RED - 1: Ballerina Rose

1407 Words
Kerusakan 1 . Hujan datang di malam bulan hampir mencapai purnama. Derasnya tidak begitu menyakitkan. Biasanya datang tanpa angin, tetapi kali ini dia membawa embusan paling meru-sak. Warnanya merah, seperti apel ranum yang siap menghiasi meja kaum priyayi. Perusak berwarna merah adalah yang paling mengerikan, karena selain tidak kenal takut, warna itu juga akan menghidangkan lengketnya darah. Dari dalam hutan, angin merah itu datang. Tergolek tidak berdaya, meminta empati. Hanya ada dua kemungkinan ketika seseorang mengulurkan tangan; tersayat angin yang kejam, atau memusnahkannya dengan dekapan. . ooo . Neuri Turkadam Lycaon. Warga desa mengenalnya sebagai Earl muda berusia 35 tahun. Gelarnya adalah Earl of Lunadhia, penguasa tanah Lunadhia yang dikelilingi hutan hujan. Pantas jika masyarakatnya sendiri menjuluki Lunadhia sebagai Tanah Basah. Bahkan sang Earl mendapat julukan yang sama; Earl dari Tanah Basah atau Earl dari Tanah Hujan. Membawa payung berwarna hitam tanpa renda, Neuri berjalan melewati lintasan setapak di dalam hutan. Hari sudah sangat petang, dan dia berniat kembali ke estatnya yang jauh dari desa setempat. Sepatu boots yang seharusnya hitam mengilat telah basah dan kotor berlumpur. Percikan itu juga merembet sampai ujung celana. Namun, Neuri tidak tampak acuh dengan keadaannya sendiri. Hingga di langkah ke sekian, hidung yang mampu mengendus dengan baik itu mencium aroma tidak asing. Bauh darah. Darah yang tersiram air hujan. Tetapi juga ... ada aroma lainnya. “Mawar balerina?” Neuri mengikuti aroma yang sebenarnya samar karena teredam hujan. Ia berjalan tidak mengikuti jalan lurus menuju estatnya, tetapi masuk ke wilayah hutan yang sedikit lebih lebat oleh semak serta pepohonan kecil di antara julangan pinus, mahoni, maupun blackwood. Memincingkan mata, Neuri melihat warna merah bersandar menyamping di salah satu batang pinus. Ketika dihampiri, ternyata itu sesosok manusia. Warna merah yang dilihatnya tadi adalah rambut yang menjuntai kusut. Seorang demihuman? Batin Neuri bertanya. Manusia di hadapanya berjenis kelamin perempuan, bertelinga binatang. Neuri pun menduga-duga, demihuman jenis apakah gerangan. Mungkin anjing, atau serigala? Ia masih memikirkannya. “Tolong ... tolong saya.” Dahi Neuri terlihat mengernyit. Meskipun tahu bahwa ada yang terluka di depannya, tak lantas ia memberi pertolongan. Dipandanginya dengan saksama, lalu sebentuk pikiran berkelebatan dalam kepala. Mengapa seorang demihuman bisa sampai ke wilayahnya? Mengapa demihuman tersebut terluka parah? Seperti apa kejadian yang melatarbelakangi luka di tubuh tersebut? Haruskah dibantu? Haruskah dibunuh? “Tuan ... nama saya Loqestilla, saya dari pulau seberang. Tolong bantu saya yang tidak berdaya ini.” Neuri tersentak. Mengabaikan pertanyaan-pertanyaan rumit dalam benak, dan berusaha mengutamakan kemanusiaan, ia akhirnya menurunkan payungnya, hendak memeriksa tubuh yang berlumuran darah itu. Neuri kembali mengernyit. Ketika diperiksa, punggung demihuman betina itu tertancap tiga anak panah yang terpotong sayapnya. Darah segar dan kering bertumpukkan menjadi noda yang mengerikan, sangat tidak sedap dipandang dan berbau anyir. “Nona, Anda masih bisa menahan sakit?” tanya Neuri kemudian, memastikan setidaknya makhluk bertelinga binatang tersebut masih memiliki kesadaran Demihuman itu pun mengangguk lemah. Tanpa bertanya lagi, Neuri menyobek pakaian bagian belakang si gadis demihuman. Tangan yang bersarung hitam pun menarik satu demi satu anak panah yang tertancap. Meskipun Neuri sudah melakukannya dengan pelan, tetapi masih dapat didengarnya rintihan pelan, sayangnya ia tidak begitu peduli dan hampir-hampir menulikan telinganya dari ratapan kesakitan tersebut. Pada anak panah ke tiga, secuil daging ikut teriris dan jatuh ke tanah. Neuri pun melepas jasnya, dan dipakaikan untuk menutupi punggung yang telanjang dan dipenuhi borok. “Mari, naik ke punggung saya.” Tertatih, demihuman betina itu memosisikan diri pada punggung Neuri. Kemudian digendong dengan mantap tanpa merasa terbeban. Neuri mengambil payung hitamnya, lalu berjalan ke jalur yang benar menuju estatnya. Di perjalanan, selain wangi hujan dan darah, aroma mawar balerina terus menerus mengganggu indera penciuman Neuri. Wangi, tetapi menimbulkan firasat buruk. Hanya firasat, batinnya abai. . . . Neuri duduk di kursi kayu sembari membaca buku, tatkala dokter pribadinya tengah mengurusi seorang pasien yang sempat memperkenalkan diri sebagai Loqestilla. Meskipun berada di ruangan yang sama, tidak sama sekali Neuri berniat melihat prosesi sang dokter ketika mengobati. Selain karena sang pasien bertelanjang d**a, buku di tangan juga lebih menarik untuk diberi perhatian. Satu jam, satu jam setengah, hampir dua jam. Pengobatan pun selesai. “Tolong salep ini dioleskan rutin ke luka-lukanya, dan puyer ini diminum tiga kali sehari. Jangan lupa tubuhnya diseka menggunakan kain lembut, pakai air hangat, jangan air panas. Minum air yang banyak, hindari kacang-kacangan.” Sang dokter berkata kepada seorang pelayan yang sejak tadi menemani pengobatan Loqestilla, seorang gadis muda yang wajahnya datar dan tampak tidak peduli pada dunia. Namun, Loqestilla menyahut. “Saya tidak memakan kacang, Dok.” “Lalu, apa yang Anda makan?” Perhatian pun beralih. “Daging. Makanan utama saya adalah daging. Serangga pun tidak apa jika tidak boleh makan daging.” Sang dokter sempat tersentak kaget, tidak menduga akan mendengar jawaban yang cukup mengganggu mentalnya. Namun, ia akhirnya berdehem sebentar untuk mengembalikan wibawanya. “Baiklah, kalau begitu makan daging putih saja, ayam lebih diutamakan. Hindari daging merah seperti bacon atau daging sapi, daging bebek dan angsa masih boleh tapi sedikti saja, telur juga boleh.” Loqestilla mengangguk, si pelayan ikut mengangguk. Dokter tersebut pun mengemasi perkakasnya, lalu menghadap kepada Neuri. “My Lord, saya sudah selesai. Saya mohon undur diri,” ucapnya. Neuri menutup buku, lalu berdiri sembari tersenyum. “Kapan kau akan datang lagi ke sini?” “Mungkin dua atau tiga hari lagi, untuk kontrol.” “Bagus. Sebelum pergi, mintalah kue pada pelayan. Hari ini mereka membuat banyak.” “Terima kasih banyak.” “Ya.” Dokter pun berlalu pergi, tetapi Neuri tidak berminat lagi meneruskan membaca. Ia mendekati ranjang Loqestilla, melihat tamunya yang tidur menyamping dan sudah mengenakan gaun tidur berwarna putih. “Anda merasa baikan?” tanyanya. Loqestilla memberi senyum kecil. “Iya. Terima kasih karena bersedia menolong saya.” “Sekarang silakan beristirahat. Jika memerlukan sesuatu, pelayan ini akan membantu Anda,” ucap Neuri sambil menunjuk gadis pelayan yang sejak tadi di sana seperti patung. “Iya. Sekali lagi, terima kasih banyak.” Neuri mengangguk. Dia pun melangkahkan kaki, ingin pergi. Namun, ketika mencapai daun pintu, dia berbalik. “Oh. Saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Neuri Turkadam Lycaon, Earl of Lunadhia. Anda boleh memanggil saya Lord Neuri saja.” Setelah itu, dia benar-benar pergi dan menutup pintu. . . . Sebuah lilin di atas meja nakas masih menyala, sedangkan Neuri yang bertelanjang da-da tampak gelisah di atas ranjangnya. Keringat merembes, keluar dari pori-pori. Sementara bisikan-bisikan tak diinginkan terus saja datang mengganggu. Haus ... haus. Lapar .... Di atas ranjang berkanopi, Neuri mulai menggeliat tidak nyaman. Haus ... lapar. Terbangun dengan gusar, Neuri melempar bantal dan selimut ke sembarang arah. “Diam, berengsek! Sekarang belum purnama!” Napas pun tersenggal, d**a naik turun sangat cepat. Neuri memijati pelipisnya. Lalu kaki yang telanjang itu menjejak dinginnya lantai, berjalan ke arah jendela dan melihat rembulan yang sinarnya semakin terang. Haus ... lapar. Suara itu datang lagi. Neuri meninju kusen jendela keras, hingga kusen besi itu penyok membentuk cekungan. Mata kecoklatan menatap nyalang bulan di atas sana. Sedangkan telinga semakin sensitif mendengar setiap detakan jantung; di sekitar kastilnya, di dalam hutan, bahkan menjangkau desa yang bermeter-meter jauhnya. Deg deg deg. Indera penciuman yang menajam pun membuat Neuri mampu menghirupi segala aroma lebih baik. Ia menghidu lebih dalam udara malam. “Mawar balerina?” Neuri mengernyit, sempat asing dengan aroma baru ini. Lalu ia teringat, ada seorang demihuman betina di rumahnya yang beraroma mawar balerina. Aroma itu cukup ampuh mereda rasa lapar yang mendera. Seperti obat anti berahi. Saat sadar, suara menyebalkan dalam kepala sudah tidak terdengar lagi. Neuri pun kembali ke ranjangnya yang nyaman. Tanpa menggunakan bantal sebagai alas kepala, ia tertidur begitu saja. Siapa sangka jika ada mimpi aneh yang menggelayuti malamnya. Di dalam mimpi, Neuri berdiri di tengah semak mawar balerina. Semua kembang sedang mekar, lalu terguyur hujan. Namun, ketika hujan reda, ada angin berwarna merah yang datang. Angin itu membabat habis semak mawar. Hingga yang tersisa hanya kerusakan. Ketika aroma mawar pun tak terhirup lagi, air mata Neuri berguguran ke tanah yang kering. Namun, ada seseorang yang berjalan menghampiri. Seorang gadis berambut merah. Baunya serupa mawar balerina. Di tubuhnya terselimuti angin berwarna merah, angin perusak. Usai kedatangan gadis itu, mayat berguguran dari atas langit. Menimpa kelopak mawar yang awalnya membungkus tanah. Kala gadis itu mendekap tubuh Neuri, ada aroma darah yang begitu kental dan memuakkan. Lalu, taring yang runcing menancap dan mengoyak leher Neuri tanpa belas kasih. . Di pagi yang cerah dan dingin, Neuri terbangun dengan keringat membasahi tubuh. “Syukurlah, syukurlah. Hanya mimpi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD