1

1599 Words
Sahabat jadi cinta. Itu yang sedang Qinay alami. Cewek kelas XI IPS 1 di SMA Bintang Mulia yang memiliki rambut hitam panjang ini cinta diam-diam untuk sahabatnya dari kecil. Cinta yang tumbuh dan dia sadari setelah sekian lama. Tapi cinta pada sahabat hukumnya 'haram' kalau ibarat makanan. Jika nekat maka hubungan bernama sahabat hilang sudah. Lagipula Qinay itu cewek. Walaupun sudah jaman emansipasi wanita, tetap saja dia tak punya keberanian seperti ibu Kartini. Yang ada dia dengan setia mendengarlam setiap curhatan Enoy, panggilan kesayangan Qinay buat Enoach Vadin. Sahabat yang diam-diam dia suka. Qinay megembuskan napas berat, bertopang dagu di mejanya. Menyapukan pandangan ke penjuru kelas. Kelasnya sudah ramai meski masih terlalu pagi. "Woi, semalam kok LINE gue dikacangin," seru Enoach sembari menepuk bahu Qinay. "Bikin kaget aja deh. Gue udah tidur, sori. Emang chat apaan?" balas Qinay seraya mencari-cari ponsel di dalam tasnya. "Antara penting dan nggak penting sih." "Maksudnya?" tanya Qinay memicingkan sebelah matanya. "Penting buat gue tapi nggak penting buat lo. Tapi bisa jadi penting." "Langsung deh jangan muter-muter nggak jelas." "Gue chat lo tengah malam karena gue nggak bisa tidur." "Apa? Dikata gue kuntilanak. Kebiasaan!" "Eh, jadi lo chat gue jam satuan cuma mau bilang lo berhasil chating-an sama Silvia?" lanjut Qinay yang melihat chat dari Enoach di ponselnya. "Yup, dan gue jadi nggak bisa tidur." "Gila! Cuma chatingan bikin lo nggak bisa tidur? Puber lo telat banget sih," seru Qinay, menahan ekspresi agar biasa saja walau hati berasa diremas-remas. "Lagak lo kayak pernah jatuh cinta aja. Nggak usah sok senior." Qinay hanya mencibirkan bibirnya, lalu berusaha stay cool dengan membuka aplikasi game di ponselnya. Dia harus punya pengalihan biar dia bisa mengendalikan sikap. Bukan jadi naik darah karena cemburu. Karena cemburunya tak punya hak. "Hei, jangan cuma diem." "Jangan brisik, gue lagi  main game nih. Balik kursi lo sana." "Nay, gitu banget sih. Lo harus kasih komentar dong. Ini kan hal baru buat gue." Mau tak mau, Qinay yang berusaha fokus main game pun terbahak karena ucapan Enoach. Sahabatnya itu memang baru pertama kali jatuh cinta. Tapi menurutnya, Enoach itu polos banget sebagai cowok yang digandrungi cewek-cewek di sekolah. "Please deh, Noy. Lo itu cowok, lo itu idola di sekolah. Masa gitu aja minta komentar gue. Lo mau gue komentar apa, hmm? Kan lo sendiri yang bilang gue bukan senior dalam hal percintaan." "Ya, menurut lo sebagai cewek gue berlebihan nggak? Agresif banget nggak? Aishh.... kenapa jatuh cinta serepot ini ya?" "Lo aja kali yang repot, yang lain mah enggak. Cinta ya cinta aja nggak yang serba bingungan kayak lo. Lagian nih ya, gue lihat dari chat lo, kalian itu malah bahas pelajaran. Helow..... lo mau ngajak dia pacaran atau mau ngajak diskusi olimpiade?" Seketika Enoach menutup mulut Qinay yang bicara terlalu keras hingga beberapa pasang mata yang berdekatan dengannya menatapnya. "Pelanin dikit volumenya." "Sorry. Lagian lo lucu tahu nggak. Kalau namanya PDKT itu ngajak nonton atau makan malam gitu, bukan ngajak diskusi perpajakan gini. Ini mah bukan agresif tapi b**o," ucap Qinay. "Tapi kan lumayan obrolan kami lama di chat. Dia kan cewek smart jadi bener dong gue bahas pelajaran. Gue nggak beranilah kalau ngajak nonton." "Lo juga smart, Noy. Apa iya lo sama gue bahasnya pelajaran. Yang bener aja." "Males banget bahas pelajaran sama lo. Yang ada gue capek ngejelasinnya." "Hina aja terus. Gue juga pinter tapi di bidang lain. Kan nggak semua harus pinter ngitung. Yang penting gue lihai ngitung uang. Itu udah cukup banget." "Iya, iya yang pinter ngeles. Jadi gimana nih soal nonton?" "Apa iya harus gue yang ngajak dia nonton?" "Boleh-boleh, jadi nanti pura-puranya lo ngajak gue juga gitu." Qinay pun menatap Enoach dengan pandangan speechless. Bagaimana bisa Enoach mengiyakan ide bodohnya? Mana mau dia berujung jadi lalat. "Balik sana ke tempat lo, bentar lagi bel. Lelah gue ngobrol sama cowok bego." "Siapa yang b**o? Lo kan tadi bilang gue smart. Peringat gue aja di atas lo jauh." "Nggak usah bahas peringkat. Sombongin aja terus tuh peringkat pararel lo. Gue nggak tertarik. Uhh... balik sana ah, lelah!" "Ok, gue balik. Tapi istirahat nanti lo harus jadi pendengar sekaligus penasehat gue. Gue nggak mungkin cerita sama yang lain." "Hmmm..." "Nay..." "Apalagi, Noy?" tanya Qinay tanpa menoleh pada Enoach. "Lihat sini sih," seru Enoach, menarik dagu Qinay. Detik saat mata Qinay bersibobok dengan Enoach, detik itu pula degub jantung Qinay berdisko. "Pagi ini lo manis." "Hah?" "Udah gue puji jadi nanti tolong bimbingannya," ucap Enoach dengan kedua alis naik-turun. Qinay mendengus kesal, mendorong Enoach agar cepat pergi. Karena degup jantungnya semakin tak terkendali. Dia kesal pada dirinya sendiri kenapa perasaannya jadi berubah begini. Qinay selalu melihat Enoach sebagai cowok yang menarik hatinya tapi Enoach hanya menganggapnya sebagai teman. Cowok dengan potongan rambut ala boyband Korea itu tak pernah peka dengan perasaannya. Qinay mengembuskan napas berat. *** Saat istirahat tiba, Enoach langsung melangkah lebar mendekati kursi Qinay. Bagi temen-temen di kelas pemandangan seperti itu biasa saja, karena mereka memang sering bersama sejak lam. Tapi untuk Qinay yang tahu maksud kedatangan Enoach, dia merasa kesal. "Sudah siap?" "Traktir gue bakso," balas Qinay. "Siap, Nay!" Mereka beriringan menuju kantin. Banyak mata melirik diam- diam bahkan ada yang melihat terang-terangan menampakkan ekspresi terpesona kepada Enoach yang tampan. Cowok umur 17 tahun itu masih punya darah Eropa sehingga wajahnya berbeda dengan cowok-cowok lain. Matanya yang berwarna coklat terang mampu mencuri hati siapapun. Termasuk sahabatnya sendiri. "Nggak usah senyum, biasa aja. Nanti cewek-cewek pada mimisan lo senyumin." "Gue cuma berusaha ramah. Gue nggak suka orang menilai gue cowok cool, gue kan cowok hangat." "Hangat, dikata kompor." "Eh, itu Silvi. Gue harus gimana, nih?" tanya Enoach yang tiba-tiba berhenti berjalan karena melihat Silvi bersama teman-temannya sedang berjalan ke arahnya. "Senyumin aja macam tadi." "Mana bisa." "Kenapa nggak bisa?" "Gue harus cool biar nggak dikira agresif." "Katanya tadi lo cowok hangat." "Tapi kan--" Ucapan Enoach terhenti saat Silvi memberinya senyuman yang sangat manis. Enoach baru tersadar saat Qinay menyikut perutnya. Qinay ingin marah, tapi dia tak punya hak. Jadi dia hanya menyikut Enoach dengan kekuatan super. Segaligus pelampiasan atas ketidaksukaannya. "Cuma disenyumin aja langsung jadi patung." "Gue berdebar, Nay." "Priksain siapa tahu kelainan." Jitakan mendarat manis di kepala Qinay karena ucapannya. "Lo kapan bisa serius, sih?" Qinay nyengir memamerkan deretan giginya. Dia memang tipe cewek yang cuek, ceria, dan easy going. Siapapun yang mengenalnya pasti tak pernah melihatnya menangis atau sedih. Tapi bukan berarti dia tak pernah sedih, hanya saja dia pandai mengendalikan ekspresi dan sikapnya. Karena itu Enoach sampai tak tahu jika dia mencintai sahabatnya. "Lo tunggu sini biar gue yang antri." "Sipo..." Qinay menatap punggung Enoach yang sedang mengantri bakso. Punggung yang sering dia lihat saat pulang sekolah bersama. Tapi punggung itu sebentar lagi tak bisa dia lihat sesuka hati. Dia sadar cepat atau lambat hubungan Enoach dengan Silvi akan meningkat. Walaupun dia tahu sahabatnya itu super b**o kalau urusan percintaan. Tapi melihat senyum yang Silvi berikan pada Enoach tadi, Qinay tahu senyum itu senyum lampu hijau. Dadanya merasakan hal lain mengingat itu. Jika Enoach baru tahu rasanya jatuh cinta, Qinay berada di taraf di atas Enoach. Qinay sudah tahu rasanya patah hati sebelum berkembang. Bahkan dia tak berani menyiram perasaan itu biar lebih berkembang. Dia takut apa yang dia rasakan merusak segalanya. Hingga tak ada lagi nama Enoach di harinya. Dia takut membayangkan itu terjadi. Sejak kecil bersama, menjadi tetangga lalu naik tinggat menjadi sahabat, membuat Qinay semakin takut jika persahabatan mereka hancur. Dia menyadari satu hal lagi. Terkadang orang diciptakan di hati tapi tidak untuk bersama di dunia nyata. Cukup di hati saja, seperti lagu-lagu cinta yang bertepuk sebelah tangan. "Nih, bakso lo tanpa bawang goreng." "Muucih, Noy." "Jangan pakai sambel! Gue males kalau harus nganterin lo ke IGD cuma karena mules. Nggak elit banget itu, Nay," seru Enoach seraya mengambil alih sambal yang Qinay sendok. "Ih... ungkit aja terus. Nggak ikhlas banget sih kedengerannya." "Emang nggak ikhlas. Siapa yang bilang ikhlas subuh-subuh nganterin orang diare ke IGD?" "Siapa suruh mau nganterin?" "Terpaksa! Kalau nggak karena mami lo yang cantik itu, gue mana mau." "Ish.... Noach kok gitu sih. Lo gue end! Gue nggak mau bantuin lo deketin Silvi." "Eh, eh, eh.... jangan gitu Qinay yang manis. Kan udah gue beliin bakso." "Gue nggak semurah itu." "Ngelunjak. Udah makan, keburu dingin. Gue juga mau buru-buru cerita." "Males...." "Qinay Hanzel...." "Ok! Jangan melotot ke gue, Noy!" Qinay benci dipelototi Enoach karena mata Enoach membuat jantungnya jumpalitan. Mata Enoach seperti punya sihir yang bisa membuat cewek manapun bilang cinta. Qinay takut tak mampu mengontrol diri. "Nay, jadi--" "Tunggu gue selesai makan," ucap Qinay dengan tangan diangkat dan jemari membuka lebar. "Dengerin aja dulu, komentarnya setelah makan mggak apa." "Hmm..." "Setelah melihat chat gue sama dia gimana? Apa ngajaka nonton itu penting banget? Apa menurut lo dia mau nonton sama gue?" "Kata lo mau cerita tapi kenapa dari tadi tanya?" Enoach nyengir hingga ada lipatan tipis di pipinya. Khas cowok itu saat nyengir atau sekadar tersenyum tipis. Bikin dia semakin terlihat tampan plus manis dalam satu pandangan. "Pertama, penting banget. Kedua, pasti mau. Jangan tanya alasannya, bakso gue masih dua biji." "Nonton apa ya? Cewek pinter kayak dia menurut lo sukanya nonton apa?" "Cowok pinter kayak lo suka nonton apa? Cewek pinter juga manusia normal, Noy. Bukan robot." "Iya sih. Gue searching film dulu." Selama Enoach browsing film, Qinay memilih menyeruput es tehnya. Sebenarnya dia tak ingin menjawab pertanyaan Enoach tapi hati kecilnya mengatakan tak boleh egois. Untuk apa mempersulit hubungan seseorang yang sudah jelas perasaannya? Hanya akan membuat Qinay menjadi cewek jahat. Enoach pun tak lantas membalas perasaannya jika dia berbuat hal tak baik. Karena itu dia masih setia membantu Enoach walau hatinya bilang tak rela. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD