Dearest Ben

1719 Words
Seorang gadis cantik tengah menyesap late di sudut Chocoffee sore ini. Ekspresinya terlihat tidak senang, terlebih saat menatap ponsel di tangan. Dia datang ke sini sendirian bukan tanpa maksud, melainkan untuk bertemu seseorang. Sayang, orang yang dia tunggu tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Puluhan kali selama tiga jam, gadis itu mencoba untuk menelepon, tapi panggilan selalu berada di luar jangkauan. Dia sudah benar-benar lelah dan mulai kesal sekarang. Baru saja dia menatap jalanan, sebuah Range Rover putih tiba-tiba saja berhenti di depan kafe. Plat mobil yang khusus dia pesan sesuai namanya terlihat jelas dari tempat si gadis. B3N alias Ben, sahabatnya. Tidak beberapa lama setelah mobil terparkir mulus, keluarlah seorang pria tampan dari dalam. Darah Jerman yang dia miliki membuat pesona pria itu bertambah. Perawakannya pun tinggi. Bentuk wajah yang persegi serta mata abu-abu menambah ketampanan pria itu. Ben tidak perlu berusaha keras terlihat indah, adegan menutup pintu mobil saja sudah menarik berapa pasang mata di sekitar sana. Ben melepaskan kacamata hitamnya. Tatapan mereka langsung bersirobok di udara. Dari sekian wanita di tempat ini, hanya gadis itu lah yang tidak terpengaruh. Mereka sudah lima tahun kenal dan dekat, membuat pesona Ben tidak tembus pada gadis itu. Menyadari Calista sudah semakin kesal, Ben berlari memasuki kafe. Ada seulas senyum yang terpasang saat pria itu akhirnya berdiri di depannya. “I’m sorry. I’m late.” Calista memutar bola matanya kesal. Dia sudah berkali-kali hampir terlupakan. “Mau alasan apa lagi, Ben?” “Angel.” Untuk sesaat Calista mendesah panjang mendengar panggilan Ben. Sejujurnya dia tidak menyukai panggilan yang Ben berikan, terdengar berlebihan. “Ada operasi mendadak.” “Basi!” “Aku tidak berbohong, Angel.” Ben semakin terlihat frustasi seraya menduduki kursi. “Kau kan tahu jadwal operasiku bisa kapan saja. Tadi aku tidak sempat kembali ke kantor karena ada operasi beruntun. Maafkan aku.” Sayangnya, Calista tidak menjawab. Tiga jam membuat wanita menunggu tanpa kabar itu jahat sekali, karena selama tiga jam kita bisa melakukan banyak hal. Bukan bermaksud jahat, tapi Calista sepertinya bosan memahami masalah komunikasi. Gadis itu memiliki dua sahabat seorang dokter spesialis, Ben sang dokter kandungan dan Caraka alias Raka si dokter saraf. Sebenarnya dia sudah memahami kesibukan dan kegilaan pekerjaan mereka. Dia hanya ingin sahabatnya memberi kabar, jika ada operasi mendadak atau lainnya. Calista tidak ingin menunggu, melelahkan, apalagi tanpa kepastiaan. “Aku sampai bosan memintamu untuk mengirimkan pesan apabila ada operasi mendadak atau semacamnya, susah kah, Ben? Bukan aku tidak menghargai atau menghormati pekerjaanmu, tapi aku kesal karena kau membiarkanku menunggu di sini sendirian selama tiga jam!” omel Calista. Ben mendesah panjang, terlihat semakin frustasi. Calista hanya diam, menunggu apa yang akan Ben perbuat setelahnya. Sahabatnya itu tidak akan tenang meninggalkan mereka dalam keadaan bertengkar. Tiba-tiba saja Ben merogoh saku belakang celananya. Dia mengeluarkan sebuah dompet di sana, lalu mengambil sebuah kartu berwarna hitam, “Ayo kita belanja, Angel.” Bukannya mengiyakan atau menolak, Calista malah terkekeh mendengar ajakan Ben. Kedua sahabatnya itu tahu bagaimana membuat Calista bahagia, menemani gadis itu berbelanja hingga kedua tangan mereka penuh paperbag. Saking sayangnya, mereka lebih sering membelanjakan gadis itu sekalipun tahu bahwa dia bisa membeli barang-barang itu sendiri. Namun malam ini, dia tidak ingin berbelanja. Ada hal lain yang dia inginkan. Dicoleknya lengan Ben sembari menggeleng pelan, “Aku tidak ingin berbelanja, tapi kalau kau mau mentraktriku makan di GLM malam ini, aku akan memaafkanmu.” Ben mengernyit, terlihat bingung mendengar permintaan Calista. “Kenapa harus GLM? Angel, kau chef di sana.” “Karena itu!” keluh Calista. Sifat manjanya di umur 24 tahun keluar begitu saja. “Aku bekerja di sana, terkadang aku ingin menjadi pelanggan. Berhubung aku sedang kosong dan kau mau membayariku, kenapa tidak kita makan di sana? Please ….”  “Astaga, Angel. Ada-ada saja.” Ben terkekeh pelan, tapi mengangguk pada akhirnya. “Pleasure, Angel, aku akan mentraktirmu dinner di sana.” “Oh dan satu lagi, Ben, tolong paling aku dengan namaku. Di sana banyak teman kerjaku, Ben, mereka … kau tahu, kau sahabatku.” Sekali lagi Ben mendesah panjang. Senyumnya sedikit pudar. Dia mengangguk pelan. “Calista Muller, mari kita berbelanja sebentar untuk mempersiapkan makan malam nanti.” Calista pun bersorak girang. Dia bahagia memiliki sahabat seperti Ben, yang menghormati dan selalu … mencintainya. ***** Begitu melihat Calista puas dan juga bahagia, mereka segera menyudahi acara belanja mereka. Ben bergegas menarik gadis itu menuju apartemennya yang berada di samping pusat perbelanjaan yang mereka kunjungi. Menemani Calista berbelanja, kalau tidak direm, maka tidak akan berhenti sampai Mall tutup. Calista berjalan di depan, menuntun Ben yang sedikit kesusahan membawa belanjaan Calista. Sebenarnya Calista sudah menawarkan diri untuk membawanya sendiri, tapi Ben akan selalu menjadi Ben, pria itu menolak. Ben dan Raka selalu suka menemani Calista berbelanja, membelanjakan barang-barang gadis itu, dan tentu saja membawakan belanjaan tersebut. Kata mereka, ada kepuasan tersendiri dapat memenuhi kegilaan Calista. “Aku taruh di sini,” ucap Ben seraya menaruh paperbag di atas sofa. Gadis itu yang sudah menghilang di dapur hanya berteriak. Penasaran dengan yang Calista lakukan, Ben segera menyusul. Langkah pria itu memelan saat menemukan Calista yang sibuk mengelilingi pantry. Mulut gadis itu bergumam pelan seperti menghafalkan sesuatu. Inilah yang membuat Ben jatuh cinta pada Calista. Di balik sifat manja dan gila belanja gadis itu, Calista adalah orang paling yang sangat peduli padanya. Apalagi saat ini pria itu sendirian di tempat ini karena orangtuanya berada jauh di luar negeri. Calista yang selalu paling khawatir saat Ben sakit. Calista pula yang selalu datang setiap hari untuk memastikan bahan makanan di apartemennya lengkap. “Angel, Calista,” panggil Ben yang langsung menghentikan aktivitas Calista. Gadis itu menoleh, memberikan seluruh perhatiannya. “Bagaimana kalau makan malam di sini saja? Kau … memasak.” Mata Calista sontak melebar. “Ben, aku kan tidak mau memasak! Kau kan sudah berjanji untuk mentraktirku di GLM malam ini.” Ben terkekeh pelan. Sikap manja gadis itu pun, anehnya, membuat pria itu juga jatuh cinta. Pada akhirnya pria itu mengangguk. Sekalipun dia suka berdua saja di sini bersama Calista, tapi menuruti gadis itu jauh lebih penting. Perlahan pria itu bergerak mendekat. Tanpa sadar tangannya bergerak dengan sendirinya untuk mengacak-acak rambut Calista dengan sayang. “Baiklah. Bersiap-siaplah, Angel, kau harus tampil memesona dari seluruh tamu yang hadir malam ini.” “Tentu saja.” Calista terkekeh pelan. Bergegas gadis itu memberi jarak, sebelum akhirnya berjalan cepat menuju belanjaannya. Dia menoleh sesaat, kemudian berbicara, “Besok aku ke sini lagi untuk memenuhi kulkasmu. Benjamin Orlando, aku tahu kau sibuk, tapi sebagai dokter kau tahu bahwa kesehatan itu penting. Jangan malas makan, kalau kau malas, telepon aku dan aku akan datang untuk memasak makanan kesukaanmu.” Ben mengangguk pelan, lalu Calista pun berlalu memasuki kamar tamu yang selalu dia gunakan. Namun, pria itu masih bergeming. Dia memang mencintai gadis itu, sayangnya, hati gadis itu tidak untuknya. Bahkan, setelah empat tahun mereka saling jujur satu sama lain. ***** Calista dan pesona gadis itu selalu membawa seluruh perhatian mata hanya tertuju padanya. Sama halnya di GLM malam ini, berkali-kali aku menangkap beberapa pasang mata menunjukkan ketertarikannya. Sayangnya, gadis itu sama sekali tidak peduli. Dia terlalu asyik berbicang dengan Keira, sahabat wanitanya yang juga bertugas sebagai pramusaji di GLM. Membuat Ben berdiam diri sembari memperhatikan Calista. Gadis itu akan selalu terlihat cantik di mata Ben, itulah mengapa pria itu memanggilnya Angel—bidadari. Bagi Ben, bukan hanya cantik paras yang Calista miliki, tapi juga cantik hati. Calista dilahirkan dari keluarga kaya raya, pemilik GLM hotel termasuk restauran yang sedang mereka datangi ini. Namun, gadis itu bekerja di sini karena usahanya sendiri. Dia pun tidak merasa canggung berteman dengan para pekerja di sini seperti kebanyakan orang. “Ben!” tepukan pada bahu Ben sontak mengembalikan fokus pria itu. Pria itu mendongak, Calista sudah berdiri dengan angun dalam balutan gaun maroonnya. Rambut yang biasanya dia gerai, kini dia cepol tinggi dan memamerkan leher jenjangnya. Mata cokelat cerah yang dia miliki terlihat semakin cerah saat mata mereka bersirobok di udara. “Aku ke dapur sebentar, tidak lama.” Ben mengangguk pelan, sebelum akhirnya Calista berlalu memasuki area dapur. Sembari menunggu pria itu memainkan ponsel. Memeriksa daftar pesan instan untuk memastikan tidak ada jadwal operasi mendadak. Menjadi dokter spesialis kandungan itu juga sama gilanya. Jadwal operasi yang tidak berjadwal, mengingat orang melahirkan tidak pernah terjadwal. Hingga tatapan pria itu tertarik pada satu pesan singkat dari sahabatnya, Raka. Isi pesan itu biasa saja, tapi yang tidak biasa adalah pesan itu tidak terkirim sejak dua hari yang lalu. Ben juga tidak menemukan Raka di rumah sakitnya beberapa hari ini. “Ben.” Lagi-lagi panggilan lain berhasil menarik perhatian Ben. Calista sudah kembali bersamanya. Namun kali ini, ada piring yang dia bawa dan dia letakkan tepat di hadapan pria itu. “Makanlah. Aku sengaja membuat ini untukmu, curried braised rabbit stew. Kuharap kau menyukainya.” “Bukannya tadi kau bilang ingin dimasakkan?” goda Ben yang dibalas dengan pukulan pelan gadis itu. “Makananku memang dimasakkan, tapi ini aku sengaja membuatnya untukmu. Terima kasih kau selalu berbuat baik kepadaku, Ben.” Pria itu tidak langsung menjawab, malah beranjak dari kursi. Perlahan dia berlutut di depan Calista sembari menatap dalam gadis itu. “Calista, harusnya aku yang bersyukur karena Tuhan mengirimkanku sesosok bidadari tanpa sayap sepertimu.” Mereka terdiam. Untuk kali ini, Calista membiarkan Ben menggenggam tangannya. Ada sorak bahagia yang Ben rasakan pada penerimaan gadis itu. “Cal, lupakan Raka dan lihatlah aku.” “Ben ….” “Kalau tidak, nyatakan saja perasaanmu ke Raka. Jika pada akhirnya Raka juga memiliki perasaan yang sama terhadapmu, maka aku yang akan menyerah. Namun apabila kebalikannya, Calista, let me always be your side. Biarkan aku berjuang agar kau terus berada di sisiku,” pinta Ben sembari meremas kuat tangan Calista. “Ben, aku takut ….” Suara Calista bergetar. “Aku takut jika aku mengatakan perasaanku pada Raka, dia akan pergi. Aku juga takut, jika aku memilih bersamamu, maka kau juga akan pergi. Lalu, jika kalian pergi, aku sendiri.” Air mata Calista meleleh. Gadis itu benar-benar terlihat takut, meskipun Ben tahu perasaan takutnya terhadap pria itu hanyalah sekedar persahabatan mereka. Sejujurnya, Ben pun takut kehilangan Calista. Namun, dia memilih mengambil risikonya. Tangan Ben terulur ke wajah Calista. Perlahan, pria itu menghapus air matanya. “Calista, Angel, pegang janjiku. Aku akan selalu di sini, bersamamu. Sampai kapanpun.” *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD