1

1471 Words
Freya menangis tidak jauh dari ayunan kayu di taman bermain sekolah. Bahunya yang kecil naik-turun karena terisak. Teman-temannya sama sekali tidak memedulikannya. Mereka tetap bermain, berlari ke sana kemari, tanpa mau membujuknya. "Cengeng!" Freya mendongak menatap seorang anak laki-laki berambut ikal gelombang di hadapannya. Anak itu lagi! Dia yang sudah membuat Freya jatuh dari ayunan. Dan bukannya meminta maaf, ia justru mengejek Freya yang kini sedang terduduk di rumput. Freya memberengut. Sambil mengumpulkan kekuatan untuk berdiri, ia melangkah mendekat ke anak laki-laki itu. "Jahat!" teriaknya sambil menjambak rambut anak laki-laki itu. "Aduh!" rintih anak itu. Ia kemudian balas menjambak rambut Freya sampai akhirnya mereka saling menindih di atas rumput. Berguling-guling di rumput yang setengah basah akibat sisa-sisa genangan air hujan. "Freya! Axel!" Seorang wanita berparas cantik mendekat dan berusaha memisahkan mereka. Berhasil! Freya lebih dulu ia tarik ke dekapannya sebelum Axel mencakarnya lagi. "Awas kamu, ya! Aku bilangin sama ibuku nanti!" seru Freya sambil menangis. Axel bangkit sambil membersihkan celananya. Ia memandang Freya dengan wajah tak berdosa. "Dasar gendut! Perut buncit!" Dan, perperangan itu berlangsung sampai Freya dan Axel duduk di bangku SMA. *** "Frey, apa itu di punggungmu?" tanya Miki ketika mereka keluar dari kelas. Freya mengernyit, ia memutar kepalanya untuk melihat sesuatu di punggungnya tapi sia-sia, matanya tidak bisa melihat apa yang ada di sana. "Hey, lihat! Sepertinya aku tahu ini ulah siapa?" Miki menarik kertas yang menempel di punggung Freya lantas memberikannya pada Freya. "Kurang ajar!" seru Freya ketika melihat tulisan yang tertera di kertas tersebut. BUTUH CELANA DALAM? HUB. AKU MENJUAL CELANA DALAM SEMUA UKURAN. BERMOTIF BUNGA-BUNGA. ADA YANG BERBELALAI JUGA, LOH! "Aku rasa Axel perlu dihajar," kata Miki ringan. Tanpa membuang waktu, Freya memutar tubuh untuk kembali ke kelas. Tidak perlu mencari-cari sosok Axel, ia sudah tahu di mana tempat anak itu duduk. "Hey, kau!" serunya ketika sudah berdiri di hadapan Axel yang sedang duduk santai dengan kedua kaki di atas meja. Ia menyeringai ketika melihat Freya. Gadis-gadis yang tadi mengeruminya mulai bergerak menjauh. "Hem?" Axel mengangkat satu alisnya. Demi langit dan bumi, Freya benci sekali dengan ekspresi itu. Sungguh angkuh dan menyebalkan. "Apa-apaan ini?" tanya Freya sambil mencampakkan kertas di tangannya ke hadapan Axel. Kertas itu jatuh setelah sempat menyentuh ujung hidungnya yang mancung. "Apa?" Axel malah bertanya. Ia mengambil kertas yang kini ada di pahanya, membacanya sebentar, lalu mendongak menatap Freya. "Kau menjual celana dalam bermotif bunga-bunga dan berbelalai? Hei, apa maksudnya berbelalai? Kau m***m juga ternyata," Axel mencibir dengan senang hati. Gelak tawa terdengar dari teman-teman mereka yang menonton. Kuping Freya panas mendengarnya. Dengan cepat ia mengambil kertas itu dan mengoyak-ngoyaknya lalu menghamburkannya tepat di hadapan Axel. "Apa sih masalahmu? Jangan menggangguku terus!" Freya berkata dengan suara bergetar. "Hehe," Axel tertawa riang lalu berdiri. Ia berkacak pinggang sambil berkata, "Maaf ya, mengganggumu sudah seperti oksigen. Aku membutuhkannya setiap saat." Freya mendecih. Dari kecil sampai sekarang, hidupnya tidak lepas dari gangguan Axel Kennedy. Entah apa namanya, kesialan mungkin? Atau takdir? Yang pasti, Freya tidak bisa hidup tenang selama Axel masih bernapas. Mungkin terdengar berlebihan, tapi memang itulah kenyataannya. Axel selalu membuat hari-hari di sekolahnya memuakkan, membosankan, dan amat sangat menyebalkan. Hanya karena tragedi celana dalam merah jambu yang terjatuh dari dalam tasnya ke bawah kaki Axel, cowok itu semakin semangat membuat hidupnya sengsara. Mengolok-ngoloknya dan selalu menyangkutpautkan apa pun yang dilakukannya dengan celana dalam. Sebenarnya celana dalam itu adalah milik ibunya yang entah kenapa bisa masuk ke tas sekolahnya. Mungkin itu kerjaan Kai, adik laki-lakinya. Pokoknya, sejak tragedi celana-dalam-merah-jambu itu, masa SMA Freya tidak pernah bahagia. "Axel, sudahlah, jangan mengganggunya terus." Tiba-tiba Harry datang. Cowok berkacamata dan bertubuh tinggi itu menarik bahu Freya dan mendorongnya ke luar kelas. "Ayo, Frey. Biarkan saja dia," kata Harry lagi. Freya mengedikkan bahu, membuat Harry otomatis menarik tangannya. "Maaf," katanya sambil mengangkat kedua tangan. "Aku benar-benar tidak tahan," keluh Freya, ia terus melangkah menjauhi kelas. "Tenang, waktu kita di sekolah ini tinggal tiga bulan lagi. Bukannya kau akan melanjutkan kuliah ke New York? Kau tidak akan melihatnya lagi. Tenang saja." "Yah," Freya mendapati emosinya menguap saat Harry mengingatkannya dengan sisa waktunya di sekolah ini. Itu artinya, sebentar lagi, hidupnya akan tenang tanpa gangguan Axel. Ia akan pergi jauh dan tidak akan pernah melihat cowok itu lagi. Hidup yang sempurna akan segera menyambutnya. "Yang pasti jauh dari sini." "Haha, kenapa harus New York? Bagaimana kalau di Sydney? Kau bisa tinggal di rumah om dan tanteku. Mereka sangat baik dan bisa berbahasa Indonesia," ujar Harry. "Tidak Harry. Terima kasih. Aku sudah janji pada Ibuku kalau aku akan tinggal bersama mereka," kata Freya berat hati. Harry adalah teman baiknya sejak pertama ia masuk ke sekolah ini. Selain pintar, Harry juga jago memasak. Cita-citanya sederhana, menjadi chef di restorannya sendiri. "Hem, aku pasti akan merindukanmu, Frey," gumam Harry. Freya menoleh menatap bola mata hijau milik Harry. "Takdir pasti akan mempertemukan kita lagi." "Seperti takdir yang selalu mempertemukanmu dengan Axel, ya?" kata Harry bercanda. "Jangan bawa-bawa nama itu. Mendengarnya saja kepalaku langsung sakit sebelah," Freya memijit-mijit pelipisnya. Harry tertawa kecil. Ia mengacak-acak rambut ikal cokelat milik Freya yang lembut. "Aku ingin melihatmu dewasa," ucap Harry lagi. "Hemmm, aku mungkin akan terlihat cantik dan seksi," kata Freya sambil mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk. "Dan sudah menjadi penulis terkenal!" "Yah, benar! Eh, tunggu!" Freya berhenti dan memiringkan wajahnya menatap Harry. "Kau membaca tulisanku, ya?!" tanya Freya nyaris berteriak. "Hem," Harry terlihat salah tingkah, "Sedikit? Eh, tidak juga," Ia meringis ketika mata sipit Freya semakin menyipit. "Oke, semuanya!" "APA?!" Freya memekik kaget. Selama ini, Freya selalu menyimpan tulisan-tulisannya. Merahasiakan, lebih tepatnya. Ia bukan orang yang aktif mengirimkan cerpen ke mading sekolah, ke perlombaan, bahkan ke internet. Ia menyimpannya untuk dirinya sendiri. Menulis dan membacanya untuk dirinya sendiri. Tidak ada yang tahu kalau ia suka menulis. Bahkan ayahnya sekali pun. Tapi sekarang, Harry mengetahuinya! Bahkan impian terbesarnya! "Kau suka menulis, Frey? Sejak kapan? Kau tahu, ceritamu itu bagus, menarik, tidak membosankan dan lucu. Jujur saja, setiap aku membacanya, aku tidak bisa berhenti tertawa. Bagaimana seorang gadis keras kepala sepertimu bisa membuat cerita yang indah-indah dan berkesan?" Freya tidak langsung menjawab. Untuk beberapa saat, ia tersanjung. Pujian itu membuat hatinya hangat. "Aku ... suka menulis sejak SMP," Akhirnya Freya mengakui. Harry tertawa, menampakkan deretan giginya yang putih bersih. "Jangan berhenti menulis, kawan." "Sebenarnya," Freya tertawa tanpa humor. Ia menatap Harry yang tersenyum lebar. "Aku pernah membagikan cerita buatanku di salah satu situs kepenulisan. Tapi, tidak ada yang membacanya," kata Freya sedih. Harry terkekeh. "Menulislah karena kau suka. Menulislah kalau itu membuatmu senang. Aku selama ini memasak juga untuk diriku sendiri," Harry seperti berusaha menghibur Freya. Temannya itu gampang sekali sedih dan selalu berdiri di jurang putus asa. Ia bisa saja melompatkan diri atau bahkan terpeleset ke dalamnya kalau tidak ada yang menyemangatinya. Sebagai teman, Harry ingin Freya tetap semangat untuk mewujudkan cita-citanya. "Aku...," "Frey ...? Semangat!" seru Harry sambil mengepalkan tangannya. "Terima kasih, Harry," kata Freya, akhirnya. *** Memiliki teman baik yang setia mendengarkanmu di masa sekolah adalah hal-hal yang sangat menyenangkan. Sebaliknya, memiliki musuh di masa sekolah adalah hal-hal yang sangat mengerikan. Freya memiliki keduanya. Dan yah, dia mencoba menikmatinya. Tanpa terasa, tiba waktunya untuk ia meninggalkan negara kelahirannya. Freya menitikkan air mata saat melihat ke belakang. Selamat tinggal ia ucapkan untuk makanan-makanan khas negara, adat-adat-nya, kebiasaannya, orang-orangnya. Untuk semuanya. "Dah, Frey!" teriak Miki dari kejauhan. Freya melambaikan tangannya pada Miki juga Harry. Cowok itu menatapnya lurus-lurus sambil tersenyum. Tidak berapa lama kemudian, tubuh Freya menghilang di antara kerumunan orang yang berseliweran. "Kau tidak mau bilang juga?" Miki bertanya sambil menyenggol siku Harry. "Apa?" "Masih tidak mau bilang kalau kau menyukainya?" Pertanyaan itu menimbulkan rona merah di pipi Harry yang pucat. "Aku akan mengatakannya nanti, kalau kami bertemu lagi." "Memangnya kau tahu dia tinggal di mana? Kau juga tidak pernah menyimpan nomor teleponnya, bukan? Kau juga tidak pernah meminta alamat e-mailnya. Kau akan ke Sydney juga besok." Harry menunjukkan seulas senyum. "Aku tidak akan mencarinya. Aku ingin Tuhan campur tangan pada pertemuan kami." "Maksudmu?" Miki memiringkan wajahnya, tidak mengerti. "Takdir. Aku tidak akan mencarinya, aku hanya perlu menunggu takdir mempertemukan kami lagi." "Seperti takdir yang selalu mempertemukan dia dan Axel?" Mendengar nama itu disebut, Harry terkekeh. "Hem, begitulah." Tidak lama kemudian, pesawat yang Freya tumpangi sudah lepas landas menuju langit biru. Senyum Harry pudar, ia mendesah panjang dan berkata setengah hati," Aku tidak suka istilah itu." "Istilah apa?" tanya Miki. "Seperti takdir yang selalu mempertemukan dia dan Axel." Miki terkikik, sadar kalau temannya itu sedang cemburu. "Tenang, kau akan memilikinya, asal kau bergerak cepat." "Omong-omong, kau jadi melanjutkan kuliah ke Paris?" tanya Harry, mengalihkan pembicaraan. Miki mengibaskan rambut panjangnya dengan berlebihan. "Tentu. Aku kan ingin jadi desainer. Hubungi aku kalau kau butuh baju pengantin, hihihi." Harry hanya terkekeh. Sambil meninggalkan bandara, mereka bercerita tentang cita-cita dan rencana mereka ke depan. Besok gilirannya meninggalkan Indonesia. Entah kenapa ia ingin waktu cepat berlalu dan takdir mempertemukannya dengan Freya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD