Prolog

200 Words
Kecantikan tak bercela. Teguklah darah dari muda dan mudi.  Merah itulah yang akan mengembalikan rona di kedua pipi dan bibirmu. Jadikanlah abu tulang sebagai bedak yang menghias wajahmu. Dan jika dirimu menginginkan keabadian. Hiruplah jiwa suci yang melayang di dalam kegelapan. Mantra.... Dalam satu embusan napas, sang penyihir darah melantunkan kalimat demi kalimat dengan khusuk. Seakan tiap kata yang keluar dari bibirnya adalah bagian dari jiwanya. Mistis yang dihias dalam elegi minor, satu ketukan dalam detak jantung sang penyihir. Tidak boleh ada kekeliruan, tidak boleh ada kesalahan, dan tidak boleh ada yang kurang. Semua bagian dalam ritual adalah keharusan. Mantra yang memikat pun tak akan tersia-siakan. Penyihir darah menari-nari di bawah sinar rembulan. Angin berbisik dan tanah yang dijejak sang penyihir pun berguncang. Bayang-bayang hitam bermunculan dari dalam kerak tanah—berpusing dalam satu alunan. Di hutan yang terlupakan itu, sebuah pesta tengah berlangsung. Tetamu yang ada di sana bukanlah mahluk fana yang bernapas. Tidak ada musik yang mengiringi sang penyihir darah. Hanya ada langit malam dan para penghuninya.  ″Katakan padaku,″ bisik sang penyihir pada semesta, ″kesempurnaan yang sejati.″ Di suatu malam yang terlupakan, langit menjadi saksi atas bangkitnya kegelapan.  Kegelapan sejati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD