Bab 1

2049 Words
Aku diam mematung menyaksikan pria tampan itu dari tempatku duduk. Hm, aku sedang ada di salah satu cafe tempat dimana biasanya aku melakukan pekerjaanku. Menulis. Tempat ini sangat nyaman untukku, dan menjadi saksi dari beberapa buku tulisanku. Apa yang begitu menarik dari pria itu? Dia menggendong seorang bayi di pangkuannya. Bayi yang mungkin masih sekitar satu tahunan. Ia menyuapkan roti ke mulut kecil bayinya dengan lihai. Hanya itu? Tentu saja bukan itu yang menjadi fokusku. Tapi si pria tampan itu. Wajahnya dengan pahatan yang sangat sempurna, alis tebal serta bulu mata lentik menghias mata hazelnya yang indah dan tajam. Aku sangat iri untuk hal yang satu itu. Kemudian hidung mancung dan runcing sempurna, di bawahnya bibir penuh yang begitu menggoda dengan warna merah muda. Aku yakin kalau pria itu tidak merokok. Di rahangnya, terdapat bulu-bulu bekas cukuran menumbuh lagi. Sangat maskulin. Rambutnya dipotong sangat rapi. Jangan lupakan tubuhnya yang terlihat sangat atletis di balik kaos biru donker yang dia kenakan. So damn sexy. Dan apa yang ada di pikiranku sekarang? Apakah dia seorang ayah dengan tubuh sexy itu? Siapa wanita beruntung itu? Seorang wanita kemudian terburu mendatanginya. Hm, aku yakin itu bukan istrinya kalau memang dia sudah menikah. Penampilannya terlalu jauh. Dan dari seragam itu, bisa dipastikan kalau wanita itu adalah pengasuh anaknya. Aku mendesah panjang. Masih sangat penasaran seperti apa wanita yang telah mendapatkan pria setampan dia? Apakah dia lebih cantik dariku? Astaga! Aku pikir aku akan gila hanya karena melihatnya. Pandangan kami bertemu sesaat dan langsung aku putus dengan berpura fokus pada laptopku yang masih menyala di meja. Karenanya, aku jadi tidak fokus pada tulisanku. Tapi sepertinya aku bisa memasukkan dia dalam ceritaku nantinya. "Hai." Seseorang menyapaku hingga membuatku mendongak melihatnya. Eh? Kenapa dia ada di sini? Apa aku ketahuan olehnya? "Oh, mm, hai," balasku gugup. Jelas saja gugup. Didatangi pria setampan Nick Bateman, apalagi karena ketahuan memandanginya penuh nafsu. Dia mengambil posisi duduk di hadapanku. Otomatis pandanganku mengarah padanya, sekalipun aku berusaha untuk fokus pada layar laptopku. "Apa kau tertarik denganku?" What? Oh bumi, telan aku sekarang! Kenapa dia to the point sekali sih? Kalau ada yang mendengar, harus ditaruh mana mukaku? Aku hanya meringis, tak menjawab pertanyaannya. "Tapi aku tak tertarik dengan gadis sepertimu. Jadi berhentilah memandangiku. Hal itu membuatku sangat risih." Dia berdiri dengan cepat dan berlalu dari hadapanku. Dari ujung mataku masih bisa kulihat dia kembali pada anak kecil di pangkuan wanita itu. Ough! Dadaku terasa sangat sesak. Seakan ditimpa ribuan ton batu. Kalau memang dia hanya memberitahukanku hal itu, dia tidak perlu harus menemuiku seperti itu. Lagipula belum tentu kami akan bertemu di masa yang akan datang. Dan, apa itu? Aku baru saja ditolak bahkan sebelum mengatakan apa-apa? Oh, ini sangat memalukan! Seberapa hina diriku hingga tak layak hanya untuk mengaguminya? Oke, aku akui kalau dia memang makhluk sempurna secara fisik. Tapi sikapnya seketika membuatku sebal. Kualihkan pandanganku ke arah lain. Tidak ingin melihat wajah itu lagi. Bahkan aku menukar tempat dudukku agar tidak lurus menatap padanya. Sekuat tenaga melupakan tentangnya dan berusaha fokus dengan tulisanku. Ugh, moodku sudah sempat jelek. Ini akan berimbas pada tulisanku. "Mbak Hana, ya?" Kulihat dua orang gadis remaja masih dengan seragam sekolahnya berdiri di depanku. Aku masih berpikir siapa mereka, tapi kemudian aku membalasnya dengan berdehem dan menganggukkan kepala. Memberikan senyuman tipis. "Ya ampun, Mbak. Nggak nyangka banget ketemu di sini. Kami fans Mbak. Aku suka banget sama tulisan-tulisan Mbak. Apalagi novel Cahaya Cinta Demon, suka banget sama Demon-nya, Mbak. Kapan lagi ngeluarin buku, Mbak?" tanya si gadis dengan rambut sebahu. Wajahnya terlihat sangat girang. "Secepatnya," balasku tersenyum. Kehadiran mereka seperti mengembalikan semangatku. Gadis dengan rambut panjang di sebelahnya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Ah, aku kenal dengan buku itu. Itu adalah karya pertamaku dulu. Di Bawah Sang Rembulan. Dengan cepat dia membukakan halaman depannya untukku. "Boleh minta tanda tangannya nggak, Mbak?" tanyanya penuh harap. Aku mengangguk. Ia kemudian menyerahkan pulpen yang juga sudah disiapkan olehnya. Kububuhkan tanda tanganku di sana, bersama nama dan tanggal. "Nama kamu siapa?" tanyaku. "Raina Cahyadi," balasnya. Aku menuliskan sesuatu di lembar itu untuknya. Gadis pertama tadi ternyata ikutan mengeluarkan novel dengan judul yang dia sebutkan tadi dan meminta hal yang sama. "Nama kamu siapa?" tanyaku padanya. "Sandra Alessia." Seperti sebelumnya, aku menuliskan sesuatu juga untuknya. "Makasih, Mbak," kata keduanya bersamaan. "Kalau foto bareng bisa nggak?" tawarnya lagi. Mumpung hatiku kembali baik, aku meladeni permintaan mereka. Lagian ini memang jarang kulakukan. Tidak banyak yang tau kalau aku suka nongkrong di cafe ini. Senyumku masih mengembang saat mereka berlalu. Nah, kalau begini akan lancar untuk projekku selanjutnya. *** Saat melirik jam di sudut layar laptopku, ternyata ini sudah sangat sore. Pandanganku beralih ke luar jendela. Hujan. Kututup laptopku dan kumasukkan dalam tas yang kubawa. Kedua tangan bersidekap di d**a dan punggungku kusandarkan ke kursi. Lebih memilih untuk menikmati hujan di luar sana. Aku sangat menyukai hujan, tapi bukan untuk bermain di bawahnya. Hanya sekedar memandanginya. Ada perasaan tersendiri saat melihatnya. Seperti kata orang, 'berapa kalipun hujan terjatuh ke bumi, dia tidak akan pernah bosan'. Panggilan dari seorang pelayan membuyarkan lamunanku. Dia memberikan selembar kecil kertas yang berisikan beberapa baris tulisan. "Ada yang menitipkan untuk Mbak," kata pelayan itu. Galen. Pria itu sudah sangat kenal denganku. Lebih tepatnya, kami bahkan sudah berteman sejak aku setiap hari berada di tempat ini. "Siapa?" tanyaku bingung. Dia hanya menggelengkan kepala. "Dia nggak ngasih tau namanya, Mbak." Galen berbalik meninggalkanku. Kau pasti sedang menikmati hujan sekarang, dengan kedua tangan terlipat di d**a dan punggung disandarkan ke kursi. Posisi paling nyaman. Apa kau baik-baik saja? Aku merindukanmu. Sudah bisa kutebak. Tidak ada orang yang tau kalau aku suka hujan kecuali keluarga dan pria masa lalu itu. Dan sungguh tidak mungkin kalau keluargaku yang memberikan pesan di atas kertas ini. Sudah pasti itu dia. Pacar pertama dan satu-satunya yang pernah aku miliki hingga umurku yang ke dua puluh lima tahun ini. Sean Nicholaus Hardy. Pria berdarah Amerika yang berhasil merebut hatiku beberapa tahun yang lalu. Harus berakhir saat dia bersikukuh melanjutkan karirnya di Hollywood. Tentu saja aku tidak ingin menjadi penghalang mimpinya. Dan LDR, bukan hal yang kuinginkan. Aku tidak yakin akan bisa bertahan dengan status seperti itu. Apalagi di sana dia akan berada dalam lingkungan yang di sekelilingnya terdapat wanita-wanita cantik dan seksi. Hm, lupakan saja. Tapi apakah dia ada di tempat ini? Kuedarkan pandanganku. Memeriksa setiap sudut cafe, tapi aku tidak menemukannya. Hm, dia pasti sudah meninggalkan tempat ini. Bukan hal mudah untuk seorang bintang berada di tempat sebebas ini dalam waktu yang cukup lama. Tanpa memikirkannya, aku kembali menikmati hujan di luar jendela. Lagipula, sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi untuknya setelah kesendirianku beberapa tahun ini. Dia hanyalah sebatas masa lalu. *** Hari ini, entah kenapa aku tidak berminat untuk melanjutkan kegiatan menulisku. Rasanya ingin mencari udara segar di luar. Ada ikatan batin atau apalah, adikku memintaku untuk memilihkan sesuatu untuk diberikan pada kekasihnya. Kebetulan sekali. Jadi aku punya teman jalan-jalan ke luar. Setidaknya aku akan mengajaknya menonton. Sip! "Hadiah buat apaan emangnya?" tanyaku saat dia menelefon. "Ulang tahun, Kak. Harus sesuatu yang berkesan ya," balasnya dari seberang sana. "Hm. Kamu jemput Kakak, kan?" "Iya, sejam lagi aku nyampe. Jadi sebaiknya Kakak bersiap dari sekarang, aku nggak mau nungguin Kakak dandan selama tiga jam. Kalau begitu lebih baik kalau aku pergi sendiri." Sudah bisa ditebak. Dia sangat tidak menyukai kebiasaan cewek yang satu itu. Berdandan cukup lama padahal hanya pergi ke mall, bukan ke kondangan. Tepat saat aku menyelesaikan persiapanku, kudengar seseorang membuka pintu apartemenku. Itu pasti dia. Kusambar tasku yang sudah kusiapkan di meja rias dan bergegas menemuinya. "Oh, cepat sekali? Tau begitu, aku tunggu di bawah saja," katanya. "Kamu yang bilang harus cepat. Lagian kenapa tidak telfon atau sms saja?" kekehku. Dia mendengus. "Biasanya cewek nggak bakal angkat telfon kalau lagi dandan. Apalagi balas sms," balasnya. Kutepuk lengannya. "Itu kebiasaan pacar kamu aja, kali," ledekku. Bima Nathaniel. Adikku satu-satunya yang hanya selisih dua tahun denganku. Tentu saja sangat dekat denganku. Bahkan dia selalu menjadi pelindungku di saat-saat tertentu. Tidak pernah mampu menyembunyikan masalah pacarnya denganku, demikian denganku. Dan tidak jarang meminta saranku, seperti saat ini. "Sekalian nonton boleh kali ya? Kakak lagi bosan nih," pintaku setelah kami berada dalam mobilnya yang di parkir di basement. Dia hanya berdehem. Melajukan mobilnya secepat mungkin. Aku menyelipkan tanganku di siku lengannya. Berjalan layaknya sepasang kekasih. Tapi, sorry, aku belum gila hingga mencintai adikku lebih dari seorang adik. Kami berjalan menyusuri pertokoan di mall. "Bagaimana dengan kalung?" tanyaku. "Apa tidak terlalu dewasa memberikan perhiasan seperti itu? Kalau di usia Kakak sih aku pikir wajar-wajar aja. Tapi dia bahkan masih anak kuliahan, Kak," tolaknya. Aku tidak tau apa yang ada di pikiran adik tampanku ini saat menyatakan cinta pada gadis beruntung itu. Dia sudah bekerja, tapi memilih anak kuliahan menjadi labuhan hatinya. Apakah tidak ada gadis di kantornya yang bisa menarik perhatiannya? "Jam tangan?" tanyaku. Dia terlihat seperti sedang berpikir. "Dompet?" tanyaku lagi. Bukannya memberikan saran, ini malah menawarkan segala bentuk kado yang bisa diberikan. "Jam tangan kayaknya bisa." Kami akhirnya memilih untuk melihat jam tangan. Eh, tunggu. Aku tidak salah lihat kan? Kusipitkan mataku untuk lebih fokus melihatnya. Iya, benar. Itu adalah pria songong di cafe kemarin. Sial. Kenapa aku harus bertemu lagi dengannya? Padahal kemarin aku sudah mendoakan untuk tidak bertemu lagi dengannya. Baru sehari, sudah bertemu lagi. Segera kupalingkan wajahku sebelum dia menyadari kehadiranku. Berpura meneliti beberapa jam di balik kaca yang mungkin cocok untuk kado adikku. "Bagaimana dengan yang ini, Kak?" tanya Bima mengangkat jam yang dia pegang. Aku menelitinya sejenak. "Bagus," komentarku pendek kemudian beralih kembali, siapa tau menemukan sesuatu yang lebih bagus. "Tidak dapat yang sesuai dengan umur, akhirnya jalan sama berondong, huh?" Apa? Aku memutar tubuhku dengan cepat. Menatap marah padanya. "Apa maksud Anda?" desisku. Enak saja dia menuduhku sembarangan. Dan lihatlah, dia yang menghampiriku. Apa jangan-jangan dia yang tertarik padaku. Dia tertawa sumbang. Sudut bibirnya terangkat, terlihat sangat meremehkan. "Anda ada masalah dengan kakak Saya?" tanya Bima dengan pembelaannya seperti biasa. Dia melupakan sejenak masalah jam tangan yang tadi. Berdiri tegak di sebelah pria itu. Walau beda usia, keduanya terlihat begitu mempesona di tingkat kedewasaannya masing-masing. Lagi-lagi pria itu tertawa sumbang. Ugh, ingin rasanya menyumpal mulut itu dengan keset jelek yang sudah tak terpakai lagi, milik mama di rumah. Apakah dia merasa paling hebat di dunia ini? "Kakak, huh?" tanyanya penuh sindiran. "Ya, dia kakak Saya. Ada masalah?" tanya Bima tak gentar sedikit pun. Aku meraih tangan Bima yang mengepal di sebelah tubuhnya. "Bima, lupain saja. Kakak juga tidak kenal dengannya. Tidak perlu dimasalahkan. Kita selesaikan ini dulu," kataku. Bima menatap tajam pada pria itu sebelum akhirnya menuruti kata-kataku. Aku tidak tau lagi apa yang dia lakukan di belakangku setelah itu. Aku hanya mengabaikannya saja. Terserah dia mau guling-gulng sambil koprol, atau apa saja yang dia suka selama tidak mengganggu ketenanganku, aku tidak peduli. Pilihan kami jatuh pada salah satu jam dengan bentuk love yang unik, berwarna pink karena kebetulan gadis yang akan dihadiahi jam itu sangat menyukai warna pink. Sangat umum, seperti layaknya gadis lainnya. Tidak ada yang berubah dari rencana awal kami. Menonton salah satu film yang baru keluar belakangan ini. Setelah menonton, tentu saja harus makan. Kegiatan rutin yang tak pernah terlupakan. Perjalanan pulang dimanfaatkan oleh Bima untuk mengorek informasi lagi. "Yang tadi siapa, Kak? Kakak nggak pernah cerita ada cowok kayak gitu," tanya Bima kepo. "Kakak juga nggak kenal, Bim. Kemarin nggak sengaja ketemu di cafe. Kakak juga nggak percaya kalau dia ingat Kakak sampai nyamperin gitu." "Memangnya apa yang Kakak lakuin sampai dia bilang gitu?" Aku menggeleng, teringat akan diriku yang kemarin sempat memuja pria itu. Aku menyesalinya. Andai saja bisa diputar kembali, aku lebih memilih untuk tidak melihatnya sedikit pun. "Kenapa Kak?" ulang Bima saat aku tak juga menjawab pertanyaannya. "Kakak hanya nggak sengaja menatapnya," balasku pada akhirnya. Semoga saja Bima tidak menanyakan lebih jauh lagi. "Kakak nggak jatuh cinta pada pandangan pertama 'kan sama dia?" tanyanya lagi disertai lirikan tajam dari sudut matanya. "Well, Kakak akui awalnya tertarik sama dia. Hanya sekedar tertarik, tidak jatuh cinta seperti yang kamu bilang. Tapi setelahnya Kakak menarik kembali kata-kata Kakak kalau Kakak tertarik sama dia. Lagian yang unik dari dia hanya karena dia kemarin menggendong anak kecil. Kakak hanya penasaran wanita seperti apa yang sudah berhasil ditaklukkan oleh wajah tampannya." Pada akhirnya aku harus menceritakannya juga pada Bima. "Jadi dia udah punya anak?" Hanya deheman yang menjadi jawaban untuk pertanyaan Bima. Aku memalingkan wajah, menatap ke luar kaca mobil. "Dia pasti lagi mencari istri baru," celutuk Bima pelan masih mampu kudengar. Tapi sama sekali tidak kutanggapi. Aku memilih tetap diam. Jika aku membalasnya, maka pembicaraan akan semakin panjang dan berlanjut tentang pria itu. Hal itu sangat mengganggu. Lagipula, bukan urusanku kalau dia mencari istri baru sekalipun. Itu haknya. Aku tidak mengenalnya dan demikian juga sebaliknya. Tidak ada jaminan kalau kami akan bertemu lagi di masa depan. Anggap saja dua hari ini hanya kebetulan semata, atau kesialan untukku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD