Bab 1

1021 Words
Selesai makan siang, Rani memutuskan untuk berbaring sebentar. "Astaga, badanku rasanya sakit semua. Ini pasti gara-gara aku lembur kemarin," ucapnya pada diri sendiri. Beberapa menit kemudian, rasa kantuk 'pun datang. Akhirnya, Rani mulai terlelap setelah beberapa kali menguap. "Rani!! Buka pintunya." Suara teriakan seorang pria, disertai gedoran pintu yang sangat keras mengganggu tidur siangnya. Karena kaget, Rani bergegas menuju pintu depan untuk segera membukanya. "Siapa sih, siang bolong gini teriak-teriak? nggak tau apa orang lagi tidur, ganggu saja," ucapnya sambil menguap. "Enak ya, bukanya bayar hutang bapakmu. Kamu malah enak-enakan tidur." "Astaga, Pak Imam," ucapnya kaget. Seketika rasa kantuk yang tadi ada, tiba-tiba sirna, tergantikan rasa takut. "Nggak usah kaget, saya bukan setan. Kapan kamu akan melunasi hutang bapakmu?" tanya pak Imam. "Eh anu, Pak. em, itu, uangnya belom ada. nanti kalo sudah ada, saya antar ke rumah bapak." "Saya nggak mau tau, dua Minggu lagi saya kesini uang itu sudah harus ada. Atau kamu mau jadi gantinya? jika hutang itu belum kamu lunasi juga, aku akan membawamu ke tempat prostitusi dan kamu akan hidup di sana selamanya." "Enggak, Pak," geleng Rani cepat. "Bagus, anak pintar." Rani duduk bersimpuh dilantai, seluruh tubuhnya terasa lemas, bahkan untuk menopang berat tubuhnya saja, kedua kakinya sudah tak sanggup. Ia hanya memandang kepergian lintah darat itu dengan tatapan horor. Selesai mandi, Rani memutuskan untuk menghubungi Vita. "Halo, Rani. Ada apa?" Terdengar suara serak khas bangun tidur. "Vita, aku mau minta tolong." "Kamu mau minta tolong apa, Rani?" "Em ... kamu bisa pinjami aku uang nggak?" ucapnya ragu-ragu. "Memangnya kamu mau pinjam berapa?" tanya Vita. hening "Halo, Rani? kamu masih di sana kan? halo, Rani? Rani?" tanya Vita terdengar panik. "iya, em, aku butuh 50 juta" "Apa?! 50 juta?" pekik Vita kaget. "Buat apa uang sebanyak itu, Rani? bukanya aku nggak mau meminjami, tapi kamu tau sendiri kan keadaanku. Jangankan 50 juta, lima juta saja aku nggak punya." "Sebenarnya, uang itu untuk melunasi hutang ayahku. Ya sudah, kalo kamu nggak ada uang." "Maaf ya, Rani." "Iya nggak papa, nggak usah minta maaf. Ya sudah aku tutup dulu telfonnya." Rani duduk termenung di kursi, dia bingung harus mencari pinjaman kemana lagi. Seketika tubuhnya lemas, membayangkan pak Imam akan menjualnya ketempat prostitusi. Semua bayangan buruk akan tempat itu, melintas dipikirannya silih berganti tanpa bisa dihentikan. Getaran ponsel ditangannya membuat Rani tersadar dari lamunan buruknya. Tertera nama Angga di sana, sebenarnya Rani enggan untuk mengangkatnya. Akan tetapi ponsel itu terus berdering membuat Rani mau tak mau mengangkat panggilan itu. "Iya, ada apa, ngga?" "Kamu nanti berangkat jam berapa, Rani? biar aku jemput, sekalian kita berangkat bareng." "Kamu nggak usah jemput aku, soalnya nanti aku berangkat lebih awal, aku berangkat jam tiga." "Wah ... kebetulan dong, aku juga berangkat jam tiga. Ya sudah kita berangkat bareng ya, nanti aku jemput." "Ya sudah terserah kamu," jawab Rani pasrah. Angga dan Rani adalah karyawan di sebuah butik yang sama, Angga sering membantu Rani dalam pekerjaannya, karena Rani adalah karyawan baru waktu itu. Rani bekerja di butik milik Indira untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Rani sangat bersyukur bisa bekerja di tempat itu, karena memiliki bos dan teman-teman yang baik. *** Setelah memarkirkan motor matic kesayangannya, Angga segera berlari menyusul Rani yang sudah berjalan lebih dulu. Tak disangka di depan pintu masuk mereka berpapasan dengan Indira. "Siang, Bu," ucap keduanya. "Siang juga, Angga, nanti kamu antar baju yang sudah di bungkus Vita ke rumah Bu Nabila ya. Alamat nya kamu minta saja pada Vita. Saya pulang dulu." "Siap, Bu," jawab Angga. Setelah mengatakan itu, Indira bergegas masuk kedalam mobil untuk segera pulang. Hari ini keadaan tubuhnya sedang kurang sehat, jadi dia memutuskan pulang lebih awal. "Eh, Vita, tumben Bu Indira udah pulang jam segini?" tanya Rani. "Iya, tadi katanya gak enak badan. Makanya kuncinya di titipin ke aku, nih lihat," jawab Vita menunjukkan kunci itu. "Si Angga sudah berangkat nganter barang belom, Rani? coba sana lihat." "Kayaknya sih sudah, di depan cuma ada Rio dan Windi," ucap Rani celingukan mencari sosok Angga. "Ya sudah, kalo gitu cepetan duduk sini , Rani," ucap Vita menarik tangan Rani. "Ada apa sih?" tanya Rani penasaran. Karena tiba-tiba saja Vita menarik tangannya. "Ngomong-ngomong, tadi siang yang kamu bilang di telefon beneran ya? gimana ceritanya sih kok bisa punya hutang segitu banyak?" Sebelum bercerita, Rani menarik nafas dan menghembuskan nya secara perlahan. "Dulu, saat ibuku kecelakaan, ayahku meminjam uang kepada lintah darat untuk biaya operasi ibuku. Tapi sayang nyawanya tak tertolong, karena kepergian ibu yang mendadak, ayah 'pun syok dan sakit-sakitan. Setelah kepergian kedua orang tuaku aku hidup sebatang kara, dan harus membayar hutang ayahku. Kalau tidak, lintah darat itu mengancam akan menjual diriku," ucap Rani, menahan tangis mengingat kedua orang tuanya. "Ya ampun, Rani, yang sabar ya, maaf banget aku nggak bisa bantu kamu," ucap Vita memeluk Rani. "Iya nggak papa, ya udah balik kerja lagi yuk. Nggak enak sama yang lain." Semua bekerja seperti biasa sampai saatnya pulang. Setelah mengunci semua pintu, Vita dan Rani berjalan menuju parkiran. Ternyata Angga juga masih di sana. "Angga, kamu pulang duluan aja ya. Aku pulang bareng Vita. Masih mau mampir cari makan." "Ya sudah aku ikut, kebetulan aku juga belom makan. lagi pula kontrakan kita searah kan Vita? nanti bisa pulang bareng, nggak baik cewek pulang malam sendirian," tutur Angga. "Terserah kalian, aku ikut aja," jawab Vita. Mereka bertiga akhirnya berhenti di sebuah warung lesehan pinggir jalan. "Bang ayam goreng + nasi ya, tiga porsi," ucap Rani memesan makanan untuk dirinya dan kedua sahabatnya. "Iya neng, minumnya apa?" "Teh anget semua bang" jawab Rani Tak butuh waktu lama, tiga porsi makanan pun tersaji di hadapan mereka. Tanpa membuang waktu, mereka menyantap makanan itu dengan lahap. Selesai makan, mereka memutuskan langsung pulang. Angga dan Vita mengantar Rani pulang terlebih dahulu. Setelah memastikan Rani masuk kedalam kontrakan, akhirnya mereka berdua pulang ke kontrakan masing-masing. Angga dan Vita, sudah lebih dulu bersahabat. Jauh sebelum mereka mengenal Rani. Selain bekerja di tempat yang sama, mereka berdua juga ngontrak dilingkungan yang sama. Rani bergegas ke kamar mandi untuk segera membersihkan diri. Dia ingin segera tidur di ranjang yang nyaman setelah melewati hari yang melelahkan, bukan hanya badan nya yang lelah tetapi otaknya terasa lebih lelah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD