Gadis Manis Bermulut Sadis

1821 Words
Daniyal, seorang pemuda kampung berusia 20 tahun berkulit sawo matang, berbadan tegap dan berambut cepak berdiri di depan papan nama utama sebuah universitas. Senyuman terlebar yang terus tersungging sejak ia berdiri lima menit lalu menandakan ada perasaan bahagia yang membuncah di dalam hatinya. Bagaimana tidak bahagia jika impian yang ia miliki sejak empat tahun lalu akhirnya terwujud. Sejak duduk di kelas sebelas SMA Daniyal memiliki impian untuk bisa melanjutkan pendidikan di sini. Meskipun orang tua dan sebagian besar keluarganya berprofesi sebagai petani namun hal tersebut tidak membuatnya ingin mengikuti jejak mereka. Bukan karena dia tidak bangga dengan profesi orang tuanya, akan tetapi justru pemuda itu berharap agar dengan dirinya mengambil kuliah jurusan bisnis bisa membantu mengembangkan dan meringankan perjuangan mereka dengan ilmu yang akan didalaminya ini. Dan universitas yang ada di hadapannya saat ini adalah tempat pendidikan bisnis yang sangat ia impikan karena merupakan universitas terbaik nasional yang menjadi idaman ribuan siswa SMA termasuk dirinya. Akan tetapi, kehebatan universitas ini diimbangi dengan biaya yang tidak sedikit untuk bisa bergabung menjadi mahasiswa di samping kemampuan akademik yang mumpuni tentunya. Oleh karenanya butuh waktu kurang lebih dua tahun bagi Daniyal untuk mengumpulkan biaya masuk sekaligus biaya hidup yang akan ia butuhkan selama menjalani pendidikan di sana. Hampir 20 jam sehari dan 7 hari seminggu ia gunakan waktunya untuk bekerja apa saja mulai dari membantu kedua orang tuanya bertani, menjadi penjaga toko, tukang ojek bahkan kuli panggul ia jalani demi mewujudkan impiannya. Salah satu motivasi terbesar pemuda itu adalah pesan dari salah seorang gurunya di SMA. Sosok yang ia jadikan inspirasi itu mengatakan jika apapun yang kita pikirkan itulah yang akan jadi kenyataan. Keyakinan kuat yang dibarengi usaha kuat akan menarik semesta mendukung terwujudnya impian kita. Dan pada hari inilah dia membuktikan apa yang dipercayainya itu. Gurunya itu juga pernah berkata jika keajaiban itu ada bagi mereka yang percaya karena tidak ada yang tidak bisa Tuhan wujudkan untuk hambaNya yang yakin. Lima belas menit pemuda itu membiarkan dirinya merasakan kebahagiaan dalam posisinya sebelum akhirnya dia melangkahkan kaki menuju wilayah kampus karena satu jam dari sekarang adalah mata kuliah pertama yang harus dia tempuh. Daniyal memasuki lingkungan kampus masih dengan perasaan bahagia, seandainya dirinya tidak malu mungkin matanya tak segan meneteskan air mata haru. Untungnya Daniyal cukup baik mengendalikan emosi sehingga hal tersebut tidak terjadi. Sekitar lima menit berjalan kaki Daniyal sampai di depan papan nama bertuliskan fakultas ekonomi dan bisnis, tempat jurusan yang ia tuju berada. Ada 4 gedung dengan masing-masing 10 lantai berada di lingkungan fakultas ini. Pemuda itu berhenti sejenak mengecek lagi lembar rencana studi untuk memastikan ruangan yang akan ditempatinya. “Gedung D ruang 709.” Ucap Daniyal lirih membaca tulisan di kertas yang dipegangnya. Dia kembali melangkahkan kaki dan mengedarkan pandangan untuk mencari gedung yang berkode D. “Ah, ini dia gedung D.” Senyum kelegaan tersungging di bibir Daniyal setelah menemukan gedung yang dicarinya. Dengan langkah semangat pemuda itu memasuki gedung dan meneliti tulisan di atas pintu-pintu ruangan mencari kode kelas yang sesuai tulisan di lembaran yang ia pegang. Beberapa ruang yang ia lewati bertuliskan ruangan dosen, ruang administrasi, tempat fotokopi dan beberapa ruang kelas bertuliskan kode 101 sampai 105. Hingga Daniyal berada di ujung lantai satu masih belum ditemukannya tulisan 709. Karena tidak ingin menghabiskan lebih banyak waktu mencari, Daniyal memutuskan untuk bertanya kepada mahasiswa yang berada paling dekat dengan dirinya. Ada tiga orang mahasiswa yang saat ini Daniyal lihat sedang duduk dan berbincang tak jauh dari tempatnya berdiri. “Permisi, Mbak.” Ketiga mahasiswi tadi menoleh bersamaan ke arah Daniyal yang merupakan sumber suara. Pemuda itu tersenyum sebelum melanjutkan maksudnya, ada rasa senang yang dirasakan menerima respon dari ketiga mahasiswi tersebut yang dianggapnya sebuah keramahan. Apalagi salah satu mahasiswa yang saat itu berkemeja maroon lengan panjang yang ditekuk hingga setengah lengan bawah dan rambut sebahu cukup menarik menurut Daniyal. Mahasiswi itu berkulit putih berwajah manis. “Maaf mau tanya ruangan.” Kata Daniyal sesaat setelah sadar dari ketertarikannya pada mahasiswi tadi. Tanpa disangka mahasiswi berkemeja maroon berdiri dan menghampiri Daniyal dengan senyumnya yang juga sangat manis. Melihat mahasiswi itu mendekatinya jantung Daniyal berdetak lebih kencang yang menimbulkan sedikit rasa gugup, bahkan keringat dingin mulai bermunculan di dahinya. Pengalaman yang nol besar dengan perempuan selain keluarganya selama ini membuat tubuh pemuda itu bereaksi berlebihan hanya untuk kejadian sekecil ini. “Ruangan berapa, Mas?” tanya mahasiswi itu ketika sudah berdiri tepat di samping kanan Daniyal dengan jarak yang cukup dekat. Gadis itu sebenarnya menyadari kondisi Daniyal namun dirinya terlihat tidak mempedulikan, kepalanya justru sedikit dicondongkan ke arah Daniyal agar bisa membaca kode ruangan yang tertulis di lembar rencana studi Daniyal. “I..ini, Mbak.” Kata Daniyal sambil menunjuk kertas di tangannya dengan sedikit gemetar. “Oh, ini. Nanti Masnya naik aja pakai lift itu ke lantai 10. Kalau sudah sampai langsung saja belok kiri dan jalan terus sampai ke ujung. Nah di situ ruangan yang Mas cari.” Gadis itu menjelaskan dengan penuh keramahan dan senyuman, sesekali tangannya digerakkan menunjuk ke arah tertentu untuk memperjelas arahannya. Daniyal mendengarkan penjelasan mahasiswi itu dengan seksama, ia juga ikut tersenyum mengagumi kecantikan dan keramahan gadis di sampingnya itu. Sesekali Daniyal menganggukkan kepala tanda mengerti akan penjelasan mahasiswi berbaju maroon itu. “Baik. Terima kasih banyak, Mbak. Saya permisi kalau begitu.” Pamit Daniyal setelah dirasa arahan dari mahasiswi tadi selesai dan dirinya sudah memahami. “Sama-sama, Mas.” Balas gadis itu masih dengan senyumnya yang manis. Dalam hati gadis itu tertawa merasa bahagia akan apa yang sudah dilakukannya itu. Begitu pun dengan Daniyal dalam hatinya berharap bisa bertemu lagi dan mengenal lebih dekat dengan mahasiswi yang sudah membantunya itu. Daniyal berjalan menuju lift yang berada tak jauh dari tempatnya. Ada beberapa orang mahasiswa yang terlihat berdiri juga di depan lift menunggu pintu lift terbuka dan membawa mereka ke tujuan mereka masing-masing. Mahasiswi berkemeja maroon tadi menatap punggung Daniyal dengan perasaan gembira. Dia benar-benar bahagia bisa memberi arahan kepada mahasiswa berkemeja kotak-kotak itu. Gadis itu kemudian kembali ke tempat duduknya bersama kedua teman wanita yang sedari tadi hanya memperhatikan interaksi gadis itu dengan Daniyal. “Kamu kenapa, Lin? Kayak bahagia banget gitu. Kamu suka ya sama cowok tadi?” tanya seorang temannya yang bernama Salma. “Iya nih. Ga biasanya juga lho kamu dengan senang hati ngobrol sama cowok yang modelnya kayak gitu.” kata teman lain yang bernama Kiki. “Mau tahu aja deh kalian.” Kata gadis berkemeja maroon itu sambil mengibaskan rambutnya ke belakang. “Udah yuk kita masuk.” Lanjutnya sambil menarik tangan kedua temannya menuju lift yang masih belum juga sepi dari mahasiswa maupun dosen yang menuju kelas masing-masing. Dua puluh menit setelah masuk ke dalam lift, sampailah Daniyal di lantai sepuluh. Seperti arahan dari mahasiswi yang membantunya tadi Daniyal berbelok ke kiri dan terus berjalan sampai ke ujung. Akan tetapi ketika Daniyal sudah sampai di posisi yang diarahkan yang dia temukan bukannya ruang kelas melainkan ruangan yang di bagian atas pintunya tertulis “TOILET”. “Kok, toilet?” kata Daniyal lirih. Jari kanannya refleks menggaruk pelipis karena bingung dan mencoba mengingat kembali arahan dari mahasiswi yang ia temui di lantai satu tadi. Tak ingin berlama-lama dengan kebingungannya Daniyal segera berkeliling di lantai sepuluh itu untuk mencari di tempat lain kemungkinan keberadaan ruang yang dia tuju. Namun, setelah meneliti pemuda itu hanya menemukan dua ruang besar yang saling berhadapan dengan kursi-kursi kosong berjajar rapi di dalamnya. Daniyal tidak melihat seorang pun di lantai itu untuk ditanyai, akhirnya dia memilih untuk kembali memasuki lift menuju ke lantai satu lagi untuk bertanya ke orang lain. Saat sudah masuk ke dalam lift ternyata ada dua orang mahasiswa juga, Daniyal mencoba untuk bertanya kepada mereka berdua lokasi ruangan 709 yang sejak tadi dicarinya. Salah satu mahasiswa menjelaskan kepada Daniyal jika angka depan kode ruangan menunjukkan lantai sedangkan angka setelahnya menunjukkan urutan ruang, ruangan yang dimaksud oleh Daniyal berada di lantai tujuh dan urutan ke sembilan. Daniyal berterima kasih kepada mahasiswa yang sudah menjelaskan kepadanya itu kemudian menekan angka tujuh. Dalam hati Daniyal merutuk apa yang dilakukan mahasiswi berkemeja maroon yang sempat dikaguminya tadi. Pemuda itu sadar bahwa dia telah dikerjai oleh gadis itu. Beberapa menit kemudian pintu lift terbuka karena sudah sampai di lantai tujuh. Daniyal berpamitan dan berterima kasih kembali kepada kedua mahasiswa yang bersamanya di lift tersebut. Pemuda itu mempercepat langkah untuk mencari ruang ke sembilan karena dirinya sekarang sudah terlambat. Benar saja, saat Daniyal menemukan ruang 709 ternyata di depan kelas sudah berdiri seorang dosen yang sepertinya sedang memanggil nama mahasiswa di kelas tersebut satu persatu untuk mengecek kehadiran. Dengan sungkan Daniyal mengetuk pintu yang terbuka dan meminta ijin untuk masuk. “Permisi, Bu.” Kata Daniyal ketika dosen sudah mengalihkan perhatian kepadanya dan sepertinya semua yang ada di ruangan tersebut melakukan hal yang sama. “Ya?” tanya dosen tersebut dingin seolah meminta penjelasan Daniyal. “Mohon maaf saya terlambat.” Kata Daniyal takut-takut. “Lalu?” Bu dosen bertanya lagi dengan nada yang tetap dingin. “Apakah saya masih diizinkan untuk mengikuti kelas Ibu?” Daniyal memberanikan diri untuk meminta ijin masuk entah apapun jawaban dari dosennya nanti yang penting dirinya sudah berusaha. Itu yang ada dalam pikiran Daniyal. “Tergantung alasan keterlambatan kamu. Jika bisa diterima kamu boleh masuk.” Daniyal kemudian menjelaskan dengan jujur dan detail tentang alasan keterlambatannya masuk kelas. Dosen Daniyal yang bernama Bu Santi sesekali menganggukkan kepala mendengarkan penjelasan mahasiswa barunya itu. “Baiklah, kamu saya izinkan masuk. Tapi ingat ini adalah kali pertama dan terakhir kamu terlambat masuk di kelas saya.” Ada perasaan lega mendapat kesempatan dari Bu Santi yang masih mengizinkannya mengikuti kelas beliau. Daniyal masuk ke dalam kelas setelah dipersilahkan, matanya meneliti ke seluruh penjuru ruangan untuk mencari kursi yang masih kosong. Pandangannya terhenti pada di deretan paling depan karena hanya itu satu-satunya kursi yang tersisa, saat itu juga matanya menangkap sosok yang menyebabkan dia terlambat masuk ke kelas duduk di sebelah kursi kosong itu. Gadis yang saat ini juga sedang menatapnya dengan senyum manis tapi mengandung racun menurut Daniyal. Daniyal menolehkan kepala ke kiri dengan tatapan tajam ditujukan kepada mahasiswi yang duduk di sebelahnya itu. “Apa maksud kamu tadi?” tanya Daniyal penuh penekanan karena dirinya sedang menahan emosi. Keterlambatannya di hari pertama ini jelas membuatnya malu dan khawatir tidak bisa mengikuti kuliah perdana yang sudah dinantikannya sejak lama. “Ga ada maksud apa-apa sih. Mana aku tahu kalau kamu juga mahasiswa di sini. Secara kalau dilihat dari penampilan kamu, aku kira kamu karyawan baru di sini yang bertugas bersih-bersih ruangan. Hi hi hi.” kata gadis itu terkikik tanpa merasa bersalah dengan sikap dan ucapannya kepada Daniyal. Daniyal tersentak dengan anggapan gadis itu terhadapnya hingga dirinya tak mampu membalas ucapannya. “Alin!” tegur Bu Santi yang mendengar suara kikikan gadis itu. “Kamu kalau masih mau ngobrol silakan lanjutkan di luar. Dan kamu yang barusan terlambat kalau memang tidak ada niat mengikuti kelas saya juga boleh keluar.” Bu Santi menegur Daniyal juga karena posisi mereka saat itu terlihat sedang berbincang. “Maaf, Bu.” Kata mereka berdua bersamaan. Dalam hati Daniyal mengumpati gadis bernama Alin itu yang menyebabkan dirinya dua kali mendapat masalah di hari pertamanya ini. ‘Dasar, gadis manis tapi bermulut sadis.’ Batin Daniyal
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD