Meresahkan

830 Words
"Raffa, simpan mainannya. Makan dulu." Pria kecil berumur 4 tahun itu mendongak. Mengedikan bahunya tidak acuh, ia melempar mainannya begitu saja. Fatur--Pria itu membulatkan matanya melihat kelakuan Raffa. Namun, pria kecil itu dengan santainya berjalan melewati Fatur. "Sabar, Tur, lo gak punya wewenang buat ngutuk dia jadi batu akik," gumamnya geram sendiri. "Pa, gengsi dong masa orang kaya ngomong sendiri." Fatur membalikan badannya menatap Raffa yang sudah duduk di kursi makan. Pria itu memilih berjalan dan ikut bergabung duduk di sana. "Raffa udah gak pernah liat---" "Liat. Nih, ini namanya piring." Raffa mengangkat satu piring di depannya. "Raff---" "Pa, denger gak?" potong Raffa yang membuat fatur mengeram kesal. Pria itu tersenyum lebar dengan sangat terpaksa, "Apa, sayang?" "Ih, Papa suka sama Raffa? Raffa bilangin Mama, nih," ancamnya. Fatur mengusap dadanya pelan. Ia jadi menyesal pernah menjadi manusia rese untuk isterinya. Apakah ini karma? "Raffa, Papa ...." "Mau ngasih Raffa uang? Boleh, jangan gengsi-gengsi, Pa. Raffa mau beli permen karet yang banyak," ujar Raffa memotong ucapan Fatur lagi. Fatur lagi dan lagi mengusap dadanya. "Jangan kebanyakan makan pemen karet, nanti gigi Raffa sakit," kata Fatur. "Siapa bilang mau Raffa makan?" "Hah?" "Permen karet itu buat dikunyah, bukan dimakan. Kata Mama, kalau ditelen nanti nyangkut di jantung, dibawanya susah harus lewat idung. Kata Mama, nanti idung Raffa jadi lebar gara-gara bawa permen karet." Fatur tersedak ludahnya sendiri. Ia kira, isterinya tidak pernah mengajarkan Raffa yang tidak-tidak seperti ini. "Papa gak tau?" tanya Raffa. "Apanya?" "Nah kan, Papa gak tau. Bener kata Mama, Papa meresahkan." Seorang wanita cantik keluar dari dalam dapur dengan satu wadah berisikan nasi goreng. Wanita itu menyendokan nasi gorengnya pada piring Fatur dan juga Raffa. Setelahnya, ia ikut duduk. "Ma, Papa meresahkan ya?" "Raffa, gak boleh kaya gitu," tegur wanita itu yang ternyata adalah Mamanya Raffa. Dena namanya. "Boleh kok. Gengsi dong masa apa-apa gak boleh," jawab Raffa. "Dia lama-lama kaya shincan ya." Fatur menatap Dena. Raffa mengerjapkan matanya tak mengerti. "Mau bilang gak ngerti, tapi takut dijawab, gengsi dong masa gitu aja gak ngerti," kata Raffa. "Raffa makan!" ujar Fatur kesal setengah mati. Brak "ADUUUH!" Raffa menoleh ke arah belakang. Pria kecil itu sontak turun dari kursi dan berjalan menghampiri. Berbeda dengan Fatur dan Dena yang tak mendengar apapun. "Eh, kok gue di sini? Tadi, 'kan, gue lagi nongkrong sama bidadari makan batagor." "Heh! Om Ocong! Minggir dong, sakit nih badan gue lo tindih!" pekiknya. Tangan mungil Raffa menyentuh lengan mereka bergantian. "Wah, kok Raffa bisa liat lagi," gumamnya. "Lah, Cil? Kok gue bisa di sini?" tanya salah satunya. "Mana Raffa tau, Om Bima banyak dosa kali. Makannya dibalikin lagi ke Bumi," jawab Raffa asal. Bima ... Orang yang pernah menyukai Dena. Namun, pria itu terlebih dahulu dipanggil oleh yang maha kuasa. "Sosis lompat, talinya makin kenceng ya? Bisa bangun gak?" tanya Raffa. Om Ocong menggeleng, "Susah, Cil. Tolongin!" rengeknya. Raffa merentangkan satu tangannya. Bodoh, mana bisa Om Ocong menerima uluran tangan Raffa? Tangannya, 'kan, terikat. Bima mendorongnya. Lantas, Om Ocong berguling di atas lantai. "Udah kaya lemper," ujar Bima melihat Om Ocong yang berusaha bangkit. "Bukan, Om. Dia mirip ulet di iklan teh pucuk," jawab Raffa. Bima tertawa mendengarnya. "Bisa aja lo, Tong. Eh, gue masih heran, kok gue bisa di sini ya?" gumam Bima lagi. "Dibilang kebanyakan dosa, jadi ya gitu ditendang lagi deh ke bumi." Di meja makan, Fatur dan Dena terlihat tenang dengan makanannya. "Raff--loh, Raffa mana?" tanya Fatur. Dena menatap ke arah kursi Raffa. Tidak ada siapa-siapa. Keduanya sontak berdiri. Di belakang sana, Raffa tertawa sendirian. Fatur dengan segera bangkit dan menutup mata Raffa dengan tangannya. "Kaluar sia! Tong ngaganggu anak aing!" ujar Fatur. (Keluar lo! Jangan ganggu anak gue.) "Woi manusia! Hormati Ibumu ...," teriak si Om Ocong. "Astaga, berat banget bebannya. Woi! Ini kaki gue kenjek!" pekiknya. Namun sia-sia, mana mungkin Fatur mendengarnya. Bima memperhatikan wajah Dena yang terlihat khawatir. Ia jadi kasihan melihatnya, Bima juga tidak tahu mengapa dirinya tiba-tiba di sini. Ia tidak berniat mengganggu sama sekali. "Gini amat jadi setan," gumam Bima. Satu semburan mendarat tepat pada wajah Bima. Bima melotot, "Bau goding." Itu Fatur yang menyemburnya. "Udah, udah pergi," ujar Fatur sok tahu. "Pergi apanya? Orang masih di sini, kok. Tuh, sosis lompat kakinya keinjek sama Papa." Raffa menunjuk ke arah bawah. Fatur sontak melompat kaget mendengarnya. Namun, yang ia lihat tidak ada apapun di sana. "Lo tau gak Om? Bos gue itu, dari dulu sampai dekarang penakut. Dulu, dia takut perasaannya ditolak sama Dena." "Sekarang, dia takut sama lo," sambug Bima. "Bantuin gue berdiri!" keluhnya. Raffa menggeleng, "Gak ah, sendiri aja." Fatur menggendong Raffa, membawamya menuju meja makan kembali. Bima yang melihat itu berbinar, ia ikut bergabung dan duduk di samping Dena. "Cantiknya isteri orang," ujar Bima. "Heh Om genit, jangan liatin Mama." Ketiganya menoleh ke arah Raffa yang tiba-tiba saja berteriak. "Udah numpang makan, naksir sams Mama lagi. Gengsi dong!" "Raffa, mau Papa rukiyah?" tanya Fatur. "Papa aja sana. Raffa mau makan." "Den, bisa tuker tambah anak, gak?" tanya Fatur. "Tuker pake powerbank ya, Pa!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD