Not My Cup of Tea

832 Words
Sometimes living your best life means living the single life. "I told you, right? I am fine. With or without anyone else. So please stop there and let me enjoy my life." Kata Ken yang sudah mulai rishi dengan perlakuan sahabatnya, Citya. "So? With or without kan? Jadi nggak masalah kalau lo coba sama yang ini." ujar Citya sambil terus menarik tangan Ken menyusuri Kuningan City. Salah satu Mall yang berada di daerah Kuningan ini memang favorit Citya dan Ken karena tidak terlalu ramai. Sebenarnya bisa dikategorikan sepi, kalau dibanding dengan Mall lain di Jakarta. Citya melepas genggamannya, membalik badan dan menatap Ken dengan tatapan jengkel. "Lagian ya Ken, gue bosen denger kalimat itu. Selalu keluar dari mulut lo tiap kali gue mau ngenalin lo sama temen gue." Citya memutar bola matanya, memberikan kesan bahwa dia sudah sangat bosan dan jengkel. "Cit. Masalahnya temen-temen lo itu nggak mau sama gue. Jadi gue males. Lagian gue fine kok. fine banget malah." kata Ken seraya meraba-raba saku blazer mencari Handphone nya. "Fine lo bilang? Ngajak driver uber car ngopi, nonton film romantis di bioskop sendirian menurut lo fine?” Ken terdiam sejenak. Memikirkan semua kata yang terlontar dari bibir tipis Citya yang hari ini berwarna orange muda karena lipstik. "Temen -temen gue bukan nggak mau sama lo, tapi sifat cuek lo itu rubah dikit dong Ken." ucap Citya dengan tidak sabar. Kedua bola mata Citya membelalak geram. Seperti sudah tidak ada sisa kesabaran lagi menghadapi sahabatnya yang sudah dia kenal sejak kuliah. Pernah hidup di bawah satu atap di sebuah kontrakan selama tiga tahun membuat Citya tahu segalanya tentang Ken. Namun tahu saja tidak berarti memahami. Bagi Ken yang terbiasa mandiri, kehadiran seorang pria tidak termasuk dalam list "must have" nya. Apalagi setelah orang tua Ken memutuskan untuk berpisah, keadaan itupun banyak mempengaruhi pola pikir Ken. Tidak memiliki bayangan dan pandangan keluarga bahagia di sekitar lingkungannya membuat Ken berpikir ribuan kali untuk menikah. Kalau sendiri saja sudah bahagia, lalu kenapa harus memiliki pasangan yang nantinya hanya akan memegang kendali semua perasaanmu? "Wait Cit." ucap Ken tiba-tiba. Wajahnya menegang dengan malas Citya mendangakan sedikit dagunya yang mengisyaratkan agar Ken melanjutkan kalimatnya. "Handphone gue dimana ya?" Ken sibuk merogoh saku blazer dan tas nya bergantian. Wajahnya panik dan alisnya bertaut. "God. No more please." Citya mengambil Handphone-nya, kemudian menekan tombol dial di kontak nama Ken. Ken mulai panik. "Nyambung nggak?" tanya Ken sambil merapikan blazer warna khaki miliknya yang mulai kusut. "Nyambung-nyambung, Eh gue inget, lo tadi taruh di meja sbux pas kita beli kopi kan?! Itu udah lo ambil belum pas kita balik?" tanya Citya yang langsung disambung tepukan jidat Ken. "Ampun Dejaay! Lupa gue. Lo langsung ke Humming Cafe aja nanti gue nyusul. Nggak enak sama cowok lo dan temen-lo-yang-kata-lo-charming-dan-yang-mau-lo-kenalin-ke-gue. Udah nungguin kan mereka?" Dalam setahun ini sudah dua kali Ken ganti Handphone karena hilang. Hilangnya bukan tanpa alasan, tapi karena Ken mempunyai kebiasaan buruk meletakkan sembarangan Handphone dan segala benda yang ada di tangannya. Setelah membujuk Citya agar tidak ikut, Ken langsung melesat menuju sbux secepat yang dia bisa lakukan. Kehilangan Handphone untuk yang ketiga kalinya dalam setahun tentu saja bukan hal yang lucu, dan Ken yakin bukan impian semua orang. "Mas, barusan ada Handphone ketinggalan nggak di meja yang itu?" tanya Ken saat sampai di sbux sambil menunjuk meja di dekat jendela besar dan rak tumblr yang tersusun rapi. Nafasnya tersengal, matanya juga tidak berhenti memperhatikan sudut demi sudut ruangan itu. Wajah barista sbux terlihat sedang berpikir. "Memang tadi ada Handphone yang ketinggalan, dan ter password. Kaka bisa buka passwordnya?" "Surely sure!" jawab Ken spontan. Mas mas Sbux yang sedang memakai celemek berwarna hijau mengambil iPhone berwarna gold di dalam laci dekat meja kasir, kemudian menghadapkan iPhone itu pada Ken tanpa membiarkan Ken menggengamnya. Hanya memastikan bahwa Ken benar benar pemilik Handphone itu. Setelah menempelkan ibu jari di button sidik jari, kuncinya pun terbuka dan langsung muncul gambar foto wajah Ken yang sedang liburan di Bali pada layar iPhone itu. "Alhamdulillah. Thanks ya.” ucap Ken lega sambil tersenyum lebar tanpa kendali saking leganya. "Tadi yang ngasih Handphone Kaka kesini, Mas yang duduk di meja itu Ka. Just for your information, Kak.” Ken berhenti mengecek isi Handphone, bola matanya beralih mengikuti arah telunjuk si barista. Melihat sesosok pria berbadan tegap dengan otot otot lengan yang bahkan sulit disembunyikan oleh kain baju yang dia pakai, mata elang pria itu tajam menatap layar iPad, hidungnya yang mancung dan rahangnya yang terlihat kuat seketika membuat Ken merasa bahwa dunia ini kadang memang tidak adil. Bagaimana mungkin semua hal yang dinilai "indah" oleh makhluk di bumi ini, semuanya melekat di pria itu. Seolah-olah kelima indera yang ada pada pria itu membentuk suatu kesatuan yang sempurna dan saling melengkapi. Ken memang tidak percaya pada cinta, tapi mengagumi keindahan ciptaan Allah adalah wajib hukumnya bagi Ken. "Kay, then. I will go there and say Thanks." Ken berjalan mendekati pria itu, hingga pria itu seperti sadar bahwa ada yang mendekat kearahnya. Kepala pria itu mendongak dan mendapati Ken sedang menatapnya. Kedua pasang mata mereka saling beradu, pancaran kekaguman dari sinar mata Ken terbaca jela. Membuat Ken tersadar dan matanya berkedip pada akhirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD