan kekhawatirannya telah menghilangkan selera makannya. Kini malah ada hal baru lagi mengganggu seleranya. “Dik, makan ini saja, jangan makan yang itu” kata Dian, yang menyadarkan Reli kembali. Sambil meng-angsurkan sebuah kotak makanan, Dian pun terlihat mengunyah makanan yang ada pada mulutnya. Reli menatap tangan yang menyodorkan kotak itu, tangan yang mulus dengan jari-jari yang kecil meruncing yang terawat sangat bersih. “Makanan itu tidak enak, juga tidak membangkitkan selera.” Lanjut Dian. Bagi Reli, sebelum dia tergoda oleh kilatan yang ditimbulkan oleh Dian, makanan apapun akan terasa enak di perutnya yang memang sangat lapar. Apalagi di kampungnya, Reli sudah terbiasa menyantap jenis hewan apapun untuk di olah menjadi makanan. Yang penting makanan itu berasa garam. Pengolahannya terserah, mau dibakar, dipanggang dalam bara api, atau direbus di dalam air panas agar sedikit empuk dan tidak terlalu liat. Baginya ada istilah yang berlaku, ‘Kalo Tau Setang tu badaging, Torang So Makang Dari Dulu’. (Kalau Tahu Setan itu berdaging, kita sudah makan dari dulu). “Terima kasih...mmmm...” jawab Reli menggantung, yang segera dipotong oleh Dian, ”panggil saya Mba Dian”. “Oh..., ya..., mmmbba Dian, saya Reli.” Jawab Reli kembali. Dian tersenyum mendengar ucapan Reli, karena Reli berusaha menghilangkan logat daerahnya dengan mengatakan untuk dirinya sendiri dengan kata ‘SAYA’. Segera saja Reli membuka kotak makanan yang tadi disodorkan Dian kepada dirinya. Dan tidak butuh waktu lama, makanan dalam kotak itu habis dibabat oleh Reli karena memang sangat enak dan lezat. Namun perut Reli masih belum puas, porsi kotak makanan yang disodorkan Dian kepadanya belum ‘nendang’. Kelihatan sekali kalau Reli masih menahan rasa laparnya. Dia melirik-lirik ransum makanan yang diletakan tidak jauh darinya, dan dengan tersipu malu, perlahan-lahan tangan Reli merayap mengambil ransum itu, mengambil sebuah sendok lalu menyantapnya. Dian hanya melirik saja melihat nafsu makan Reli. Karena dia pun tahu kalau sebagian besar penduduk dimana dia memulai dan sampai memiliki bisnisnya, terkenal kuat makan. Apalagi anak muda seperti Reli yang kelihatan kuat dan kokoh ini, pastilah membutuhkan asupan energi yang cukup besar dalam bentuk makanan. Nafsu makan Reli tidak berhenti hanya di situ saja, ransum yang tadinya untuk Dian pun dia sikat habis, bahkan sisa makan Dian pun, yang tidak dihabiskan oleh Dian, lolos masuk semua dalam perutnya. Reli memberikan alasannya bahwa, ‘jangan pernah membuang makanan, ini berkat dari Tuhan’. Dian tersenyum sambil diikuti tawa kecilnya melihat nafsu makan Reli yang menurut dia termasuk dahsyat. Melihat senyum Dian, Reli diam-diam menikmati kecantikan wajah Dian, ada ketertarikan hati Reli terhadap Dian. Reli belum mengerti bahwa itu semua adalah hasrat birahi semata, yang terjadi pada lelaki seusia dengannya. Sedikit demi sedikit suasana pun menjadi cair diantara mereka, baik Dian maupun Reli, terjadi percakapan yang akrab. Lebih banyak Dian yang selalu memulai percakapan, karena Dian lebih tua dan berpengalaman dan Dian tahu cara menghadapi orang muda seperti Reli. Dian merasa nyaman dengan Reli, bahkan saking percayanya, Dian membuka sebagian jati dirinya kepada Reli, hanya sebagian saja, apalagi karena Dian membutuhkan semacam pengawal dalam perjalanannya kali ini. Mereka harus melalui perjalanan itu selama berhari-hari. Dian menilai Reli adalah seorang anak muda dengan fisik yang kuat, kokoh dan lentur, otaknya masuk kategori cerdas namun hatinya masih polos untuk pemuda seusia itu. Terkadang Dian melihat, ada semacam kecemasan yang tersirat dari wajah polos itu, satu hal yang menarik bagi Dian terhadap Reli selain postur tubuh yang cukup tinggi dengan berat badan proporsional. Wajah Reli semakin menarik ketika dia menyeringai. Entah bagaimana, tarikan bibir Reli terlihat indah dan sedap dipandang mata, dagunya yang agak persegi dengan rahang yang kuat, ditopang oleh lingkar leher yang tegap, bahu yang melebar dengan d**a yang tebal. Benar-benar seorang pejantan pilihan, pemuda kampung yang baru turun gunung. Bagi Reli, Dian itu adalah seorang wanita dewasa yang cantik menarik, walau terkadang tatapan mata Dian terlihat berkilat dibarengi dengan sedikit menggigit bibir bawahnya. Reli tidak mengerti apa arti tatapan mata seperti itu. Percakapan diantara mereka berdua pun berlangsung cukup lama, sedikit demi sedikit Reli pun mulai melupakan peristiwa dimana dia akhirnya harus berada dalam kapal itu dan akhirnya berkenalan dengan seorang wanita yang sudah dewasa, yang dia panggil dengan sebutan ‘Mba Dian’. Sementara Dian memanggil Reli hanya menggunakan nama saja. Dan orang-orang disekitar merekapun menyangka bahwa mereka berdua ada hubungan kekerabatan seperti adik dan kakak. Tidak terasa waktu yang berdetak kian larut, percakapan mereka berakhir saat rasa kantuk keduanya mulai terasa, ditambah kelelahan masing-masing dari mereka sewaktu mencari tempat seperti sekarang ini yang menghabiskan energi cukup besar. Dian yang tertidur duluan, namun sebelumnya dia sempat meminta Reli membantunya menjadi semacam penghalang bagi pandangan orang-orang lain saat dia mengganti baju luarnya dengan baju tidur yang sudah dia persiapkan. Dian menarik salah satu jaket miliknya untuk digunakan sebagai selimut. Sementara Reli tertidur dengan pakaian yang dari tadi belum dia ganti. Karena pakaian yang dia bawa hanya satu tas ransel itu saja, tiga potong kaos oblong, dua kemeja lengan pendek dan lengan panjang, 3 potong celana berbahan jins termasuk yang saat itu di pakainya serta beberapa celana dalam berikut satu buah jaket yang tadi siang dipakainya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD