BAB I

1022 Words
ROMEO     Suatu malam di dalam Ford Mustang warna merah, gue melakukan dosa langganan gue yang ke sekian kalinya.             “Go home? Did I hear wrong? We haven’t seen each other for a couple of weeks!” Teresa menatap gue dengan mata cokelatnya. Meski begitu, senyum masih tersemat di wajahnya.             Gue tersenyum ke arahnya. Bersiap mengucapkan kalimat yang kalau dia masih sosok Teresa yang sama, the coolest b***h I’ve ever seen, seharusnya kalimat ini nggak akan menyakitinya dan sudah dia antisipasi sebelumnya. Because before we date, we both know that we are a player.             “Do you remember the cute girl in the train last summer?”             Teresa tampak mengingat-ingat. “That silly blonde girl?”             Gue mengangguk tertawa. Begitulah Teresa, mengutamakan fisik dan nggak pernah sungkan mengungkapkan penilaiannya yang cenderung seperti cemooh terhadap orang lain. “Aku ada janji sama dia malam ini,” jawab gue, mencoba terlihat sesantai mungkin.             Ada jeda sejenak sebelum akhirnya Teresa bersuara lagi. Gue sempat melihat perubahan raut mukanya sebelum akhirnya dia menyikut perut gue dan menampakkan erlingan yang gue akui menawan sekaligus berbahaya. “So this is the reason why you keep telling me that you’re busy? You date the girl who have no right to compare with me!” cetusnya sembari mengibaskan rambut kemerahannya.             “You’re the prettiest, the sexiest, and there’s a bunch of people wants you, right?”             Teresa mengangguk bangga. “So, this is our last date?” tanyanya. Sebelum akhirnya kami kembali menjadi sahabat.             Itu adalah peristiwa pemutusan paling mulus sepanjang pengalaman kencan gue. Biasanya, kalau nggak pakai satu-dua tamparan melayang ke pipi gue, satu-dua jam gue musti nemenin si cewek yang gue putusin itu nangis sambil menghibur dia. Menghibur sambil bilang “It’s not your fault. Aku yang b******k, dan kamu pantes dapet yang lebih baik.” Well, setumpuk kalimat basi dan klasik yang kalau dilontarkan cowok lain mungkin akan membuat mereka terdengar makin bastard. Tapi karena pengalaman dan gesture gue yang meyakinkan, kalimat sampah itu justru mengurangi derajat kesalahan gue.             Jurus itu memang sering mempan. Tapi tetep aja, itu nggak menghindarkan gue dari sumpah serapah dan makian orang-orang terdekat  mantan- mantan gue, yang mungkin salah satunya berhasil jadi kutukan.             “Gue sumpahin setelah ini lo jomblo seumur hidup!”             “Gue sumpahin lo disakiti lebih parah dari ini!”             “Gue sumpahin kalau lo beneran naksir cewek, cewek itu nggak bakal bisa lo dapetin!”             Itu adalah beberapa dari sekian banyak variasi kutukan yang pernah terlontar. Well, gue sih sebenarnya orang rasional. Nggak percaya sama karma atau semacamnya. Tapi kali ini, di Bali, di pulau yang biasa dibuat romantis-romantisan sama pasangan ini, ketika gue benar-benar naksir cewek dan bukannya berduaan tapi malah terpaksa nemuin utusan dari perusahaan lain, gue mulai was-was dengan sumpah serapah itu.             Gila aja! Dari banyaknya janji yang udah coba untuk gue penuhi sebelum agenda ini, bahkan gue tolak demi momen langka berdua dengan Khayana sebelum besok pagi-pagi harus meeting dengan klien, masih ada aja yang terlewat.             Suara denting antara garpu dan piring terdengar lagi di tengah alunan musik restoran hotel bintang lima Denpasar. Gue menyejajarkan pandangan dengan lawan bicara gue. Tahu kalimat yang bakal diucapkannya.             “Saya dengar Anantasena diminta pulang untuk membereskan kekacauan grup,” ujar Danang, lelaki paruh baya botak yang merusak rencana gue sore ini.             Gue memasukkan potongan pudding ke mulut. Mencoba bersikap wajar saat dia mulai menyinggung topik inti yang menjadi tujuan utamanya menemui gue. “Betul. Saya sendiri yang nyaranin Om Agung buat manggil Sena.”             “Dan sepertinya banyak yang ingin beliau maju sebagai calon Chairman.” Si botak masih giat memancing. Nggak heran dia giat meneror Khayana untuk ketemu gue dan mau mengejar sampai ke Bali.             “Tentu saja,” balas gue santai.             Danang menghentikan aktivitas mengunyahnya, mulai menatap gue serius. “Kalau Bapak melibatkan kami dalam proyek Artesa, kami siap memberikan suara seandainya Bapak membutuhkan dukungan melawan Pak Sena di pemilihan nanti.”             Gue menyesap minuman lantas tersenyum. “Sayang sekali, informasi yang Anda korek tentang saya dan Sena sepertinya cuma sampai permukaan.”             Raut wajah Danang memerah, semerah namanya dalam daftar gue. Well, gue nggak memasukkannya ke daftar hitam karena orang-orang yang masuk daftar hitam nggak akan pernah gue panggil untuk gue manfaatkan. Sedangkan Danang, dengan karakternya yang hobi cari muka seperti ini, mungkin bisa gue manfaatkan.             Percakapan itu pun kami akhiri dengan meneguk minuman masing-masing. Bedanya, gaya Danang meneguk minuman bukan untuk menggelontor sisa makanan di kerongkongannya, melainkan untuk memadamkan api di dadanya karena sindiran-sindiran yang sempat gue ucapkan sebelum acara ramah tamah ini berakhir.             Diam-diam gue melirik Khayana, staf gue yang sedari tadi memasang wajah acuh, yang buat gue malah terlihat manis. Perempuan tercantik, terdisiplin, terbrilian, dan ter-ter-semua yang bikin gue makin tergila-gila ini adalah perempuan yang secara super sober belum bisa gue dapatkan.             Dan menjelang petang, gue cuma bisa terima nasib. Melewatkan salah satu sunset terindah dengan dicuekin Khayana, jauh dari kesan romantis. Ditambah lagi nggak digelayuti oleh wanita-wanita karena menolak tawaran Danang yang mencoba mengambil celah gue lagi setelah gagal dengan tawaran dukungan di pemilihan Chairman. Yang jelas-jelas gue tolak. Karena selain gue menganggap hal itu merendahkan martabat perusahaan juga seorang Romeo Syadiran yang jika menginginkan wanita bidadari pun bakal rela turun ke bumi, gue juga sedang menjaga image gue sendiri di depan Khayana. Satu-satunya perempuan yang justru menjaga jarak dengan gue ketika yang lain berlaku sebaliknya. Dan itu membuatnya keluar dari daftar wanita-wanita termasuk bidadari tadi.             Gue masih mencoba untuk membuka percakapan ringan saat kami berdua dalam satu lift menuju kamar yang kami pesan. Namun, Khayana hanya menanggapi sepatah dua kata sesuai porsinya demi sopan santun. Bahkan setelah menunjukkan kamar dan mengingatkan jadwal gue, gadis itu cuma mengucapkan selamat malam. Dan lagi-lagi seperti tombol otomatis, senyum di bibirnya mengembang disertai gerakan menunduk yang menutup kalimatnya. Benar-benar gesture sesuai standart kantor yang seolah-olah sudah ter-setting permanen di otaknya.             .Gue menghela napas saat akhirnya kami memasuki kamar masing-masing. Meratapi atau mungkin mencoba membanggakan pencapaian gue atas mulai terbiasanya gue dengan kesendirian di malam hari, entah untuk ke berapa ratus kalinya. Sejak bertemu Khayana Allura. Yang sampai sekarang masih sulit gue percaya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD