Prolog

1041 Words
Seorang wanita dengan wajah berantakan, berjalan memasuki gedung berlantai tujuh milik perusahaan Oliver Grup. Berpuluh-puluh pasang mata menatap tertuju padanya. Wanita itu masuk ke dalam lift dan menekan tombol menuju lantai tujuh. Dalam lift, beberapa karyawan Oliver Grup memperhatikan wanita yang baru saja masuk tersebut dengan tatapan aneh. Wanita itu menoleh ke belakang dan ke samping kiri dan kanannya seraya memperbaiki tatanan rambutnya yang terlihat berantakan dari pantulan pintu lift. Wanita itu sesekali berdeham dengan salah tingkah, dan merapikan pakaian yang dipakaianya, walaupun masih tetap terlihat sangat berantakan. Tak begitu lama, lift pun berhenti. Ting ... Terdengar suara lift berdenting, tanda bahwa lift sudah tiba dilantai yang di tuju. Setelah pintu terbuka, wanita itu berjalan sempoyongan menuju ruang Direktur Utama dan membuka pintu tersebut dengan kasar. Seorang pria berwajah tampan, dengan rambut yang tertata rapih sedang duduk di atas kursi putar dibalik sebuah meja besar, kini menatap ke arah wanita tersebut. Pria itu menghentikan kegiatannya, menaruh bolpoin yang sedari tadi di pegangnya lalu duduk bersandar pada sandaran kursi, menatap pada wanita yang kini berjalan menghampirinya. "Nathan." Suara wanita itu terdengar lirih, air mata tak henti-hentinya jatuh dari kedua pelupuk matanya. "Kamu kenapa, Nay?" tanya Nathan bingung. Pria itu memang sudah sering mendapati calon istrinya itu mabuk-mabukan dan datang ke perusahaannya dalam keadaan mabuk. Tapi kali ini berbeda, tak ada bau alkohol sedikitpun dari wanita dihadapannya itu. Nathan yang bingung segera bangkit dan berjalan menghampiri Kanaya. Berusaha menenangkan wanita yang sangat ia cintai itu. Ia membawa Kanaya untuk duduk terlebih dahulu diatas sofa seraya menunggu dirinya membuatkan teh hangat untuk Kanaya. "Nathan ... Aku hamil!" celetuk wanita itu tiba-tiba disela isak tangisnya. Nathan yang sedang mencampurkan gula pada segelas teh panas dihadapannya tiba-tiba saja terdiam. Sensok kecil yang sedari tadi dipegangnya terjatuh begitu saja. Nathan berusaha menenangkan perasaannya untuk sesaat lalu berjalan seraya membawa segelas teh hangat dan menaruhnya diatas meja. "Aku hamil, Nathan!" lirih Kanaya lagi dan membuat Nathan yang baru saja duduk di samping Kanaya kembali diserang perasaan tak menentu. "Kamu yakin?" tanya Nathan lagi. Kanaya mengangguk dan membuka tangan yang sedari tadi ia kepalkan. Sebuah alat tes kehamilan dengan dua garis merah tercetak jelas diatasnya. Nathan menghela napas dalam, memejamkan matanya sesaat lalu kembali menatap Kanaya. "Hamil?" tanya Nathan berusaha menolak mempercayai apa.yang didengarnya. Namun, wanita di hadapannya itu memusnahkan harapannya. Ia justtu mengangguk, membenarkan. "Siapa yang menghamili kamu?" tanya Natha dengan suara yang dibuat setenang mungkin. "Gery." Lirih Kanaya menundukkan kepalanya. Seketika Nathan tercekat. Gery adalah sahabat Nathan dan sangat dekat dengan Kanaya. Tak pernah sedikitpun Nathan berpikir mereka akan menghianati dirinya sejauh itu. Tanganya terkepal, rahangnya pun mengerat, napasnya terdengar memburu dan membuat Kanaya tiba-tiba berlutut di hadapan Nathan seraya memegang kedua tangan Nathan. "Nathan, maafin Gery. Semua ini salah aku. Jangan nyalahin Gery. Dia gak salah Nathan, tolong maafin Gery!" pinta Kanaya memohon. Nathan masih terdiam. Pikirannya benar-benar kalut. Bagaimana tidak, Sahabat dan wanita yang sangat ia cintai, menghianatinya dan bermain di belakangnya, bahkan hingga Kanaya mengandung anak dari sahabatnya. Perlahan, Nathan melepaskan tangan Kanaya yang memegang erat pada lengannya. Hal itu membuat Kanaya tercekat dan membelalakkan matanya. Kanaya sangat tahu jika saat ini Nathan sedang berusaha menahan rasa marahnya, dan ingin menenangkan diri. Wanita itu berdiri dari posisinya, lalu berhambur memeluk Nathan dihadapannya. Tak ada balasan apapun dari Nathan, pria itu masih terdiam dengan wajah yang semakin memerah. "Pulanglah! Biar Tara yang mengantar kamu sampai rumah." Titah Nathan dan membuat Kanaya melepas pelukannya. Pria itu berdiri dari atas sofa, berjalan melewati Kanaya tanpa melihat sedikitpun pada wanita itu. Ia mengambil ponsel dari atas meja kerjanya, menekan angka dua yang langsung terhubung pada panggilan cepat anak buahnya. Nathan menempelkan ponselnya pada telinga kanannya, menunggu beberapa saat hingga panggilan terhubung. "Tara! Siapkan mobil dan antarkan Kanaya pulang!" ujarnya. "Baik tuan." sahut Tara dari seberang telepon. Nathan menurunkan ponselnya seraya menekan tombol merah dan memutuskan panggilannya. "Tunggulah di depan lobby! Tara menunggumu disana! Aku masih banyak pekerjaan, kita selesaikan nanti!" ujar Nathan yang kini sudah kembali duduk di atas kursi putarnya, tanpa menatap pada Kanaya sedikitpun. Kanaya hanya bisa pasrah, dan menuruti apa yang Nathan perintahkan. Wanita itu mengambil tas yang ditaruhnya di atas sofa lalu berjalan keluar dari ruangan Nathan. Seperginya Kanaya, Nathan yang sejak tadi berusaha menahan perasaannya kini mulai melepaskan perlahan-lahan. Berkali-kali helaan napas terdengar dari mulutnya, dan berkali-kali juga Nathan mengusap kasar wajahnya. Rasa sakit hati, kecewa dan hancur bercampur menjadi satu hingga dadanya terasa sesak. Matanya terpejam dengan rapat hingga membuat bola matanya sedikit sakit. Wanita yang dicintainya selama tiga tahun ini ternyata menghianatinya. Kertas-kertas yang masih menumpuk diatas meja ia hiraukan. Berkali-kali suara ketukan di pintu ruangannya tak juga ia perdulikan. Nathan masih larut dengan pikirannya. Drrrttt .... Terdengar suara ponsel bergetar. Nathan membuka matanya lalu meraih ponsel yang ditaruh diatas meja. Pria itu menekan simbol aplikasi w******p lalu membaca pesan yang baru saja masuk. Kanaya : Semua salah aku Nathan, jangan menyalahkan Gery dalam hal ini. Kalau saja aku gak mabuk, aku yakin semua ini gak akan pernah terjadi. Nathan, aku mohon. Nathan hanya mendengkus sebal membaca kata demi kata pesan w******p yang Kanaya kirimkan. Tak ada niatan sedikitpun untuk membalas pesan tersebut. Nathan kembali menaruh ponselnya diatas meja, dan mulai kembali membuka berkas yang sempat tertunda barusan. Nathan termasuk pria yang bertanggung jawab dan selalu bisa membedakan mana urusan pribadi dan pekerjaan. Pria itu membuka lembar demi lembar berkas yang ada di hadapannya. Menelaah setiap poin yang tertera didalamnya, lalu menandatangani dan menyetujui berkas tersebut. Tak begitu lama, ponselnya kembali bergetar. Nathan menoleh sesaat lalu membuka pesan w******p yang baru saja masuk. Kanaya : Nathan, aku ingin menjelaskan semuanya. Nathan terdiam sejenak sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membalas pesan calon istrinya tersebut. Anda : Di apartment, pukul enam. Gue tunggu lo dan Gery datang untuk menjelaskan semuanya. Nathan kembali menaruh ponselnya diatas meja dan kembali hanyut dalam berkas dan pekerjaannya tanpa memikirkan perasaanya. Hubungan yang gue pertahanin selama ini benar-benar harus berakhir dengan jalan picik seperti ini. Lo sahabat gue Ger, tapi lo bener-bener tega merusak hati yang susah payah gue tata demi Kanaya. Lo sahabat gue, dan lo adalah orang yang paling ngertiin gue sejak dulu. Tapi dunia gue, lo hancurkan gitu aja tanpa pernah memikirkan bagaimana perasaan gue. Rasa kecewa ini takkan pernah hilang sampai kapanpun Ger. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD