#1 - Escape

1514 Words
Angelica mondar-madir dalam apartement barunya. Terlihat gusar dengan ponsel di tangannya. Kakaknya tengah menelepon. Nada marah dan penuh introgasi mengisi percakapan mereka. Mendadak, dia menyesal mengangkat panggilan ini. “Ayolah, aku sudah 23 tahun!” teriak Angelica dengan frustrasi. Sang kakak seolah tak memahami keinginannya, selalu mengekang segala hal dalam hidupnya. “Aku benar-benar menyesal mengangkat panggilanmu!” “Sikapmu tetap tidak bijak, Angelica.” Kakaknya terdengar menahan emosi. “Meninggalkan rumah di saat kami semua sedang bekerja. Berkata bahwa kau akan pergi untuk mencari tahu bagaimana rasanya asam-garam kehidupan. Bodoh!” “Beri aku waktu setahun untuk membuktikan diri. Kumohon.” Angelica menyerah. Merengek untuk diberika kebebasan kepada sang kakak tidak akan menyelesaikan masalah. Satu-satunya cara yang bisa dia lakukan adalah membuat sebuah kesepakatan sambil memohon. Serta mungkin memohon, menurunkan harga dirinya untuk diberikan kesempatan agar kakaknya itu tidak tiba-tiba muncul di depan apartemen kecil ini. Terdengar desahan panjang. Kakaknya terlihat menyerah dengan kegigihan Angelica. “Oke, satu tahun setelah itu pulang! Tapi berjanjilah, jika sebelum itu kau sudah kehilangan segala hal; uang atau harta benda, telepon aku. Aku akan menjemputmu, Angelica.” “Ya ….” Buru-buru ditutupnya panggilan itu. Waktunya bersenang-senang di dunia yang jauh dari kendali keluarganya hanya satu tahun. Beberapa jam lagi, waktunya di sini tersisa 364 hari. Angelica akan berusaha keras unjuk gigi. Membuktikan pada kakak nan arogan serta sok mengatur itu bahwa dia bisa berdiri sendiri dengan kedua kakinya, kemampuannya. Tanpa sadar dia mengedarkan pandangannya. Kamar barunya ini berukuran sangat kecil, hanya cukup untuk satu tempat tidur berukuran single, sebuah nakas kecil, serta lemari pakaian. Kamar mandi di dalamnya pun tak kalah kecil, hanya satu shower dingin. Ketika dia melangkahkan kaki keluar kamar, hanya akan ada satu dapur yang bergabung dengan ruang tamu. Semua sudut tempat ini tampak sangat mini. Angelica yakin, jika kakaknya melihat ini, pasti pria itu akan menatapnya dengan jijik. Padahal, ini adalah tempat terbaik yang bisa dia sewa dengan harga yang masuk akal. Memang tempatnya sedikit masuk ke dalam gang sempit, tapi tidak kumuh, dekat dengan jalanan besar, serta di sebrang bangunan apartemennya ada penjual Sandwich yang cukup terkenal lezat. Suara ketel air berhasil menarik kesadaran Angelica. Bergegas dia menuju dapur untuk mematikan kompor. Kemudian, dengan segera menuangkan air mendidih ke dalam bubuk kopi instan yang baru dibelinya di minimarket terdekat. Selepas pertengkaran dengan sang kakak, tidur bukanlah pilihan. Waktunya terbatas hanya untuk sekadar bermalas-malasan. Dia akan terjaga sepanjang malam ditemani laptopnya. Dia akan memasukan berbagai lamaran pekerjaan, apa pun itu, selama itu bisa membantu keuangannya yang mulai menipis. Sekalipun harga apartemen ini cukup dapat diterima, tapi keharusan menyewanya selama setahun berhasil mengeruk tabungannya. Angelica tengah duduk di sofa. Tangan memegang cangkir kopi, sementara tangan lainnya mengutik laptop yang berada di pangkuannya. Baru saja dia memasukan lamaran ke sebuah perusahaan properti ternama di New York, Valentini Group. Dia tidak akan berharap banyak, karena dia hanyalah lulusan baru tanpa pengalaman. “Astaga….” Angelica mengeram, putus asa. Merasa bodoh karena memasukan lamaran ke perusahaan sebesar itu. Masalahnya Angelica sedang putus asa. Uang tabungannya hanya tersisa cukup untuk hidup selama tiga bulan ke depan. “Aku mengharapkan keajaiban.” *** Pagi-pagi buta Angelica bangun. Setelah satu bulan menganggur dengan banyaknya lamaran yang tertolak, akhirnya sebuah perusahaan memanggilnya untuk melakukan wawancara kerja. Sejujurnya, Angelica cukup tercengang saat mendapatkan email panggilan ini. Pasalnya, perusahaan ini adalah Valentini Group. Tempat itu bonafide dan salah satu yang paling diincar di New York. Saat mendaftarnya malam itu, Angelica langsung menyesal. Minim pengalaman, tapi dengan percaya diri mendaftar ke tempat sehebat itu. Lalu hari ini, saat kesempatan telah diberikan padanya, maka dia tak boleh melakukan kesalahan apalagi sampai gagal. Sengaja dia membersihkan diri seresik mungkin. Mencuci seluruh badan hingga ke bagian-bagian yang tak terlihat. Mengenakan pakaian kerja terbaik yang dia bawa dari kampung halamannya; kemeja putih, rok pensil ketat lima senti di atas lutut berwarna krem, serta blazer ketat berwarna senada dengan roknya. Rambut pirang emasnya buru-buru dia keringkan agar mudah menatanya membentuk sanggul kecil. Kemudian, memulas wajahnya dengan riasan sederhana, tapi tetap terkesan profesional. Mengoles lipstik merah bata serta sedikit riasan di sekitaran matanya agar mata berwarna ambernya terlihat. Terakhir, sebelum benar-benar beranjak keluar, dia menyemprotkan banyak-banyak parfum ke sekujur tubuhnya. Kesan yang harus dia tunjukan selain rapi dan profesional, adalah wangi. Begitu jam menunjukan pukul sembilan, Angelica segera keluar apartemen. Jarak dari tempatnya menuju ke Valentini Group kurang lebih setengah jam, jika tidak macet. Dia tidak boleh terlambat terlebih ini New York, waktu sama berharganya dengan uang-uang yang korporasi hasilkan. Terlambat sedetik saja, jangan pernah ada kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan. Lebih baik dia menunggu sedikit lebih lama di ruang tunggu perusahaan. Angelica datang sedikit lebih molor sepuluh menit dari perkiraannya. Wanita berambut cokelat langsung menyapa dari balik meja depan yang dijaganya. Menanyakan tujuan Angelica serta meminta tanda pengenal. Sedikit beramah-tamah, wanita bernama d**a Julia itu memberikan tanda pengenal pengunjung. Lalu, mempersilahkan Angelica untuk menunggu di ruangan yang telah disediakan. Baru saja memasuki ruang tunggu, ada empat kandidat lain yang sama menunggu seperti dirinya. Para kandidat lainnya tampak lebih percaya diri serta berpengalaman daripada Angelica. Menciutkan hatinya untuk sesaat, tapi dengan cepat dia abaikan. “Angelica Keaton,” panggilan itu sontak menarik kembali Angelica ke dunia nyata. Dia mengedarkan mata, Angelica satu-satunya kandidat yang tersisa. Saking asyiknya melamun, dia tidak sadar bahwa sudah cukup lama menunggu. Bergegas dia beranjak dari sofa mendekati wanita langsing dalam balutan gaun kerja putih tulangnya. Senyum ramah wanita itu tersungging saat menjabat tangan Angelica. “Sophie Gerald. Kalau Anda beruntung, Anda akan menggantikan saya bekerja di sini,” kenalnya. “Kenapa berhenti bekerja?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Angelica. Penasaran saja. Sophie tergelak. Sambil menuntun Angelica menuju sebuah ruangan di balik pintu hitam, dia menjawab pertanyaan, “saya akan menikah, Angelica Keaton. Bekerja dengan Mr. Valentini menyenangkan, tapi kadang terlalu banyak waktu terbuang di kantor daripada kehidupan pribadi. Silakan masuk.” Angelica menurut. Bergegas dia memasuki ruangan di balik pintu hitam tersebut. Baru satu langkah, tiba-tiba perhatiannya tercuri pada sosok pria yang tengah membelakanginya. Jalanan ruwet di bawah sana jauh lebih menarik daripada kantor kerja modern di sekitarnya. Rambutnya tertata rapi. Tubuhnya tinggi dan tegap, bahkan Angelica yang mengenakan heels 10 senti hanya bisa mencapai telinga pria itu. Setelan kerja warna biru mudanya juga terlihat pas badan. Pakaian yang Angelica tebak dirancang khusus untuk pria itu. “Bos,” panggilan Sophie berhasil membuat pria itu menoleh. Untuk sepersekian detik mata ambernya beradu dengan mata gelap milik calon bosnya itu. Sesuatu yang aneh terjadi pada tubuhnya. Mendadak gelenyar hawa panas menyusupi seluruh tubuhnya. Gerah, padahal Angelica yakin pendingin ruangan menyala. “Namanya Angelica Keaton, Adam,” jelas Sophie seraya menyerahkan seluruh data diri yang Angelica pernah kirimkan berserta surat lamaran sebulan yang lalu kepada pria yang bernama Adam tersebut. Adam menerima fail tersebut. Membacanya sekilas lalu menatap kembali sosok Angelica. Matanya menguncinya seolah satu-satunya pemandangan hanyalah kegelapan mata indah pria itu. Tiba-tiba Adam mengulurkan tangan untuk dijabatnya, membuat Angelica sedikit kikuk saat membalasnya. “Adam Valentini, calon atasanmu.” “Angelica Keaton.” Angelica semakin gemetar saat merasakan sentuhan tangan kuat Adam. Dua puluh tiga tahun hidupnya, dia tidak pernah merasakan semacam ini bersama seorang pria. Penuh damba hanya dengan menatap sepasang mata gelap yang penuh tekad. Sophie kembali menjadi penengah ketegangan. Wanita itu mempersilakan Angelica duduk di salah satu kursi tunggal yang telah disediakan. Sementara dia dan Adam duduk di sebrang untuk memberikan jawaban. Di sesi ini, Sophie lah yang lebih banyak memberikan pertanyaan, sementara sang bos hanya diam memperhatikan lekat-lekat. Hingga bermenit-menit kemudian, Adam berdeham pelan. “Angelica,” panggil Adam. Suara pria itu rendah dan menggelitik di telinga Angelica. “Jadi, apa yang benar-benar bisa kamu jual kepada kami, lebih tepatnya … selain nilai-nilai gemilangmu di Universitas?” Angelica tersentak pelan. Sangat terkejut mendengar pertanyaan Adam. Dengan cepat dia memeras otak. Ini hanya pertanyaan sederhana dan wajar. Dia hanya terkejut karena Adam akhirnya bertanya setelah bermenit-menit diam di tempanya. Sebuah jawaban pun akhirnya meluncur dari mulutnya, “harus saya akui, saya belum memiliki pengalaman apa pun di dunia kerja. Tapi, di Universitas, segala aspek komunitas ataupun kepanitian yang saya ikuti, saya selalu ditunjuk sebagai sekretaris. Itu memang memiliki level yang berbeda, tapi bisa dilihat bahwa saya adalah orang yang dapat dipercaya. Mengakui hal ini secara terang-terangan sudah menunjukan sikap bahwa saya adalah orang yang jujur, tanpa menutupi bahwa saya punya kekurangan. Satu lagi, saya sangat cepat belajar dan itu sudah ditunjukan dengan transkrip nilai saya, Mr. Valentini.” Senyuman kecil muncul di wajah Adam. Pria itu mengangguk, kemudian berkata pada Sophie bahwa sesi wawancara hari ini berakhir. Ketika tiga orang itu beranjak dari kursi masing-masing, sekali lagi Adam mengulurkan tangannya. Angelica tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk kembali merasakan tangan kuat dan halus milik calon bosnya itu. “Angelica, semoga beruntung … bertemu kembali,” ucap Adam dengan senyum miring yang semakin memesona sosok hebat itu. Angelica mengangguk. Sesuatu dari kata-kata Adam seperti sebuah janji yang ingin dia pegang. Harusnya, berharap terlalu tinggi pada sesuatu itu tidak baik. Namun, jika mendengar pria ini yang memberikan janji, Angelica seperti dapat memasrahkan kehidupannya pada sosok Adam, sang calon bosnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD