Chapter 1

1512 Words
Baru saja Gylea sampai di atas puncak bukit itu, matanya sudah disodori pemandangan yang sangat memukaunya. Sebuah istana megah berdiri di hadapannya. Bagaimana bisa? Dengan inpulsif Gylea segera mengeluarkan sebuah kamera dari dalam tas gendongnya. Ceklek ...ceklek.. Dia mengarahkan terus kameranya ke istana megah itu, dari berbagai sudut pandangnya. Namun, tiba-tiba .... Ups!!! Kameranya menghilang dalam sekejap dari tangannya. Sebelum Gylea sadar dengan apa yang terjadi, dihadapannya telah berdiri sesosok laki-laki dengan mimik wajah yang tidak bersahabat. Lebih terkejut lagi saat mendengar gelegar suaranya yang sangat murka. "Anda ...?!! Enyahlah dari tempat ini sekarang juga!!" bentak laki-laki itu, tangannya menggenggam kamera miliknya. Gylea tak terima diperlakukan seperti itu. Secara spontan matanya yang bundar itu mempelototinya. "Kembalikan kameraku!!" teriaknya tanpa mengenal takut. Eit ... laki-laki itu berkelit, saat tangan Gylea bergerak mau menyambar kamera yang ada di tangannya tersebut. Dengan geram, dia kembali menghardiknya "Pergi..!! Anda tidak punya hak ada di tempat ini!" kakinya agak mundur dua langkah, sambil memindahkan tangannya yang menggenggam kamera itu ke belakang punggungnya. "Baik!! Saya akan angkat kaki dari tempat ini, asal kamera saya, anda kembalikan !" tantangnya, dagunya terangkat tinggi-tinggi. Laki-laki itu memicingkan matanya, ekspresinya tidak berubah tetap galak. "Jangan mimpi! Dikamera ini, sudah banyak foto yang telah anda ambil. Saya tidak suka ada orang sembarangan mendokumentasikan rumah saya." kemudian, dia maju lagi selangkah, "Jangan-jangan, Anda wartawan amatiran, yang kekurangan bahan untuk bisa Anda jual." Gylea kembali membelalakkan matanya, mendengar ejekan yang merendahkan dirinya. Secara gesit ia meloncat tanpa aba-aba lagi, mau merebutnya kembali. Ahh ... !! Gylea terhuyung-huyung karena sasarannya berpindah tempat secara cepat dan tubuhnya limbung. Hampir saja tersungkur mencium tanah, kalau saja tidak ada tangan yang kuat menyambarnya. Tubuhnya terkungkung kuat dalam rangkulan sebelah tangan, tepat ada di bawah payudaraanya. Menghimpitnya, dengan tenaga yang tidak bisa dilawan lagi. Walau Gylea berusaha melepaskan diri, malah dirinya semakin terperosok dalam pelukannya. Tubuhnya merangsek ke atas, tanpa sadar kalau sebelah kanan laki-laki itu masih merangkul pinggangnya. Tubuh tingginya adalah salah satu kelebihannya, apalagi tangannya yang teracung sambil tetap menggenggam kameranya. Sekalipun tubuh Gylea meloncat-loncat untuk menjangkaunya, tetap saja tidak berhasil. Dan terakhir Gylea dikejutkan saat wajahnya berhadapan sangat dekat. Laki-laki itu menundukkan wajahnya, setengah mendesis mengancamnya lagi. "Hentikan usaha Anda! Lebih baik pergi, dan jangan menoleh lagi." Bruk!! Tubuhnya ambruk di tanah, karena dengan kejam dia melepas rangkulan tangannya dari tubuh Gylea. Pria arogan itu balik badan dan melangkah pergi. "Kameraku .... " lirihnya, Gylea agak menurunkan nada suaranya. Hampir putus asa, karena manusia yang dihadapinya ini ternyata tidak mempunyai jiwa. Seumur hidup belum pernah menemukan orang seperti itu. "Kamera itu milik ayah, ada sejarahnya. Setahun yang lalu, ayah saya meninggal." hampir terisak tapi tanpa air mata. Sambil melihat punggungnya, Gylea berharap langkah kaki yang panjang-panjang itu berhenti. Namun, jangan berharap banyak. Sepertinya kisah sedih yang mau disampaikannya, sama sekali tidak menarik minat laki-laki itu. Gylea mulai panik, asli! Dia tidak rela kehilangan kamera yang penuh sejarah itu. "Kamera jelek! Kamera jadul! Sama sekali tidak berharga bila dimiliki orang lain, tetapi bagi saya, itu sangatlah berharga. Kembalikan!!" teriak Gylea, sudah benar-benar hilang akal. Orang itu menghentikan langkahnya dan berbalik. "Baiklah! Saya akan hancurkan kamera ini sekalian!" malah makin marah, pikir Gylea. Ia merasa ngeri dibuatnya, saat kedua tangan laki-laki itu terangkat hendak mengarahkan kameranya ke sebuah batu agak besar. "Jangannnn .... !!" jeritnya, pilu. Tubuhnya bangkit, kakinya langsung berlari menghampirinya. "Baiklah, anda hanya cukup mengambil roll film negatifnya, sementara kameranya saya ambil." matanya yang bening itu menatapnya penuh harap. Dibalas dengan tatapan yang tajam. Sama sekali tidak ada sedikit pun rasa kasihan, melihat Gylea seperti itu. "Anda benar-benar tak berbelas kasihan." ucapnya, "kalau saja tak ada nilai sejarahnya, saya akan dengan rela memberikan kamera itu pada anda." ia sama sekali tak habis pikir, kok ada ya, orang yang punya tempramen sekejam itu. "Anda yang datang tanpa diundang. Saya sudah dengan jelas memberitahukan, kalau daerah ini terlarang bagi siapapun tanpa seijin saya." "Kalau anda tak menghendaki saya tinggal lebih lama lagi, sebaiknya kembalikan kamera itu dan saya janji akan segera pergi dari sini." Gylea merasa kesal. Sudah berputar-putar dengan masalah yang sama, tapi tidak selesai juga. Sinar matanya semakin tajam. Sepertinya sudah tidak sabar lagi akan tingkah gadis ini. "Ok, roll film negatifnya saya ambil, kameranya akan saya kembalikan." Nah! Akhirnya, laki-laki ini sudah mengambil keputusan yang membuat mata indah Gylea berbinar-binar. Laki-laki itu agak terhenyak untuk sesaat, baru sadar akan keindahan bola mata gadis itu, sangat bening dan nampak polos. "Tapi sebentar ... " selanya. "Anda datang ke sini, tujuannya apa?" tanyanya masih penuh kecurigaan. Pembicaraannya sudah mengarah keinterogasi sekarang, membuat Gylea menarik napas panjangnya. Api di matanya sudah tidak terlihat membara lagi. "Saya bukan wartawan seperti yang anda kira, saya baru saja mendapatkan gelar sebagai sarjana psikolog." Wajahnya nampak terkejut dan tatapannya menilai-nilai. "Jangan melihat penampilan. Saat ini saya tidak bisa membuktikannya, karena tas ini hanya berisi alat mandi, pakaian ganti dan sebuah album yang berisi foto-foto penduduk kampung Tani Mukti yang ada di bawah kaki bukit itu." tunjuknya ke arah bawah, di mana tadi sebelum ia nekad mendaki puncak bukit ini, sempat bercengkrama dengan beberapa penduduk desanya. Dia melihat ke arah bawah yang ditunjuk gadis itu, tetapi sepertinya ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. "Anda pernah datang ke sini sebelumnya?" tanyanya sedikit melamun. "Tidak ke sini, tapi ke kampung di kaki bukit itu" Gylea mengulang penjelasannya tadi. Lalu melanjutkan, supaya laki-laki ini tidak lagi mencurigainya. "Saya sangat terkesan dengan sungai kecil yang ada di bawah sana." pandangan Gylea mengarah pada sungai. Namun, tidak akan terlihat dari posisi mereka berdiri. Di sekeliling mereka, dipagari sangat rapat oleh pohon-pohon Pinus yang menjulang sangat tinggi. "Benarkah kamu seorang psikolog?" tanyanya tiba-tiba, sepertinya omongannya sedari tadi tak begitu digubrisnya. Gylea agak melongo. Aishhh, ternyata laki-laki ini lebih tertarik dengan predikatnya sebagai seorang sarjana psikologi. Namun, Gylea menghadapinya untuk lebih sabar, demi kamera legend-nya. "Saya sudah mengatakannya pada anda tadi, saya belum punya banyak pengalaman. Selain itu, saya harus kuliah lagi untuk mendapatkan profesinya. Jadi, belum punya ijin prakteknya untuk menerima seorang klien." Aneh, pikirnya. Ia melihat ada kegelisahan diraut wajah laki-laki ini, padahal tadi sebegitu garangnya. Gylea kembali terkaget-kaget, saat secara tiba-tiba tangannya ditarik kasar. Tubuhnya berusaha menahan. "Sebentar .... Tadi anda berusaha mati-matian mengusir saya, sekarang apa mau Anda, menyeret saya mendekati istana itu?" tanyanya, takut-takut. "Ikut saya!!" ajaknya, dengan seenaknya. Kearoganan dia, muncul kembali "Lepaskan.." teriaknya kesal. Dia menatapnya. "Anda masih mengingat benda ini...?" tangannya mengacungkan kamera itu. "Kita akan membuat suatu kesepakatan, kalau kamera ini ingin kembali" tegasnya. Dia membalikan badannya, tangannya tetap diseret tanpa ampun, lebih mendekat munuju gerbang istana. Laki-laki itu baru berhenti, saat memasuki halaman dari istana. Sementara Gylea napasnya agak tersengal-sengal, capek diseret terus oleh orang tak berperasaan ini. Kemudian, tangannya menunjuk pada sesosok tubuh yang sedang duduk di atas kursi roda, yang terrlihat diam tak bergerak. Gylea yakin, kalau saja orang itu normal, pasti bisa merasakan kehadirannya. Posisi mereka tidak begitu jauh. Namun, gadis itu menoleh pun tidak, matanya terbuka tapi kosong. Sebagai lulusan psikolog tentu Gylea sudah bisa menebak, ada sesuatu yang terjadi pada gadis cantik itu. "Cantik sekali" gumamnya. Membuat laki-laki itu menoleh padanya. "Ya, adikku sangat cantik, tapi apatis. Sudah dua bulan dia begitu." "Dua bulan ... ? Ya Tuhan, kenapa Anda membuangnya ke sini? Harusnya dia ada di bawah perawatan RS Jiwa." Gylea memang biasa mengungkapkan apa saja yang ada di pikirannya. Memancing untuk laki-laki itu meliriknya lagi. "Saya pikir tempat ini bisa membuat perubahan pada dirinya, karena tempat ini sangat tenang dan jauh dari kebisingan. Saya tidak bermaksud membuangnya di sini." protes laki-laki itu, tidak senang. Matanya diedarkan ke seluruh tempat yang ada di hadapannya. Sungguh, tempat yang luar biasa. Selain istana ini sangat megah, tatanan sekitarnya pun sangat menunjang keindahannya. Di samping sebelah kiri, ada taman penuh dengan bunga-bunga dan kolam renang di samping sebelah kanannya. "Tapi adik anda butuh penanganan seorang dokter ahli kejiwaan, tidak bisa dibiarkan terlalu lama." kata Gylea mengingatkan. "Dan tugas itu sudah menjadi tugas Anda, sekarang!" Mata Gylea terbuka lebar, sudah jelas maksud dari sikap baik-baiknya ini, rupanya ingin memanfaatkan keahliannya. "Maksudnya, saya akan merawat adik anda? Sudah saya bilang, saya belum bisa menerima klien, karena belum mendapatkan profesinya." tolak Gylea tegas. Logikanya, kalau orang butuh, pasti akan berusaha dengan cara membujuknya, tapi tidak dengan laki-laki ini. Dia kembali mengingatkan Gylea, dengan kembali mengacungkan kamera itu kehadapan wajahnya. "Anda sudah melupakan ini?" tunjuknya, membuat wajah Gylea memerah, karena amarahnya bangkit kembali. Ia melihat senyum penuh ejekan dari laki-laki itu. Sial...sial...sial..!! Kenapa dirinya harus bertemu orang semacam ini? Seumur hidup, baru kali ini ditemuinya. "Anda sangat tahu kelemahan saya dan seolah punya hak untuk memaksa saya mengikuti keinginan anda." rungutnya kesal. Namun, tidak berdaya, karena kamera itu sangat tak ternilai bagi dirinya secara pribadi. Ayah ... Isaknya dalam hati. Tidak mungkin kamera itu dibiarkan terus ada ditangan laki-laki itu. Apapun caranya akan dia lakukan, asal kamera itu kembali ada ketangannya. Pria yang belum dikenalnya ini, malah semakin melebarkan senyumannya. Sebuah senyuman yang penuh kemenangan. *Ini cerita pertamaku yang aku tulis tahun 2013 dan baru di publish di Dreame. Semoga suka.... Jangan lupa tap lovenya supaya tersimpan di Pustakanya. follow juga akunku...Terima kasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD