1

1135 Words
Potongan 1................ "Pergilah." Tak ada jawaban atau reaksi yang diberikan atas perintah tersebut. Hanya tatapan sarat akan rasa bersalah dan penyesalan yang mampu ditunjukkan Dion di hadapan Riana. Karena sifat bodohnya semalam, secara tak sengaja dia telah menyakiti perempuan itu. Meski, tidak tampak ada cairan bening menggenang atau mengalir dari kedua mata Riana. Akan tetapi, Dion merasakan perih di d**a melihat sosok perempuan yang pada kesehariannya di kantor terlihat energik dan bersemangat dalam bekerja itu, kini tengah duduk di hadapannya dengan tatapan kosong dan wajah pucat. Senyuman hangat yang seperti biasa dipersembahkan oleh atasannya itu, dikala mereka sedang membicarakan masalah pekerjaan di kantor, tak dapat lagi dilihat Dion sejak kejadian tadi malam yang mengubah segalanya. "Maafkan aku." "Cepat pergilah!" Riana menaikkan nada bicaranya. Amarah dan emosi bercampur menjadi satu, sehingga berhasil menipiskan kesabaran yang sedari tadi coba untuk dipertahankannya. Keberadaan Dion yang masih saja tertangkap oleh kedua matanya membuat Riana muak. Terlebih ketika mengingat apa yang sudah dilakukan laki-laki itu kepadanya dan menghancurkan masa depan yang sudah dengan begitu apik dirancangnya dalam hitungan semalam. Ingin sekali rasanya dia mendaratkan tamparan dan pukulan-pukulan keras ke wajah Dion, sebagai bentuk pelampiasan atas segala kekecewaan serta amarahnya. Namun, lagi-lagi Riana terus mencoba untuk mengendalikan diri. "Cepat pergi!" Teriakan penuh amarah yang sangat jelas ditujukan kepadanya tak mengurungkan niatan Dion untuk tetap berada di sini. Dia tidak akan menuruti begitu saja perintah Riana. Apalagi setelah perbuatan yang dilakukannya pada perempuan. Ralat, wanita itu. Hening menghinggapi mereka hingga beberapa menit ke depan. Riana yang duduk di atas sofa ruang tamu rumahnya, membuang pandangan ke arah lain. Berusaha menghindari tatapan Dion yang terus-menerus terarah kepadanya. Rasa benci yang semula tak pernah ada, kini bahkan memenuhi Riana hanya dengan melihat wajah laki-laki yang berusia lebih muda dua tahun darinya itu. Di sisi lain, Dion ingin memberi tahu yang sebenarnya, kronologi peristiwa. Kemarin malam, mereka berdua bertemu dengan salah satu klien bisnis Riana di sebuah bar untuk membahas kesepakatan kerja sama. Namun, secara tak sengaja Dion menguping jika klien tersebut berniat menghancurkan Riana, yakni dengan cara menjebaknya. Dion juga mendapati klien tersebut memegang sebuah botol obat, lalu menyerahkan pada seorang pria. Setelah mendengar rencana aksi balas dendam yang tampak sudah diatur dengan sangat rapi itu. Mendadak firasat buruk menghampiri Dion. Dan selama pertemuan berlangsung, Dion selalu berada di samping Riana. Mengamati setiap gerak-gerik yang dilakukan klien mereka serta seorang pria yang diajaknya. Seribu sayang, Dion tak dapat mencegah ketika Riana meminum minuman yang sudah dicampurkan obat perangsang tersebut. Tidak lama setelahnya, entah apa yang mendorong Dion dengan spontan menenggak minuman yang seharusnya diminum oleh pria itu. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi. Dion segera mengajak Riana untuk pergi dari bar. Dia kemudian mengantar wanita itu kembali ke rumah. Dan peristiwa tak terduga pun terjadi di kediaman Riana akibat efek dari minuman yang dikonsumsi Dion. Sungguh di dalam hati, dia hanya tak ingin wanita itu hancur hanya karena jebakan murahan yang direncanakan oleh klien mereka. Tetapi, kini malah dia lah yang menghancurkan Riana dan mungkin tidak mudah baginya untuk memperoleh maaf setelah apa yang dia lakukan tadi malam. "Maafkan aku," ucap Dion sangat menyesali kebodohannya yang tak tahu akan efek yang ditimbulkan dari obat tersebut "Maaf?" ulang Riana dengan nada sinis dan suara yang meninggi. "Pergi! Tolong pergi dari sini!" seru wanita itu mengusir Dion dari kediamannya. Dia masih duduk mematung di tempat, sekali lagi mengabaikan perintah Riana. Tatapannya tak pernah teralihkan dari wajah pucat wanita itu. Rasa sakit menjalar di d**a Dion. "Cepat pergi!" Riana kembali berseru. Kesabaran yang mati-matian dipertahankannya sedari tadi seakan sudah tak berlaku lagi detik ini. Hanya amarah dan emosi yang mendominasi. "Ak-" "Jangan pernah menyentuhku!" Riana berteriak. Dia tidak mampu mengendalikan dirinya saat Dion mencoba untuk menyentuh tangannya. Sikap Riana benar-benar berubah. Menurut Dion tentu hal tersebut wajar ditunjukkan Riana. Sebab dia sadar wanita itu bersikap berbeda karena ulahnya yang sangat fatal dan tidak bisa dimaafkan. "Maafkan aku," Dion berucap kembali. Dia sungguh tak tahu harus bagaimana sekarang. Sementara, Riana berusaha menghiraukan setiap kata yang keluar dari mulut Dion. Baginya, kata maaf tak bermakna sedikit pun. Semua hancur dan tidak bisa dikembalikan seperti sedia kala. Tidak memerdulikan pening yang semakin menyerang kepalanya, Riana segera bangkit. Berlama-lama berada dalam satu ruangan dengan orang yang dibencinya, membuat Riana tak nyaman. Jadi, dia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Setidaknya, dengan begitu dia berharap dapat menstabilkan emosinya kembali. Namun, baru saja melangkah sebanyak dua langkah ke depan. Tiba-tiba Riana kehilangan kesadaran dan tak mampu lagi menjaga keseimbangan tubuhnya. Jika saja Dion tak langsung menangkap tubuh mungil Riana, maka dapat dipastikan wanita itu akan menyentuh dinginnya lantai. "Riana, bangun!" Dion yang panik pun refleks mengguncang-guncang tubuh Riana yang berada dalam dekapannya. Tak ada jawaban seperti yang dia harapkan karena wanita itu masih pingsan. ............................. Riana membuka kedua kelopak matanya sedikit demi sedikit. Kepalanya memang masih terasa pusing. Namun, tidak separah sebelumnya. Wanita itu terkesiap menyadari kini dia tengah berada di atas tempat tidur. Apa dia yang membawaku ke sini? tebak Riana dalam hati. Seketika kemarahannya pun muncul. "Riana, kamu sudah bangun?" tanya Dion dengan suaranya yang berat. Menatap wanita itu dengan sorot khawatir. Hampir ada 10 menit lamanya dia setia menunggu Riana bangun. Dion memilih duduk di salah satu kursi kayu yang ada di dalam kamar. Matanya selalu mengarah pada sosok wanita yang terlihat pucat dan rapuh itu. Hatinya kembali berdenyut sakit. "Kenapa kamu masih di sini? Cepat pergi!" seru Riana keras saat Dion berjalan mendekatinya. Laki-laki itu tak peduli, dia semakin mempersempit jarak di antara mereka. "Jangan mendekat!" perintah Riana dengan deru napas tidak beraturan. Tetapi, kedua telinga Dion seolah-olah tuli, tak mendengar semua larangan-larangan yang ditujukan untuknya. Tangan kanan Dion terulur menuju dahi Riana, bermaksud mengecek suhu tubuh wanita itu. Masih panas. batin Dion. Dengan kasar dan tatapan tajam, Riana menepis tangan laki-laki yang secara tak langsung sudah menghancurkan masa depannya itu. "Sudah kubilang, jangan pernah menyentuhku!" seru Riana tak terima dengan perlakuan Dion kepadanya. "Maafkan aku." "Cepat pergi! Sebelum aku lepas kendali untuk menamparmu!" peringat Riana dengan penuh penekanan. Dia muak, sungguh. "Tapi kamu sedang sakit, Riana. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri di sini." Dia tak tega melihat kondisi wanita ini yang terpuruk akibat perbuatannya. "Aku mohon. Cepat pergi Dion!" "Tidak, aku tak akan pergi. Tamparlah aku sesukamu, karena aku memang bersalah." "Kenapa kamu melakukan ini padaku? Apa salahku?" ucap Riana dengan nada frustrasi. Air matanya jatuh lebih deras sekarang. Dia mulai mengisak. Dion yang tak tahan melihat Riana menangis terus, mencoba memeluk wanita itu secara paksa. Tentu, Riana berontak tanpa henti. "Lepas!" teriak Riana seraya memukul d**a laki-laki yang berusai lebih muda darinya itu. Namun, dekapan Dion terlalu kuat. "Maafkan aku, Riana. Aku memang berengsek," kata Dion pelan dengan rasa sesak yang menghantam dadanya. Entah, sejak kapan air matanya juga mengalir membasahi baju Riana. Dion benci pada dirinya sendiri karena telah menyakiti seorang perempuan sampai sejauh ini. .........................
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD