Kita Cerai Aja?

1350 Words
"Pak Doma ke mana? Belum pulang ya, Mbok?"   "Tadi sempat pulang tapi sebentar, Non. Setelah itu pergi lagi." Analis menarik napas kesal tanpa kentara. Enam tahun lamanya mereka berpisah. Tidak bertatap muka, menelpon pun hanya bisa dihitung jari. Selain menanyakan kabar dan kelancaran kuliahnya di Inggris, Domani tidak bertanya apa pun di luar itu. "Kamarnya Non udah saya beresin. Non bisa langsung istirahat aja, biar barang-barangnya biar dibawa Mang Jono ke atas ya." Analis menurunkan kedua bahunya lesu. "Buat apa juga dibersihin tiap hari, Mbok? Udah enam tahun nggak saya tinggalin, kok." "Kadang-kadang Pak Doma tidur di sana Non." Perempuan berambut hitam sepanjang punggung itu lantas menoleh. Dahinya berkerut-kerut. Sebelah alisnya terangkat seolah tidak yakin dengan pendengarannya. "Gimana, Mbok?" tanya Analis memastikan. Siapa tahu saja gendang telinganya bermasalah karena menghabiskan banyak waktu di dalam pesawat. "Pak Doma suka tidur di kamar saya?" tanya Analis lagi. Anggukkan kepala Mbok serta ekspresi wajahnya yang polos berhasil menciptakan binar-binar di mata Analis. Seketika rasa kesalnya menguar pergi jauh. "Buat apa dia tidur di kamar aku, sih?" Analis membeo dari tempatnya berdiri. "Non Analis ngomong sama saya?" tegur Mbok sambil menunjuk dadanya. Analis menggeleng sembari menggerakkan tangannya ke kanan ke kiri. "Nggak kok. Mbok, saya naik ke kamar atas ya. Kalau Pak Doma pulang, bangunin saya, Mbok." "Ya, Non." Mbok mengangguk patuh. Barang-barang Analis telah dibawa ke kamarnya di lantai atas. Perempuan itu melangkahkan kedua kakinya sembari mengulum senyum senang. Ternyata diam-diam Doma sering tidur di kamarnya selama dirinya tidak ada ya? Kenapa? Bukankah kamar laki-laki itu sangat luas? Bahkan dua kali lebih besar dari kamar Analis? Oh... apa ada alasan lain? Hmm, mungkin rindu padanya? *** Analis menatap bayangan dirinya dari cermin rias di depannya. Perempuan itu buru-buru berganti baju dan membenarkan riasannya. Lima menit lalu dia mendengar suara mobil masuk ke halaman rumah. Saat Analis mengintipnya dari balkon kamar, senyum perempuan itu mengembang. Orang yang ditunggunya sejak tadi kini pulang. Bagaimana reaksi Doma saat melihatnya nanti, ya? Mereka sudah lama tidak pernah bertemu. Apa Doma akan terkesima dengan penampilannya yang baru? Analis yang sekarang, bukan lagi gadis ingusan berusia tujuh belas tahun yang penakut dan pemalu. Dia telah menjelma menjadi perempuan dewasa yang cantik dan pintar. "Non Analis?" sapa Mbok dari belakangnya. "Butuh sesuatu? Mau dibikinin makanan atau minuman, Non?" Analis menggeleng cepat. "Pak Doma udah pulang kan, Mbok? Sekarang orangnya ke mana?" "Ada di ruang kerjanya, Non." "Oh ya udah. Makasih, Mbok!" seru Analis. Berlarian kecil mengarah ke ruang kerja Doma berada. Analis berdiri tepat di depan pintu ruang kerja suaminya. Diletakkan kedua tangannya ke d**a, kemudian menarik napas dan diembuskannya pelan guna mengurangi rasa gugupnya. Kata-kata mana yang harus Analis katakan nanti? Bagaimana caranya menyapa laki-laki itu selama enam tahun tidak bertemu? Pasti akan sangat canggung! Analis merapikan rambut panjangnya. Menegakkan badan lalu menarik napas sekali lagi. Baiklah, Analis sudah cukup lebih baik. Dia akan segera masuk untuk menyapa. Ceklek. Saking terlalu gugup bercampur senang akan bertemu Domani, Analis lupa mengetuk pintu lebih dahulu. Sesuatu yang menjadi kebiasaannya setiap kali akan masuk ke ruang kerja Doma. Pintu terbuka, menampakkan sosok Doma, duduk di kursi ruang kerjanya sembari mengobrol dengan seorang perempuan berambut pendek sebahu. Mereka tampak santai, tidak kaku mau pun canggung seperti hubungan Analis dan laki-laki itu. "Analis," gumam Doma pelan. Tanpa sadar perempuan itu mendengkus. Jadi ini alasan Doma tidak segera menemuinya, karena membawa seorang perempuan ke ruang kerjanya? "Ya, saya pulang." Analis mengepalkan kelima jarinya. "Hai, apa kabar?" sapa Doma setelahnya. Pandangan Analis tertuju ke sosok si perempuan. Berpakaian rapi bak orang kantoran, bermake up sedikit tebal, namun kelihatan cantik sekaligus menawan. Punggung Analis kian menegak. Perempuan itu melebarkan kelima jarinya, menyibak rambut panjangnya ke belakang punggung lantas menghampiri Doma tanpa membalas sapaan laki-laki itu. Doma dibuat terkejut kala Analis melebarkan kedua tangannya. Berdiri tepat di depan Doma. "Kamu mau apa?" "Pak Doma nggak mau peluk saya?" tanya Analis. Doma bergumam bingung. Memeluk Analis? Selama mereka menikah, memeluk atau bahkan mencium bukan menjadi kebiasaan mereka. Analis dibuat kesal. Doma menatapnya datar. Sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan memeluknya. "An..." Memeluk bahkan mencium pasangan bukan tindakan mau pun perbuatan dosa, kan? Ya, Analis mencium Doma di depan perempuan—entah siapanya Doma. Yang jelas, perempuan itu harus tahu kalau laki-laki ini, bukan lah seorang lajang yang bisa didekati!  ***  Akh, sial.  Analis menyesal kenapa hanya mencium pipi Doma di depan perempuan tadi. Seharusnya dia cium saja bibir laki-laki itu, ya? Dengan begitu, Doma akan lebih jujur mengenai dirinya, juga tentang status mereka. Bisa-bisanya Doma mengakui dirinya sebagai sepupu jauhnya yang baru pulang dari Inggris! Kenapa tidak jujur saja sih? Atau jangan-jangan perempuan tadi pacarnya Doma? Woah, jika memang benar, Analis tidak akan tinggal diam! Analis mondar-mandir di dalam kamarnya sembari menggigiti ujung kukunya gelisah. Sampai kapan Doma akan bersikap dingin padanya? Sembilan tahun Analis menjadi istri laki-laki itu, belum sekali pun Doma memperlakukannya seperti pasangan pada umumnya. Ah, baiklah, baiklah. Jika dulu Doma khawatir karena Analis masih sangat muda saat dinikahinya, tapi sekarang kan, Analis sudah dua puluh lima tahun! Dia sudah sangat-sangat dewasa! Mau beralasan apa lagi? Perempuan itu keluar kamar, hendak pergi menemui Doma yang turun ke bawah mengantar tamunya sampai di depan pintu, atau malah mengantarnya pulang sampai rumah? Namun tebakannya salah. Di tengah-tengah anak tangga, Analis berapapasan dengan Doma. Laki-laki itu memandanginya tanpa ekspresi. Tidak marah mau pun kesal setelah kejadian di ruang kerja tadi. Sial, Analis benar-benar kesal sekarang! Doma tidak mengatakan apa pun selain melewati Analis. Perempuan itu meremas kelima jarinya geram. Berjalan di belakang Doma mengekori suaminya hingga di depan pintu kamar. "Pak Doma," panggil Analis menahan geram. Tidak ada sambutan hangat sepulangnya Analis dari Inggris. Tidak ikut menjemputnya, mengirim pesan sekadar menanyakan apakah Analis sudah sampai atau belum, atau paling tidak, pergi menemuinya sebentar untuk menyapanya setelah sekian lama tidak bertemu. "Sepupu, eh?" sindir Analis sembari berkacak pinggang. "Semenjak kapan saya jadi sepupu Pak Doma?" "Kamu sedang protes?" Reaksi Mandala Domani hanya sekadar, "Kamu sedang protes?" Bukankah cukup jelas kalau Analis sedang marah karena sampai hari ini, Doma menyembunyikan Analis dan status pernikahan mereka. Ada apa? Kenapa? Dua pertanyaan pendek itu masih memenuhi isi kepalanya. "Saya maafkan kecerobohan kamu tadi." Doma menarik gagang pintu kamarnya. "Saya nggak bikin salah, kok! Kenapa juga Pak Doma maafin saya? Emang saya ada minta maaf ke Bapak?" Analis menerobos masuk ke dalam kamar Doma. Walaupun dari raut wajah laki-laki itu tidak menunjukkan keramahan, Analis tidak peduli. Tetap saja dia memaksa masuk ke sana lalu menutup pintu. "Salah kalau saya cium Pak Doma kayak tadi?" tantang Analis. "Pak Doma suami saya. Bahkan kita menikah hampir sembilan tahun. Kenapa Pak Doma masih bersikap dingin sama saya?" Jika pernikahan mereka sebatas kontrak, berapa tahun yang akan Analis habiskan sebagai istri Doma? Kalau memang benar hanya kontrak, kenapa laki-laki itu tidak pernah menunjukkan sebuah kontrak kepadanya? Analis menghabiskan sembilan tahunnya sia-sia. Ketika dirinya dan Doma menikah, Analis langsung dikirimnya ke sebuah sekolah asrama putri hingga lulus. Setelah lulus pun, Analis dikirim ke Inggris untuk kuliah di sana. Bayangkan. Sembilan tahun menikah, mereka tidak memiliki kenangan manis seperti pasangan lainnya. "Sampai kapan kita kayak gini terus sih, Pak? Pak Doma berniat jadiin saya istri sampai kapan? Bahkan pernikahan kita bukan sebatas kontrak." "Saya rasa, kamu terlalu kelelahan, Analis. Lebih baik kamu kembali kamar dan beristirahat," kata Doma, nada suaranya terdengar tenang. Analis mendengkus, membawa kedua tangannya untuk dilipat di depan d**a. "Gimana kalau kita cerai aja?" "Maksud kamu?" Doma mengerutkan dahi. "Mungkin, sekarang saya belum punya apa-apa buat balas semua kebaikan Pak Doma. Tapi nanti, ketika saya dan Pak Doma bercerai, pelan-pelan saya akan mengembalikan uang Pak Doma. Uang pendidikan, uang tebusan yang Pak Doma kasih ke Om saya, dan biaya yang Bapak keluarkan buat saya selama ini. Saya akan kerja keras, Pak. Saya janji." "Analis." Doma setengah membentak. Namun detik berikutnya seolah tersadar. Segera Doma mengusap wajahnya, kemudian meminta Analis kembali ke kamarnya sendiri. "Kembali ke kamar kamu sekarang. Saya dan kamu butuh istirahat." "Saya mau menyelesaikan masalah kita—" "Nggak akan ada kata cerai di antara kita." Doma menegaskan. "Simpan kembali kata-kata kamu tadi, dan pergi istirahat ke kamar kamu sendiri. Paham, kan?"   To be continue---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD