Problem

1744 Words
      “Karina, tolong makan sedikit saja. Bayi kita perlu makanan yang bergizi ... kamu jangan seperti ini, kamu bisa menyakitinya.” Entah sudah berapa kali Marshal meminta istrinya itu menyentuh makanan yang sudah mendingin di hadapannya.           Karina, wanita yang sudah sah menjadi istri Marshal itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya kuyu, matanya sendu menyimpan kepiluan hidupnya, sesekali matanya bergetar ingin menumpahkan emosi yang tak juga kunjung mereda.         “Aku suapin, ya?” tawar Marshal lagi.          Karina diam, pandangan matanya kosong ke depan. Marshal menghela napas pelan, lantas duduk di samping Karina. Marshal tahu bahwa istrinya itu masih belum bisa menerima dirinya dengan sepenuh hati tapi, Marshal harus tetap menepati janji sakral yang sudah ia ucapkan sendiri.         “Karina, tolong dengar aku ... bayi kita perlu makanan agar dia bisa tumbuh sehat di dalam perut kamu, kalau kamu enggak makan dia pasti juga ikut kelaparan,” ucap Marshal seraya mengambil tangan kurus Karina.         “Pergi saja, aku enggak butuh kamu!”         "Astaghfirullahaladzim, Karina. Tolong jangan seperti ini, jangan menyiksa diri kamu sendiri,” kata Marshal, “Aku tahu seharusnya ini enggak pernah terjadi tap—“        “Diam!” hardik Karina.          Marshal mengangguk, mengucapkan istigfar di dalam hati  dan mencoba mengontrol emosinya yang sedari tadi tertahan, Marshal tetap menggenggam tangan Karina hingga wanita itu mencoba melepaskan genggaman tangannya dengan mengambil sebilah pisau roti dengan mata bergerigi yang ada di atas piring di hadapannya.           “Astaghfirullah! Istighfar Karina, apa yang ingin kamu lakukan dengan pisau itu?!" tanya Marshal agak terkejut.          “Aku benci kamu! Aku benci bayi menyebalkan ini! Aku benci semuanya!” jerit Karina, mengarahkan pisau roti itu ke pergelangan tangannya.         Karina berusaha menyayat pergelangan tangannya dengan pisau roti itu sembari menangis histeris, Marshal dengan bersusah payah merebut kembali pisau roti itu.          "Istighfar Karina, jangan nekat, kamu tahu ‘kan kalau bunuh diri juga dosa, jangan menambah dosa lagi!" balas Marshal mencoba merebut pisau roti tersebut.          "Lepaskan, Marshal! Aku mau mati! Lepaskan!"         "Enggak, kembalikan pisau itu," sergah Marshal.         Setelah Marshal berhasil mengambil alih pisau roti tersebut Karina menangis sejadi-jadinya, terisak tak karuan seperti seorang bocah berusia empat tahun yang tak dibelikan permen cokelat oleh ibunya. Marshal hanya bisa tertegun dan berusaha menenangkan Karina yang semakin menangis histeris seperti orang kesurupan. Ia benar-benar seperti orang yang kehilangan kendali hari itu—walaupun begitu Marshal harus tetap menjadi sayap penggantinya.         "Maaf, Karina ... aku benar-benar minta maaf." Hanya kalimat itulah yang keluar dari mulut Marshal ketika melihat Karina menangis sesenggukan.   Sementara itu tangan kanannya sudah menggenggam botol spray kloroform. Dengan segera Marshal mengambil selembar tissue dapur dan menyemprotkannya kemudian membius Karina agar tidak sadarkan diri dan bisa dibawa ke kamar.   ***         “Kamu yakin dia baik-baik saja?” tanya seorang laki-laki kepada Marshal yang sedang duduk dengan kepala menunduk di kursi kerjanya.         “Seharusnya begitu, Dho. Tapi, aku juga enggak bisa begini terus ... Karina harus bisa keluar dari trauma dan memaafkan aku, kalian tahu dengan jelas kalau aku enggak sekejam itu, ‘kan? Aku mau segera keluar dari kasus tak bertepi ini," ucap Marshal.         "Masalahnya keluar dari trauma itu enggak segampang membalikkan tangan, Marshal. Kemungkinan butuh waktu yang cukup lama," sahut Yudha yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka berdua.          Marshal menghela napas panjang. “Andaikan ada mesin pemutar waktu, akan kukembalikan segalanya pada malam itu. Astaghfirullah ....”           "Sekarang kamu menyesal karena sudah menyakiti Karinaz ‘kan?" celetuk Yudha dengan sedikit mengejek.           "Coba kamu mikir, kalau cewek yang menyukai kamu bahkan sampai bersusah payah mendapatkan hati kamu ada di posisi Karina. Apa kamu bisa melihatnya? Kamu bisa bernapas lega dengan kejadian seperti itu?” sahut Marshal agak kesal.           "Astaghfirullahaladzim, kamu ini bagaimana sih, Yudh? Bukannya memberikan solusi malah membuat suasana semakin chaos. Istighfar kita berdua sama-sama enggak mengerti masalah sebenarnya seperti apa, seharusnya kita bisa memberikan support ke Marshal dan Karina," ucap Ridho berusaha menengahi keduanya.          Marshal mengusap kasar wajahnya mencoba mencari jawaban dalam kegelapan sanubari. Mencoba mencari setitik embun yang rela turun di padang pasir  gersang nan tandus. Namun, sekali lagi ia gagal untuk menemukannya Ia tak bisa mencarinya sendirian. Marshal mengucapkan istighfar berkali-kali dalam hati, mencoba meminta pengampunan kepada-Nya karena ia telah berkelakuan buruk selama ini bahkan selalu menyakiti hati orang-orang di dekatnya.          "Marshal, kamu juga perlu istirahat." Ridho menyerahkan sehelai roti tawar tanpa isian ke hadapan Marshal. “Berdoa kepada Allah, kamu pasti akan segera keluar dari masalah. Karena sebesar apa pun sebuah masalah kalau kamu dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh  meminta pertolongan-Nya, niscaya kamu akan segera keluar dari masalah ini.”            “Astaghfirullahaladzim ....”         "Rasa menyesal pasti muncul belakangan, sekarang kamu harus berubah menjadi lebih baik demi Karina dan calon bayi kamu," ujar Ridho, “Kamu harus berubah, Mar. Dekatkan diri kamu kepada-Nya, niscaya ia akan selalu membantu kesusahanmu.”           “Benar, kata Ridho. Aku minta maaf akan hal tadi, aku sama sekali enggak bermaksud menyinggung kamu. Aku mengerti kalau kamu enggak mungkin melakukan hal buruk kepada Karina, aku minta maaf," gumam Yudha kemudian menepuk bahu Marshal.          Doy mengangguk pelan. “Inilah sebabnya wanita tidak ingin begitu mempercayai perkataan pria karena bisa saja perkataan itu berbalik menyakitinya. Karina menyukai Marshal sudah sejak lama, namun berakhir seperti ini. Qadarallah ... semua sudah digariskan oleh-Nya.”          Marshal terdiam, menangkup wajahnya dengan kedua tapak tangan. Ia tak habis pikir segala sesuatu yang ia rencanakan malah berubah drastis. Marshal mencelakakan Karina secara kebetulan, dan itu adalah momok baginya saat ini. Ia benar-benar ingin menangis saat mengingat bagaimana wajah Karina saat dimaki-maki oleh keluarga besarnya bahkan tak mendapatkan doa restu dari mereka.           “Sudah waktunya shalat dzuhur. Bagaimana kalau kita shalat berjamaah?” tanya Yudha kemudian.          "Alhamdulillah... ayo, sekarang kita bergegas ke sana sebelum penuh tempatnya." Ridho segera melepaskan blazer yang dikenakannya dan melipatnya secara rapi.          “Tapi, aku enggak bisa shalat,” gumam Marshal dengan lirih.          Ridho dan Yudha tersenyum, kemudian mengangguk mengerti memberikan sebuah keyakinan kepada Marshal agar segera berubah—walaupun hanya sebesar biji gabah.         ***         Malam itu Marshal pulang tepat saat masjid berbunyi, tak lupa Marshal membawakan beberapa camilan untuk Karina yang sedang hamil. Sesekali ia mengatur napas yang tak karuan membayangkan reaksi istrinya nanti.         “Karina ... aku pulang,” sapa Marshal ketika membuka pintu utama.          Hening. Itulah hal yang selalu dijumpai Marshal ketika baru saja pulang dari kantor, tak ada sambutan hangat dari Karina, tak ada senyuman manis milik Karina, tak ada pula kopi yang terseduh. Hanya keheningan yang menyambut Marshal ketika pulang bekerja, Marshal tahu bahwa istrinya tidak tertidur ataupun pergi keluar namun, segalanya terasa begitu hambar tak seperti rumah tangga orang lain.         “Karina ....”         Marshal meletakkan kantong plastik berisi camilan tersebut di atas kitchen set dan beranjak mencari Karina di halaman belakang. Karina memang suka menyendiri di belakang sana beberapa hari belakangan, terduduk termenung di kursi rotan yang sengaja Marshal letakkan di sana sejak kepindahan mereka ke cluster itu.         “Karina ... kok kamu masih berdiam di sini, sih? Ini sudah magrib, ayo masuk,” kata Marshal begitu melihat istrinya itu.         Seperti biasa, Karina tak menjawab sedikit pun perkataan Marshal. Karina sibuk dengan pikirannya sendiri yang entah melayang jauh ke mana arahnya, Marshal hanya bisa menghela napas dan mengucapkan Istighfar.          “Sayang ... kamu kenapa, sih? Tolong dengarkan aku sekali saja, udara malam tak baik untuk kesehatan ibu hamil,” ucap Marshal sedikit memohon.         Marshal menghela napas pelan, kemudian berjongkok di hadapan Karina yang sedang melamun. “ Kamu masih marah sama aku? Kamu masih membenciku? Aku minta maaf ... aku tahu maafku enggak bisa membuat hidupmu kembali ke sedia kala tapi, aku janji akan buat kamu bahagia.”         “Maaf? Hanya itu yang bisa kamu lakukan.” Karina memainkan buku jarinya hingga terlihat memutih.          “Aku tahu, itu semua enggak aka—“         “Aku capek dengar maaf kamu, aku capek dengar suara kamu, aku benci,” potong Karina cepat.          “Kamu boleh benci aku sedalam apa pun, asal jangan benci bayi di kandungan kamu, jangan sakiti dia juga,” balas Marshal, “Sekarang, ayo masuk.”          “Aku masih mau di sini.”          “Enggak baik perempuan hamil duduk di luar saat waktu magrib seperti ini... lebih baik kita segera masuk dan menunaikan shalat,” ucap Marshal.         “Kalau kamu mau masuk, masuk saja sana. Aku masih ingin di sini,” tandas Karina.           “Karina ... ini sudah waktunya kamu makan malam. Kamu juga harus minum vitamin,” kata Marshal lagi.          Karina mendongak menatap dalam- dalam manik mata Marshal seolah sedang meminta jawaban. Karina sangat menyukai mata milik Marshal karena ia mempunyai bola mata yang bulat, lebar, dan berkilau layaknya mata boneka. Karina sangat mengagumi lirikan mata tajam dari Marshal namun, itu semua sudah terjadi dulu sekali. Sekarang Karina sangat membenci mata itu yang menatapnya dengan tatapan penuh rasa kasihan dan Iba.           “Karina, ayo masuk. Angin malam enggak baik untuk kamu.” Tanpa pikir panjang Marshal merangkul tubuh Karina dan membimbingnya masuk ke dalam rumah.          Karina hanya diam, ia tidak tahu bagaimana caranya untuk berdamai dengan diri sendiri. Ia tidak tahu kenapa rasa bencinya kepada Marshal semakin menjadi-jadi ketika melihat manik matanya. Ia tidak mengerti jalan seperti apa yang Tuhan berikan padanya.         “Kamu tunggu di sini, ya? Aku ambilkan vitamin sama makan malam kamu dulu, kamu mau makan apa malam ini? Sup Udang atau Udang asam manis?” tanya Marshal setelah Karina duduk di atas sofa ruang keluarga.         Marshal menatap Karina lama sekali guna menunggu jawaban darinya.         “Aku enggak nafsu makan,” gumam Karina.         Marshal menghela napas. “ Jangan seperti itu, Karina. Kamu perlu makan agar cepat sembuh.”          “Tapi, aku enggak mau makan.”        “Kamu ingin Roti bakar dengan selai coklat hazel, 'kan? Aku  akan membuatkannya sebentar.” Marshal segera pergi ke dapur dan mengambil beberapa helai roti tawar dari dalam lemari kitchen set.   Ia memanaskan microwave selama beberapa menit sembari mengisi helaian roti tawar itu dengan selai cokelat dan hazel. Tak lupa ia menaburkan beberapa parut keju mozzarela di atasnya. Sesekali Marshal melirik Karina yang masih duduk termenung di sofa. Marshal tersenyum, senyum hampa yang membuat relung hatinya kian menjerit sekuat tenaga.         Karina.      Dulu wanita itu tidak seperti ini, ia bisa tersenyum sesekali walau hanya dengan teman sebayanya namun, sekarang ... bukankah seharusnya Karina bisa leluasa tersenyum di hadapan Marshal?         Kling!      Mesin pewaktu microwave berdentang menandakan roti tawar itu sudah siap di hidangkan.         “Rotinya sudah matang, makanlah,” pinta Marshal setelah meletakkan piring berisi roti tawar itu di hadapan Karina.          “Aku—“         “Aku suapi?” tawar Marshal.         “Aku enggak mau.”         “Ayolah, makan sedikit saja.”        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD