Bab 01: Akasia Zaenal Lunia

1737 Words
Akasia Zaenal Lunia adalah gadis kelas 12 SMA Tarakamita 01 Jakarta Utara, gadis yatim piatu yang tidak punya apapun untuk Ia gunakan sebagai ajang pamer. Iya, tidak seperti semua temannya yang mempunyai ke dua orang tua lengkap dan juga kecukupan finansial. Akasia adalah gadis mandiri yang setelah sekolah akan bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah coffe yang cukup terkenal di daerah pluit, Boya Eatry. Gadis 17 tahun itu bahkan tidak pernah merayakan ulang tahun layaknya gadis seangkatannya yang akan mengadakan pesta besar-besaran untuk sweet seventeen mereka. Jangan kan untuk berulang tahun, tidak ada yang mengingat hari spesial Akasia itu malahan. Dan hal itu sudah biasa bagi Akasia, tidak ada yang Ia sesali dari tidak merayakan ulang tahun. Baginya, Ia terlahir dan hidup di dunia sudah sangat Ia syukuri. Dulu mungkin Ia pernah merayakannya, tapi Akasia sendiri juga lupa kapan hal itu terjadi dalam 17 tahun hidupnya. Orang tuanya sudah meninggal sejak Ia masih bayi, itu yang di katakan Bibi nya. Sebelum Bibi kesayangannya itu meninggal setelah Ia masuk ke SMA. Biasanya Ia akan bergantung pada Bibi nya, namun sakit yang di derita Bibi nya membuat Ia harus bekerja sejak Ia usia 14 tahun. Hidup Akasia memang berat, tapi Ia sudah belajar menerima takdirnya. Hari ini jam pulang sekolah di majukan karena para guru sedang rapat dadakan sebelum try out dan ujian dilaksanakan. Hal itu membuat Akasia bisa istirahat sejenak untuk sekedar berjalan-jalan sebelum Ia memulai pekerjaannya. "Sia!" teriakan seseorang membuat Sia membalikkan badan saat hendak melewati pagar sekolahan. "Ya?" seorang gadis cantik menghampirinya dengan senyum manisnya. Kadang Sia iri pada gadis berparas ayu bernama Iris itu. Gadis itu memiliki segalanya yang tidak Ia punya, keluarga, teman, saudara bahkan juga kekasih. Iris memiliki itu semua seolah Iris adalah gadis tanpa cacat yang memang benar-benar sempurna, bahkan untuk di jadikan teman untuk gadis itu, Akasia merasa tidak layak. "Ini buat Lo, ultah Gue yang ke 18 ya. Oh ya, enggak ada tema khusus kok. Lo harus datang ya?" Akasia menerima sebuah undangan berpita gold itu dengan senyum dan anggukan kepala, hanya itu yang dapat Akasia lakukan ketika hanya Iris yang masih baik ingat dengan adanya Akasia di sekolah mereka. "Thanks I." Iris tersenyum. "Ok, kalau gitu Gue jalan dulu ya?" Akasia mengangguk lalu Iris melangkahkan kaki lebih dulu sebelum Akasia melihat tubuh itu hilang di dalam sebuah mobil mewah berwarna merah menyala. Akasia selalu merasa sedikit minder dengan berdirinya Iris di dekatnya, bukan hanya secara fisik yang Iris punya, secara finansial Dia lah di sekolah ini yang menjadi gadis dengan orang tua paling berpengaruh. Mungkin biaya Akasia adalah adanya ikut campur tangan ke dua orang tua Iris yang selalu menyuntikkan dana di dalamnya. Walau Akasia layaknya debu di lingkungan sekitar, tapi Akasia patut bersyukur Ia masih bisa melanjutkan pendidikannya. Akasia menatap undangan itu, Ia menimang apakah harus datang atau tidak. Tapi ini Iris, gadis baik hati yang tidak pernah menatapnya seperti upik abu. Akasia mengedikkan bahunya lalu melangkahkan kakinya meninggalkan area sekolah. Untuk mencari bus yang bisa mengantarkannya ke Cafe dalam waktu 7 menit, karena jarak Sekolah ke Cafe sekitar 2,5 km. Akasia bersenandung, seolah tidak ada beban dalam hidup gadis berusia 17 menjelang 18 itu. Akasia bukanlah gadis dengan postur tubuh pendek, tidak juga berkulit hitam. Akasia memiliki kulit bak s**u dan wajah cantik alami. Banyak siswa yang berbondong mendekatinya, entah itu akan kemudian menjauh setelah tahu kondisi hidupnya ataupun yang memang untuk ajang pamer ketika Akasia memberikan sedikit reflek akan rayuan mereka. Tapi Akasia tidak benar-benar menerima semua ajakan kencan dan lainnya. Akasia hanya menganggap mereka ingin berinteraksi dengannya saja, dan menurut Akasia, belum ada dari mereka yang benar-benar tulus padanya. Soal jodoh Akasia hanya berpasrah, mengerti akan kondisi hidupnya itulah hal yang bisa Akasia lakukan sekarang. Tidak ada permohonan khusus yang Akasia lontarkan ketika Ia memanjatkan doa pada Tuhan, Ia hanya berdoa semoga hidupnya berjalan dengan baik. Akasia melewati taman sebelum Ia sampai ke halte, dan saat melewati bangku Akasia memundurkan langkah lalu duduk di sana. Melihat banyaknya orang lalu lalang menjelang jam istirahat siang. Sebenarnya jam segini Cafe akan sangat ramai, tapi kali ini saja Akasia tidak akan mengambil lembur. Sebenarnya lumayan untuk tambah uang jajannya, tapi entah kenapa Ia malah memejamkan mata di taman ini. Angin membawa panas menerpa kulitnya, namun Akasia tidak bergerak sedikitpun dari duduknya. Bersantai adalah hal yang jarang Akasia lakukan selama Ia sudah memulai pekerjaannya. Akasia merasakan bahkan mendengar nafas seseorang yang terasa berat, Akasia membuka matanya lalu melihat sekeliling. Namun nihil, sama sekali tidak ada seorangpun di sekelilingnya. Akasia mengernyit saat lagi-lagi Ia merasakan hembusan nafas di area lehernya. "Siapa?" Akasia sama sekali tidak takut, untuk apa ? Ini siang hari dan banyak kendaraan. Tidak ada jawaban, Akasia berdecak lalu kembali menutup matanya. Lagi-lagi Akasia merasakan hembusan nafas di area leher hingga telinganya. Namun kali ini Akasia malah cuek dan terus menikmati hembusan angin yang menerpa kulitnya. Hingga berkali-kali Akasia merasakan hal itu namun setelah Akasia mendiamkannya, hembusan nafas itu hilang dengan sendirinya. Akasia membuka matanya, melihat jam tangan usang peninggalan Bibi nya yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul 12:30, sudah 30 menit dirinya duduk di bangku taman. Kini saatnya Dia memulai pekerjaannya, Akasia berdiri lalu sedikit menepuk pantatnya. Siapa tahu roknya akan kotor setelah duduk di bangku taman. Kaki mungilnya melangkah meninggalkan area taman dengan langkah ringan menuju halte. Pekerjaannya di lakukan mulai pukul 13:00, dan Akasia harus bersiap ketika ujian sudah di depan mata Ia harus rela sering tidak masuk kerja. Mengingat Ia sudah kelas 3 dan saat menjelang ujian, akan di repotkan dengan try out dan tugas akhir dari para guru untuk membantu nilai para siswa yang anjlok saat ujian sekolah. Akasia tidak bodoh namun juga bukan siswa terpandai, nilainya tidak pernah di bawah KKN ataupun pas di garis itu. Akasia masih masuk lima besar dalam peringkat kelasnya dan sepuluh besar peringkat sekolah. Jadi Akasia tidak akan susah jika tugas menumpuk dan ujian menjelang. Ia hanya berharap, pekerjaan yang sedang Ia lakukan tidak membuatnya harus mendapat nilai remidial. Bus yang membawa Akasia sudah sampai di depan Cafe, dengan cepat Akasia melangkahkan kakinya ke lorong samping Cafe. Di mana para staf bisa masuk melalui pintu itu, Akasia melihat pintu masuk Cafe saat akan melewatinya. Seolah masa depan Akasia bergantung pada pergerakan pintu itu. "Siang." Akasia menyapa orang-orang yang berada di dapur. Semua orang tersenyum pada Akasia. "Kamu pas sekali Akasia? Pulang awal?" Akasia tersenyum pada pria yang 6 tahun di atasnya itu. Pria dengan senyum dan penampilan yang fashionable itu membalikkan badannya ketika mendengar suara Akasia yang menyapa. "Iya Kak An." jawab Akasia seadanya. "Ganti baju dulu Sia." peringat Mala, sang koki China andalan di Cafe mereka. Ya, mereka menganggap bahwa Cafe ini milik mereka. Agar mereka bekerja dengan nyaman, dan itu juga yang di katakan pemilik Cafe ini. Anjar, pria yang baru saja menyapa Akasia. Akasia tersenyum. "Ok Bun, Akasia ganti baju dulu ya?" semua orang mengangguk. Di sinilah Akasia di terima, di perlakukan dengan baik dan juga di anggap keluarga. Bahkan Anjar sering kali menganggap Akasia sebagai adik kesayangannya, sering kali Anjar meminta Akasia untuk mengambil pekerjaan selain cuci piring. Namun selalu Akasia menolaknya, Ia merasa belum pantas untuk ke level di atas tukang pencuci piring. Akasia sudah siap dengan seragam untuk mencucinya, namun saat akan memulai pekerjaannya Anjar menegurnya. "Sia, Kamu mau ngapain?" alis Akasia bertaut, tidak paham akan perkataan Anjar. "Kerja Kak, memang Sia mau ngapain lagi?" Akasia tidak hiraukan Anjar, Ia memulai pekerjaannya dengan satu kali tarikan nafas lalu memasang senyumnya. Itu ritual yang selalu Akasia lakukan sebelum bekerja, menyemangati diri bahwa Ia bisa hari ini. "Sia." Akasia berdecak saat suara Anjar kembali bersarang di indera pendengarannya. "Kak, berhenti panggil-panggil. Ini kapan kelarnya kalau Kakak terus ganggu." omel Akasia pada Anjar yang hanya tersenyum di balik tubuh gadis SMA itu. "Kamu enggak mau dengerin Kakak dulu?" tanya Anjar, Akasia membalikkan badan lalu menatap Anjar dengan ke dua telapak tangan yang masih di penuhi oleh busa sabun. Akasia bahkan meniup poninya yang tidak bisa terikat dalam pita rambutnya untuk menyanggul rambut panjangnya. "Sekarang Kakak mau ngomong apa?" Anjar mengapit hidung Akasia, samar-samar Akasia mendengar geraman tertahan di telinganya namun segera Ia tepis. "Aduh Kakak, sakit tahu.". "Makanya sabar." Akasia menekan hidungnya setelah Anjar melepas apitannya, tentu setelah Ia begitu saja mencuci ke dua tangannya yang penuh dengan busa sabun cuci. "Mulai hari ini Kamu jadi pelayan yang akan melayani para tamu." Akasia berdecak. "Enggak usah bercanda deh Kak, enggak lucu." ucap Akasia lalu kembali akan memulai pekerjaannya, berkutat pada tumpukan piring dan gelas yang harus Akasia perlakukan layaknya bongkahan berlian. Gaji sebulannya belum tentu bisa mengganti satu buah gelas dengan kaca tebal itu. Semua orang menatap Akasia gemas, pasalnya gadis itu sering menolak kenaikan jabatannya dari tukang cuci ke pelayan yang tidak akan membuat kulit tangannya keriput dan kering setelahnya. "Balik badan lagi!" Akasia mendengus, lalu menatap Anjar dengan mata protes dan wajah ogah-ogahan. "Apaan deh Kak?" Anjar menggelengkan kepalanya. "Sia, bukankah jadi pelayan malah tidak merusak tanganmu?" Anjar menarik tangan Akasia lalu memperlihatkan jari-jari Akasia yang memang sering kali terkelupas kulitnya karena seringnya terendam air dan juga seringnya terkena sabun cuci piring. Lagi-lagi Akasia mendengar suara geraman tertahan, Akasia tidak benar-benar bisa menghilangkan begitu saja suara-suara itu. Sejak pulang sekolah tadi Akasia merasakan bahwa Ia di awasi dan di ikuti oleh seseorang, namun Akasia tidak melihat adanya keganjilan atau seseorang yang mengintai dirinya. "Bengong lagi ini anak!" Akasia mengedipkan matanya saat Anjar menjentikkan jarinya di depan wajahnya. "Ck." Akasia melepas tangannya dari pegangan Anjar. "Mau ya Sia?" kini Mala mulai membujuk Akasia, semua yang ada di sana mengangguk saat Akasia menyapu pandangannya. "Terus yang cuci piring siapa?" tanya Akasia. "Nanti ada penggantinya." ucap Anjar menenangkan. "Secepat itu Kak?" Anjar hanya tersenyum. "Sekarang minta buku catatan sama Laina, terus bantu Dia layani pelanggan." Akasia mengangguk pasrah. "Gajinya tinggi Sia." bisik Anjar yang membuat Akasia melotot pada pria yang kini malah menampilkan senyum itu. "Terserah Kakak ganteng deh ya." ucap Akasia ketus lalu berjalan meninggalkan dapur untuk menuju Laina, pelayan wanita yang 3 tahun di atasnya. Namun sebelum benar-benar meninggalkan dapur Akasia melepas apron cucinya ke apron bersih khusus pelayan. "Cie, ngakuin Aku ganteng. Makasih Sayang." Akasia menatap Anjar horor lalu berlalu begitu saja meninggalkan Anjar yang tertawa karena tingkah Akasia. "Semoga Dia mau kali ini." Mala mengangguk. "Iya Pak, semoga Sia mau jadi pelayan terus. Kasihan Dia, apalagi sebentar lagi ujian." Anjar mengangguk. "Terima kasih Bi, sudah bantuin Anjar yakinin Sia." Mala tersenyum lalu mengangguk. **** Madiun punya cerita
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD