| 01

936 Words
Surabaya memang selalu panas, dan hari ini mentari masih tak tahu malu. Dengan berani memberikan segala sinarnya pada belahan bumi Nusantara. Tepatnya, Surabaya. Membuat manusia-manusia di tempat ini menggerakkan alat kipas mereka dengan semangat. Tidak terkecuali, gadis berambut kucir kuda yang sejak setengah jam lalu sibuk mengipasi wajah ayunya. Cattleya mulai merasa lelah dan berhenti menggerakkan kipas plastik yang dia genggam. Gadis itu melepas kucirnya dan menyanggul rambutnya. Leyaㅡnama panggilannyaㅡmerasa sudah waktunya dia potong rambut. Rambut cokelat kemerahan miliknya ini sudah sangat panjang. Sama sekali tidak cocok dengan cuaca panas yang terus-menerus melanda Surabaya. Dia mungkin bisa mati kegerahan. "Leya, ada titipan buatmu!" Gladisa, gadis yang menjabat sebagai sekretaris OSIS dan teman sebangkunya datang dengan senyum mengembang. "Di pos satpam, ya? Pasti bekal dari Ibu." Leya bangkit berdiri, kembali mengipasi wajahnya. "Heem, kayaknya kamu harus buat catatan super besar deh biar selalu ingat sama bekal kamu. Kasian Tante udah capek-capek bikin bekal ... eh, malah ditinggal sama anaknya." Gladisa menjulurkan bungkusan hitam berbentuk kotak itu ke hadapan Leya. Yang langsung diterima dengan senyuman maaf. "Aku harus buru-buru berangkat, takut nggak dapat angkot." "Serius deh, mending kamu terima tawaran aku. Berangkat sama aku aja, ya? Lebih hemat tenaga dan uang, kan?" Leya menggeleng pelan, mundur satu langkah dan memegang bekalnya dengan hati-hati. Wajahnya mengkerut kesal, gadis itu lelah dengan topik bahasan ini terus. Tapi, Gladisa tidak akan pernah mau menyerah untuk terus menawarkan hal itu tanpa henti. Maksud gadis itu juga baik, hanya saja Leya tidak nyaman jika harus merepotkan Gladisa hanya untuk mengantar jemput dirinya. "Dis, rumah kita beda jalur. Itu sama sekali nggak praktis dan naik angkot jelas lebih hemat uang bensin kamu daripada kamu harus keliling Surabaya buat antar pulang-pergi aku." "Whatever you want, Princess. Aku kan emang selalu kalah sama jawaban kamu yang selalu benar. Padahal aku juga nggak sampai harus keliling Surabaya, cuma kayak perjalanan pulang-pergi sekolah-rumah aja." "Itu rasional bukan cuma benar. Udah deh, kamu balik ke ruang OSIS aja. Nanti ada yang cari kamu ke sini." Gladisa mencebik sekilas, sebelum menghela napas panjang dan membalikkan badan. "Up to you lah, Ley."                                                                                           ✉    ✉    ✉ Meskipun, sudah tak seterik fajar, sore itu mentari masih unjuk gigi untuk memberikan cahayanya pada salah satu kota di Indonesia. Surabaya. Meski terik, Leya masih setia duduk pada rerumputan. Menatap danau luas dengan pohon-pohon di sekelilingnya. Sore ini, Taman Wonorejo masih saja ramai. Leya tidak masalah dengan kehadiran banyak orang, hanya saja, dia merasa lebih suka saat segalanya menghening dan tenang. Leya mulai membuka buku bersampul London Eye miliknya. Tangannya sibuk menggoreskan segenap tinta pada pena hitam yang di atasnya terdapat bekas gigitan, kebiasaan buruknya saat harus berpikir keras. Gadis itu terlalu fokus hingga tidak menyadari ada seseorang yang sedari tadi menatapnya lekat-lekat. Seseorang yang beberapa hari ini datang hanya untuk melihat dirinya. "Kamu multitalent, ya?" Kalimat itu sangat mengejutkan Leya. Gadis itu melonjak dan menatap sesosok manusia di sampingnya. Menatap lekat dan penuh tanda tanya pada sepasang iris cokelat kekuningan. Leya tak menemukan sedikitpun tanda-tanda bahwa dia kenal siapa seorang di sampingnya ini. Terkecuali seragam mereka yang hampir sama. Itupun hanya menunjukkan bahwa keduanya adalah murid SMA. Leya benar-benar tidak tahu dia murid SMA mana dan tidak kenal sama sekali. Bahkan untuk wajah yang bisa dibilang rupawan itu, Leya tidak mengingat sama sekali. "Maaf, siapa ya?" Leya beringsut mundur. Sedikit merasa takut dan tidak percaya diri saat berbicara dengan orang asing. Laki-laki itu ikut beringsut mundur, merasa tidak enak membuat gadis di hadapannya merasa ketakutan. Mengusap tengkuk lehernya dengan senyuman tidak nyaman. Gestur badannya kaku, terlihat jelas kalau dia jarang bahkan tidak pernah melakukan hal semacam ini. Merasa bersalah atas perilakunya yang membuat orang lain tidak nyaman. "Raphael Althafandra. Sorry ngagetin, abis kamu asik sendiri." Leya menyambut uluran tangan Raphael. Merasakan tekstur sedikit kasar dan jari-jemari yang besar serta hangat. Sejenak, Leya merasa mengenal tangan itu lebih dari ini. Seperti Leya merasa pernah menjabat tangan itu sebelumnya, tapi dia tidak mungkin melupakan seseorang dengan nama seunik Raphael. "Cattleya Hana. Lain kali jangan tiba-tiba bicara. Itu ngagetin banget. Kalau kamu nggak beruntung, kamu bisa kena tonjok, Al." Tanpa sadar, Leya sembarangan mengucap nama panggilan anak itu. Raphael terkejut untuk beberapa saat. Raut itu tidak lama, mungkin hanya satu detik kurang. Tapi Leya bisa menangkapnya dengan jelas. Leya bisa mengenali raut keterkejutan semacam itu di mana saja. Sepertinya ada yang salah dari ucapanku, tapi yang mana? "Dipukul udah biasa buat ku, Han. Btw, namamu itu artinya bunga anggrek, kan?" Oh, mungkin aku nyinggung dia soal tonjok. "Yep, arti namaku memang bunga anggrek. Sedikit terkejut kamu tahu nama-nama bunga." Raphael tertawa kecil. Membuat wajah yang awalnya terkesan dingin berubah menjadi hangat. Sekali lagi Leya menemukan dirinya familiar dengan jejak-jejak senyum Raphael. Ada sesuatu yang membekas pada ingatan kaburnya tentang suara tawa Raphael. Suara tawa itu membangunkan sebuah memori yang sepertinya sudah terkubur lama. "Han?" Suara Raphael menyadarkan Leya dari pikirannya. "Eh, iya? Maaf, aku masih nggak biasa dipanggil Hana. Ini first time ada orang yang panggil aku Hana." "Emang dari dulu kamu dipanggil apa? Bukannya lebih gampang manggil Hana, ya?" Leya menengadah. Menatap pada langit sore yang kekuningan dengan garis kemerahan. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci dari masjid-masjid terdekat. Leya menatap jam tangannya, sudah hampir pukul lima. Gadis itu harus bergegas. "Well, aku lebih sering dipanggil Leya, Catty, sampai Bunga. Mungkin dulu ada yang pernah panggil aku Hana, tapi aku akan selalu larang. Karena aku lebih suka dipanggil Cattleya. Lagi pula, nama Cattleya itu jarang banget di kota ini. Iya, kan?" "Hm, karena aku nggak suka disamakan dengan orang lain. Boleh aku panggil kamu Hana?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD