Satu

1004 Words
-Satu- Rabu pagi di bulan maret tahun ini, mendung dengan rintik hujan yang turun dengan teratur. Pagi yang dingin dan sedikit berkabut. Beruntung, masih banyak lampu jalan yang menyala. Seorang gadis keluar dari g**g sempit nan kumuh, ia berjalan cepat menyusuri jalan sekitar pertokoan yang agak lengang, dengan menggendong tas berukuran sedang. Ia mengenakan seragam putih abu-abu layaknya gadis SMA biasa, dengan tambahan sweater cream yang membalut tubuhnya. Gadis itu berhenti tepat di depan sebuah toko buku, mengangkat tangan kanan sedada dan mengamati jam tangan mungil yang melingkar manis. 05:44 Gadis itu menghela napas berat, memunculkan kepulan asap transparan yang kentara. Pipi tirusnya memerah lantaran suhu yang rendah, bibirnya menggigil pelan, ia kemudian mengusap-usap telapak tangannya, berusaha mengusir hawa dingin yang menembus kulit kuning Langsat nya. Ia masih berdiam diri, mematung dengan bersandar pada jendela kaca yang bertuliskan ... 'ah! Tak penting' Tak lama kemudian, muncul seorang lelaki paruh baya dari dalam toko. Setelah membalik tulisan "TUTUP" lelaki itu membuka pintu toko pelan. Lalu, melempar senyum ramahnya pada gadis yang berdiri di depannya. Tangannya terulur, mengusap pucuk kepala si gadis dengan lembut. Mereka 'pun masuk ke dalam toko buku sambil bergandengan. ~~~ "Hm, bagus juga, tapi sejak kapan 'seekor' Abimanyu jadi penguntit?" ejek Tio. Si pemilik nama yang merasa tersindir itupun hanya mendengus kesal. Temannya ini memang susah bila diajak serius. "Serah elo dah!" sahut Abim malas. "Wah, cerita yang menarik," timpal seorang gadis di belakang Tio. "Terus gimana lanjutnya? Mereka ada skandal?" tanya gadis itu sambil berpindah tempat, duduk manis di samping Tio. "Apa hubungan cewek itu sama om-om? Apa mereka ayah–" Tio menutup mulut gadis di sampingnya dengan satu jari. "Namanya Fransiska," jawab Abim setelah menyedot minumannya yang tinggal separuh. "Terus apa yang–" Tio kembali membungkam mulut gadis itu dengan jarinya. Abim sendiri sedikit merasa jengah dengan gadis tak sabaran yang duduk berhadapan dengannya. "Panggilannya Siska, anak SMA Bintang." Abim membenarkan posisi duduknya. Tanpa menyadari raut terkejut gadis asing di depannya. "Anak kelas 11 IPA 2, langganan juara tiap semester." Gadis asing itu mengerutkan kening dengan ekspresi terkejut, membuat Abim sedikit heran. "Pagi ini, Siska ditemukan tewas di toko buku lantai atas, dengan sayatan di pergelangan tangan kirinya." Abim memperhatikan gadis di depannya yang tengah membulatkan mata penuh. "Juga, di tangan kanannya terdapat sebilah pisau yang digenggam erat." "Bunuh diri?" tanya Tio lirih. Abim tersenyum kecut. "Bagaimana pendapat kalian kalau Siska megang 'pocong-pocongan' di tangan kirinya? Benda berbalut kain putih sepanjang 10cm." Abim mengeluarkan ponsel dari sakunya, membuka galery dan memperlihatkan sebuah foto pada dua orang di depannya. "Ini Siska." Tunjuk Abim dengan jarinya. "Dan yang di sebelahnya namanya mas Jun 27 tahun, kakak kandung Siska, punya seorang isteri dan–" "STOP!" potong Tio sebelum Abim menyelesaikan kalimatnya. "Ini siapa?" tanya Tio sarkas sambil menunjuk gadis yang anteng di sampingnya. Abim menelan ludah, ia baru menyadari ada orang yang terlibat dalam diskusinya. Abim mengedarkan pandang, mengamati sekeliling kafe yang tengah ramai anak SMA nongkrong di jam pulang sekolah. Cih! Abim merutuki kebodohannya sendiri, salahkan saja dia yang diskusi di tempat anak muda nongkrong. "Kenalin." Gadis itu mengulurkan tangan, dengan ragu Abim meraih uluran tangan itu. "Dewi, anak SMA Bintang, sahabat plus rival sekelas Siska." Abim merasa tertohok. "A-Abim," jawab Abim kikuk. "Gue Tio." Tio menepuk dadanya, melempar senyum ramahnya pada Dewi. Dewi mengangguk, kemudian memandangi foto Siska tanpa memperdulikan si-empunya hp. TIBA-TIBA ... "Wik!" seru seorang gadis berkaca mata merah dengan rambut pendek. Gadis itu berjalan cepat menuju meja di mana Dewi duduk. Dengan raut wajah panik, gadis itu duduk di sebelah Abim, menenggak habis minuman Tio. Matanya sembab, bibirnya bergetar pelan. "Wik ..." panggilnya dengan suara lirih, menahan tangis yang hampir pecah. "Siska, wik ..." ulangnya di iringi isak tangis yang lirih. "Iya, udah tahu kok," sahut Dewi lemah, sambil mengusap punggung tangan teman berkaca mata merahnya. Tio memandangi Dewi yang lebih menguasai emosi dari pada temanya itu. "Sis-Sika?!" Gadis itu meraih hp yang sejak tadi tergeletak di depan Dewi, perlahan air matanya luruh. Hal yang Abim takutkan benar terjadi, tangisan gadis berambut pendek itu pecah. Abim mulai panik saat beberapa pasang mata menatapnya aneh. "s**t!" umpat Abim dalam hati, karena Dewi yang sejak tadi kelihatan tegar, kini ikutan menangis, menumpahkan segala kesedihannya. Tio memberi tatapan pada Abim, mengisyaratkan agar segera menjauh dari meja yang banjir air mata. Tujuh langkah menjauh, seseorang mencegat mereka. Tubuhnya besar tinggi menjulang, dan lagi, sosok itu memberi tatapan tak bersahabat pada Tio dan Abim. "Hey ..." Suaranya berat, mendengarnya saja membuat nyali Tio dan Abim ciut. "Mau kemana?" "To-toilet'" jawab Abim sekenanya. "Habis bikin cewek nangis mau kabur? Jantan banget kalian ..." Abim dan Tio menelan ludah. "Denger ya CECUNGUK! dua cewek itu temen gue. Dan gak bakal–" Abim mengangkat tangan kanannya. "Mas dari SMA Bintang?" tanya Abim hati-hati. Seketika itu juga, wajah pria di depan mereka langsung riang. "Oh! Iya, jangan panggil mas donk. Kesannya kan gue kayak uda tua banget." ~~~ "Sumpah, gue begok banget!" gerutu Abim. Ia mengacak rambut frustasi. "Nah! Itu lu tahu kalau elo begok." Abim mendengus. "Lagian ngapain sih elo pakek acara nguntitin anak Bintang?" Abim bangkit dari duduknya, menopang dagu sambil berpikir keras. "Ada yang kurang," ujarnya. Tio memutar bola mata jengah. "Ah!" Abim menjentikkan jarinya. "Hp gue!" serunya sambil bergegas masuk kembali ke dalam kafe, di ikuti Tio yang mengumpat tak jelas. Baru selangkah masuk, Abim berhenti secara tiba-tiba. Ia merasakan sesuatu yang berat memegang bahunya, dari ujung matanya, Abim menangkap sosok perempuan yang berdiri di dekat lorong toilet di sisi kirinya. "Nggak ada?" gumamnya saat menoleh pada lorong tersebut. "WOY!" Abim reflek menoleh dan gelagapan saat menangkap sebuah benda pipih berwarna perak yang melayang bebas ke arahnya. "Hp gue?" "JELASIN, KENAPA FOTO SISKA ADA DI HP ELO!" Tanpa ba-bi-bu, gadis berkaca mata itu mencengkram kerah Abim, menyemprotnya dengan emosi yang tak bisa dibendung lagi. "Cewek gila!" batin Abim. "JELASIN!" "Wow, santai mbak, nggak enak dilihatin orang, lerai Tio. "Iya, Tik. Mending kita keluar aja dulu, ngobrol baik-baik." Abim menyeringai menatap gadis rambut sebahu yang mencengkeramnya. "Iya, santai aja ... KACA MATA!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD